HARI sekolah tiba. Orang tua harap-harap cemas. Apakah si anak bisa berprestasi di sekolah. Jika iya tentunya membanggakan. Namun, hilangkan harapan itu. Baiknya, jangan paksa anak untuk menjadi pintar.
Menteri Pendidikan Anies Baswedan mengeluarkan arahan yang menggembirakan, yaitu agar orang tua mengantarkan anaknya di hari pertama sekolah. Orang tua berjubel datang ke sekolah bersama anak. Rasa bahagia, senang, gembira, serta cemas. Bahagia bisa melihat anak tampil menggemaskan dengan seragam baru bagi anak yang baru masuk TK atau SD kelas I.
Namun, orang tua jadi cemas. Bagaimana perkembangan prestasi anaknya di sekolah. Kedua orang tua berdiskusi tentang bagaimana agar anaknya bisa mengikuti pelajaran hingga bisa menjadi juara kelas. Tak jarang, pertengkaran kecil hingga besar terjadi saat menentukan pola asuh anak belajar di sekolah dan rumah.
Lingkungan sekolah menjadi satu faktor dalam menentukan bagaimana orang tua menerapkan pola asuh cara belajar anak. Contohnya, bagaimana predikat sekolah, negeri atau swasta, jejak rekam sekolah, derajat pendidikan hingga kesejahteraan orang tua siswa. Sekolah yang predikatnya yahud, tentu memiliki pola belajar mengajar yang berbeda dengan sekolah di desa bahkan sekolah di tempat terpencil.
Perilaku guru juga berpengaruh terhadap cara pola asuh belajar si anak. Ada guru yang senang menuntaskan pelajaran di sekolah atau ada juga guru yang menuntaskannya setengah-setengah dengan harapan ada anak didiknya di kelas yang belajar les privat di rumah si guru. Terlebih jika guru itu adalah guru kelas.
Dengan berbagai latar belakang itu, orang tua menjadi dilema dalam menentukan pola asuh belajar anaknya. Ada yang memilih keras, ada yang suka menerapkan disiplin, ada yang juga menerapkan pola lainnya. Harapannya, agar anak menjadi bintang kelas atau minimal tidak tertinggal pelajaran dari teman sekelasnya.
Anak pun dipacu untuk belajar, belajar, dan belajar. Ke sekolah belajar. Pulang sekolah belajar. Sore belajar les, malam belajar les pelajaran yang lain. Les pun beragam caranya. Ada les pelajaran dengan guru kelas, ada les dengan mendatangkan pengajar ke rumah, atau les di lembaga pendidikan. Orang tua berharap anaknya segera menjelma menjadi anak yang bisa membaca, segera jago berhitung, mahir semua pelajaran.
Kondisi itu adalah fenomena instanisasi pendidikan. Anak-anak dipaksa mendadak menjadi pintar. Seperti rebus mie instan. Buka bungkusnya, rebus, dan bisa langsung disantap. Orang tua terkadang lepas kontrol dalam menentukan pola asuh. Hal ini disebabkan oleh menjamurnya lembaga pendidikan yang menawarkan sulap ajaib, yaitu anak segera menjadi pintar.
Sulap itu, misalnya iklan besar di jalan yang menggambarkan seorang atau lebih anak kecil yang jago berhitung, berbahasa Inggris, membaca. Anak kecil yang tersenyum riang mengenakan pakaian dokter, pilot atau lainnya.
Orang tua terpengaruh iklan itu. Orang tua ingin anaknya pintar seperti anak-anak kecil di iklan lembaga pendidikan itu. Bangga memiliki anak menjadi pintar seperti iklan itu. Maka, diputuskanlah pola asuh belajar yang ekstra ketat. Dari pagi sampai malam anak belajar. Senin sampai minggu les di mana-mana. Hasilnya manjur, anaknya menjadi pintar dan berhasil jadi bintang kelas.
Ironinya, orang tua bahagia namun si anak tak bahagia, tak ceria, tertekan. lainnya, anak menjadi tak kreatif, menjadi penurut, manut, sangat sopan, sangat baik perilakunya. Waktunya habis buat belajar. Ia tak pernah bermain dengan anak seusianya di sekolah dan rumah. Tak pernah bekerja atau bermain di rumah karena waktunya habis buat belajar. Anak tak lagi merasakan masa bahagia menjadi anak kecil yang dipenuhi dengan waktu bermain-main.
Bermain bagi anak usia dini, adalah proses belajar yang terbaik untuk mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya. Belajar hanya membangun potensi kecerdasan intelektual, namun bermain akan memberikan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual. Seluruh kecerdasan ini yang akan nanti bertumbuh kembang menjadi optimal ketika ia telah dewasa.
Anak tidak hanya jago matematika, pintar membaca, mahir berbahasa Inggris, namun dengan bermain, anak tumbuh menjadi anak cerdas, mandiri. Cerdas dalam pelajaran, cerdas dalam menyelesaikan seluruh problem kehidupannya semasa kecil, cerdas dalam keluarga (membantu orang tua, mandi sendiri, makan sendiri, menyapu halaman, mencuci sepatunya sendiri, mulai belajar memasak), serta cerdas bermain bersama teman-temannya.
Kecerdasan inilah yang menjadi penentu kesuksesan anak saat ia tumbuh remaja hingga dewasa bukan kepintaran di dalam kelas. (T)