PAGI-PAGI di awal Juli aku ditelepon dramawan Putu Satria Kusuma. “Ole, Yudane sedang di Singaraja, tolong temani dia. Aku lagi di Denpasar,” kata Putu tentu dengan gaya bicara yang khas: cepat dan seakan terburu-buru.
Aku jawab singkat, “Oke oke!”
Yudane yang dimaksud Putu adalah komposer Wayan Gde Yudane. Selain menguasai tekhnik bermain alat-alat musik tradisional Bali, dia juga menguasai berbagai alat musik modern. Di Bali ia pernah menjadi pelatih gong kebyar yang memberi pembaharuan dalam permainan, jalinan dan kekotekan nada. Di dunia internasional, namanya tak asing di kalangan seniman musik. Ia pernah melakukan kolaborasi dengan Paul Grabowsky dengan garapan The Theft of Sita, di Next Wave Festival di New York City.
Tiba-tiba ia di Singaraja. Padahal, aku dengar ia segera terbang ke New Zealand, untuk tinggal kembali di negara itu bersama istri dan anaknya. Tentu juga untuk mengembangkan musik juga.
“Aku di Singaraja, di Jalan Gajah Mada, cabut gigi. Ini sedang menunggu gigi dicetak. Di mana bisa ngobrol?,” katanya melalui telepon.
Mimih, jauh-jauh dari Denpasar ke Singaraja untuk cabut gigi. Tapi, tentu saja ia rela ke Singaraja, bahkan naik sepeda motor sendirian. Ia ternyata mendapat rekomendasi dari Ayu Weda (penyayi dan cerpenis) untuk mencabut gigi di Dokter Sri, dokter legendaris di Singaraja yang tak lain ibu dari Ayu Weda dan penyanyi Ayu Laksmi. “Struktur gigiku aneh, dokter di dekat rumah tak berani nyabut,” katanya.
***
SEMBARI menunggu cetakan gigi untuk mengganti gigi yang dicabut, Yudane kutemani minum jus di Apple Mart. Ia belum bisa mengunyah sehingga menolak ditraktir siobak dan babi guling.
“Putu Satria sebenarnya ingin bertemu kau. Dia ingin wawancara gong kebyar untuk film dokumenternya. Tapi sekarang ia justru di Denpasar,” kataku saat ngobrol di Apple Mart.
“Apa yang ingin diketahui soal gong kebyar. Kalau bicara fisik, gong kebyar itu sudah selesai,” ujarnya sambil sesekali memegang dagu menahan sakit.
“Yang belum selesai, apanya?”
“Gong kebyar itu bukan hanya fisik. Bukan alat, bukan perangkat. Soal fisik itu sudah selesai. Malah, kalau bicara fisik, gong kebyar itu pemiskinan. Dulu, kita biasa pakai tujuh nada, tapi gong kebyar memakai lima nada,” katanya.
Aku minum jus. Ia juga.
Ia melanjutkan. “Yang belum banyak dibicarakan itu soal musikal. Repertoarnya dari mana. Dapat pengaruh dari mana? Ditemukan pertama kali di Jagaraga, Bungkulan, atau sekitarnya. Itu benar. Tapi itu kan tidak serta merta. Tidak jatuh dari langit. Tidak tiba-tiba. Repertoarnya bagaimana?”
Aku memandang saja. Yudane berkata seakan-akan tidak sedang sakit gigi. Bersemangat.
“Pengaruhnya bisa dari mana-mana. Salah satu yang pasti, gong kebyar adalah perkembangan dari tabuh lelonggoran yang memang asli Buleleng. Dan mungkin dapat juga pengaruh dari tabuh-tabuh Bali Selatan. Jauh sebelum lahir gong kebyar, pergaulan seniman pelatih dari berbagai kabupaten sangat intens. Banyak pelatih dari selatan ke utara. Mungkin mereka saling berbagi tabuh dari daerah masing-masing. Dilihat dari pola kejutan (intro), gong kebyar bisa-bisa dapat pengaruh dari gamelan Banyuwangi. Itu tak ada yang membicarakan,” katanya.
Aku hanya bengong dan merasa tersindir. Sebagai wartawan sekaligus penggemar gong kebyar aku merasa sangat bodoh. Aku sering menulis gong kebyar, bahkan sering secara sok pintar mengulas panjang-lebar perkembangan gong kebyar di Bali. Tapi hal yang kutulis hanya berputar-putar soal fisik, sejarah munculnya, dan sejenisnya. Jarang sekali menelusuri dari segi musikalnya.
“Tabuh Kebyar Legong dan juga Terunajaya apa tidak ada pengaruh dari gamelan yang sudah ada? Apa memang benar-benar baru? Apa tak dapat pengaruh dari Bali selatan?” kata Yudane, kali ini sambil meringis. Tampaknya rahangnya makin sakit setelah disiram jus.
“Berarti Terunajaya dipengaruhi gamelan sebelumnya?” tanyaku.
“Jika dilihat dengan cermat, gamelan Terunajaya mengandung pola tabuh lelambatan, tabuh telu dan juga variasi gilak di bagian tertentu. Tabuh lelambatan berkembang di selatan, dan itu kemungkinan dibawa oleh penguruk dari selatan ke utara. Dipadukan dengan karakter musik di Buleleng, jadilah gong kebyar. Setelah jadi, dibawa lagi ke Bali selatan,” ujarnya.
“Selain kau, apakah soal-soal seperti itu tak ada yang membicarakan, di seminar atau di mana,”
“Belum banyak yang bicara soal itu. Mereka sibuk dengan fisik. Padahal ini harus dicari. Agar kita paham bagaimana perkembangan sebenarnya gong kebyar. Bukan hanya bicara soal sejarah di mana lahir, lalu di mana berkembang dan seperti-seperti itu,”
“Darimana mulai mencarinya?”
“Kenapa tidak kembali bertanya kepada seniman-seniman tua di desa? Mereka punya banyak pengalaman soal itu. Mereka banyak tahu dan keterangan mereka bisa dicatat kembali, diteliti kembali,” ujarnya.
***
AKU tak pernah sangsi apa pun yang dikatakan Yudane soal gong kebyar. Sekitar akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an, ketika aku belum mengenalnya dengan akrab, Yudane membuatku punya harapan besar terhadap perkembangan gong kebyar. Saat itu, di Pesta Kesenian Bali (PKB) aku menonton tim gong kebyar duta Kabupaten Badung (saat itu Denpasar belum bersatus kotamadya). Saat menonton aku mendengar nada-nada yang tak biasa. Misalnya, dalam satu tarikan nafas, permainan yang dimulai dari nada besar langsung menjalar, bahkan kadang meloncat, ke nada paling kecil. Namun di telinga jalinan nada itu terdengar tetap harmonis.
Tim gong kebyar itu ternyata dilatih Yudane. Meski banyak penekun karawitan memandang sinis pada tabuh-tabuh garapan Yudane karena dianggap aneh dan “tak sesuai pakem”, namun kemudian tabuh itu banyak ditiru pencipta gending-gending kekebyaran di Bali. Hanya banyak yang salah tiru. Sehingga tabuh gong kebyar belakangan terkesan mementingkan tingkat kerumitan, dengan loncatan nada yang benar-benar aneh. Orang bilang, “pang kwala becat dan keras”.
Sayangnya, kini Yudane tak mau lagi melatih tim gong kebyar. Wilayah itu, termasuk wilayah PKB, sudah lama ditinggalkannya. Namun, apa sebenarnya yang dilakukan Yudane terhadap gong kebyar pada tahun 1990-an itu?
“Aku hanya tak mau aman. Sebelumnya gong kebyar itu bermain aman, bermain simetris. Biasanya jalinannya hanya berkutat di satu oktaf. Nah, aku berpikir kenapa kita tak bermain sampai melewati satu oktaf, tiga oktaf misalnya,” ujarnya.
Karena sikapnya tak mau aman itulah, pada saat melatih untuk PKB, Yudane sempat diprotes para penabuh. Para penabuh yang terdiri dari anak-anak muda energik itu bahkan sempat mogok tak mau latihan. Para penabuh itu tak bisa mengikuti alur pikiran sang pelatih yang terus menawarkan hal-hal baru dalam garapannya. Tapi Yudane tak peduli. Yudane tak mau mengubah garapannya untuk menjadi lebih mudah dan lebih aman. Akhirnya para penabuh mengalah, dan garapan mereka memang mendapat sambutan luar biasa saat itu.
***
LALU bagaimana dengan tabuh Oleg Tambulilingan yang diciptakan Mario alias I Maria di Tabanan?
Yudane tampak sangat bersemangat ingin menjelaskan. Namun kulihat ia tak kuasa menahan sakit di rahangnya. “Masih ada satu gigiku belum bisa dicabut. Itu yang sakit,” katanya.
Maka, dari Apple Mart aku ajak Yudane ke rumahku di Pantai Indah. Di rumah, kami lebih banyak mendengar garapan-garapan barunya dari laptop. Akhirnya sore, dan cetakan giginya sudah mau selesai, ia hendak kembali ke rumah Dokter Sri di Jalan Gajah Mada.
Sebelum keluar rumahku ia tiba-tiba ditelepon Heri Anggara, seorang pemusikalisasi puisi dari Kelompok Sekali Pentas yang terkenal di Denpasar. Heri saat itu kebetulan pulang kampung ke Singaraja. Yudane menjawab telepon dan kudengar ia agak gelagapan menjawab.
“Apa? Oh, gak usah. Gak usah. Aku sedang minum antalgin,” katanya.
Kutahu, Heri sedang menawarkan arak. (T)