DUNIA pendidikan, modal utama dalam perkembangan peradaban manusia. Inovasi-inovasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir terlahir di dalamnya. Sejarah perubahan besar-besaran pendidikan sebagai sarana pokok pada pola hidup, tidak lepas dari revolusi industri di Inggris, pada akhir abad ke-18. Penemuan-penemuan tekhnologi bermunculan, yang paling fenomenal ditemukannya arus listrik oleh Michael Faraday, serta kereta api oleh George Stephenson. Tonggak berdirinya masa jaya ilmu pengetahuan, sebagai kiblat baru, berdampak pada pengaruh gereja (agama) yang mulai luntur.
Manusia berani untuk mengeksplor daya cipta akalnya, mempertanyakan apakah tumbuhan dan hewan dapat direkayasa? Apakah manusia bisa berlaku seperti layaknya raja, segala macam hal bisa dilakukan oleh mesin? Pada saat itu, mempertanyakan perihal-perihal demikian, dikatakan sebuah dosa oleh pihak gereja. Karena, telah mengambil tugas kuasa Tuhan. Selanjutnya, dicap sebagai penentang kehendak geraja.
Celakanya, hukumannya dari yang terendah dibuang, paling parah digantung di tiang gantungan. Akan tetapi desakan, gelombang-gelombang perkembangan peradaban tidak bisa dibendung. Ini berlandaskan latar belakang kebutuhan manusia, yang terus bertambah setiap detiknya. Maka masa kejayaan ilmu pengetahuan, dinamai sebagai zaman renaisans (pencerahan) oleh masyarakat Eropa pada kala itu.
Meski demikian, perlu dianalisis lebih dalam terkait dengan perubahan zaman keeamasan ilmu pengetahuan pada kala itu. Apakah murni kebutuhan mengeksplor pemikiran? Atau hanya semata urusan perut, dan penebalan kantong sejumlah oknum saja? Ini karena, merujuk pada revolusi industri di Inggris. Mengatasnamakan efisiensi kerja, jutaan orang dirumahkan. Disebabkan tenaga mereka telah banyak tergantikan mesin. Berdampak pada jumlah masyarakat miskin berkali-kali lipat di dataran Eropa.
Ternyata, tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat Eropa saja saat itu. Tetapi, juga berdampak di negara-negara jajahan Eropa di kawasan Asia, Pasifik, dan Afrika. Demi mempercepat serta memperbanyak hasil industri. Di negara jajahan, diwajibkan adanya tanam dan kerja paksa. Ini untuk mencukupi kebutuhan ekspor bahan mentah ke Eropa, untuk diolah, kemudian dipasok ke para pemesan di seluruh dunia.
Terus apakah dampak buruk kemajuan peradaban, bahwa adanya kaum tertindas, adalah kesalahan dunia pendidikan? Tentu tidak dapat dibenarkan. Oleh karenanya, perlu adanya pemisahan antara, modernisasi pendidikan dan industrialisasi.
Perkembangan dunia pendidikan, pada zaman renaisense murni ditunggangi para pemilik modal, untuk mengembangkan usahanya. Bayangkan saja, dunia mencatat pada kala itu, terjadi rekor loncatan hasil produksi mencapai ratusan persen, tapi hal ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakat Eropa yang makin terpuruk. Terdata 2/3 warga Eropa berada di bawah garis kemiskinan, karena minimnya upah dampak dari urbanisasi besar-besaran. Ini tidak ubahnya dengan rakyat bangsa jajahan, yang ikut lebih miris hidupnya. Memang hal ini, memicu adanya revolusi kaum sosialis (buruh), tapi itu tidak berjalan lama. Dan diambil alih kembali oleh kaum kapitalis. Modal yang tetap berkuasa.
Pertanyaanya apakah konsep, sistem, dan kebijakan dunia pendidikan yang berjalan selama dua abad lebih ini, tidak ubahnya pada abad renaisense saat itu, atau telah berganti lebih humanis, dengan tersistem, dijalankan secara tidak oportunis, yang hanya menguntungkan sebelah pihak saja?
Mari kita menengok pendidikan di dunia saat ini. Seluruh negara maju di Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika, berusaha memprivatisasi dunia pendidikan. Dimaksud, negara tidak memiliki peranan dominan dalam mengatur kebijakan instansi pendidikan. Ini dilatarbelakangi adanya perjanjian dalam World Trade Organization (WHO), yang lebih dispesifikasikan dalam GATS, bahwa negara-negara yang tergabung dalam organisasi tersebut wajib memberikan peluang sebesar-besarnya kepada rakyat, untuk turut dalam pengelolaan dunia pendidikan. Selanjutnya, instansi pendidikan juga dimasukkan dalam komoditi perdagangan, yang dapat menghasilkan laba kemakmuran negara dan warganya.
Tentu negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia juga wajib menuruti kebijakan tersebut. Dikarenakan, seandainya berani menentang, bisa-bisa dikeluarkan, diasingkan, dan bahkan dilecehkan dari kancah kerja sama bilateral dan multilateral. Tentu pemerintah Indonesia tidak seberani itu menentang. Ini disebabkan, bisa-bisa diembargo perdagangannya, persenjataannya, dan seluruh sumber dayanya. Apalagi dengan utang negara, yang mencapai lebih dari Rp 4.000 Trilliun, melanggar itu tidak mungkin, meski baru dalam benak.
Kebijakan paling teranyar tersebut, lebih mengedepankan pada pendidikan tinggi. Selanjutnya, oleh pemerintah Indonesia dinamai dengan “Program Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH)”. Perguruan tinggi yang terdaftar sebagai badan hukum, nantinya memiliki otoritas sendiri dalam membuat kebijakan untuk mengembangkan instansinya, tanpa adanya intervensi pemerintah pusat. Adanya otonomi pengelolaan dana, kebebasan menerbitkan kebijakan pengkondisian lingkungan kampus, kebebasan menciptakan usaha-usaha untuk mendapatkan pendapatan lebih, dan kebebasan-kebebasan lain agar tercipta sistem yang disesuaikan dengan kebutuhan kampus. Dilihat dari kaca mata lain, PTN-BH diposisikan dan dijalankan seperti mengorganisir perusahaan, untuk mendapatkan keuntungan.
Pemerintah menerbitkan program demikian, berdalih memberikan otonomi pendidikan. Beralasan, yang mengetahui kondisi di lapangan adalah pengurus perguruan tinggi. Maka dari itu, para pengurus diberikan kebebasan untuk merancang kebijakan untuk instansinya. Menurut data peringkat perguruan tinggi dunia, yang dikelola Webometrix, memang menunjukkan adanya peningkatan rangking dari perguruan tinggi yang telah diprivatisasi. Sebut saja, Taiwan, Singapura, Hongkong, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), keempat negara di kawasan Asia tersebut, saat ini taraf pendidikannya naik secara signifikan.
Meski demikian, pemerintah Indonesia sebelum mengimplementasikan kebijakan PTN-BH, harus bercermin dengan keadaan penduduk negeri ini. Tidak serta merta mengiyakan kehendak asing. Lebih tepatnya harus memiliki pendirian sebagai bangsa yang berdaulat.
Kondisi pendidikan tinggi negara ini belum mapan. Ini diparameterkan dengan posisi perguruan tinggi Indonesia di dunia, yang menempati rangking 700 hingga 800-an ke bawah. Itu baru sekelas Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung. Bayangkan sebarapa jauhnya kualitas pendidikan tinggi di daerah pinggiran Indonesia. Belum lagi, problematika minimya keikutsertaan warga Indonesia menempa ilmu pada level perguruan tinggi, baru 7,4 juta jiwa yang bisa jadi mahasiswa.
Konsep pendidikan Indonesia, dari masa ke masa memang harus mengikuti kebutuhan manusianya. Di sisi lain, juga harus dapat bersaing dengan pendidikan negara maju. Modernisasi konsep dan sistem pendidikan tinggi Indonesia sangat diperlukan, akan tetapi dihindari untuk membuka peluang bagi kaum kapitalis melebarkan sayapnya, dan dunia pendidikan menjadi kambing hitam yang dikorbankan. Menjadi objek tunggangan meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Dengan demikian, program PTN-BH harus dikawal, jangan sampai hal ini menjadi celah mengkapitalisasikan pendidikan. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut andil dalam mengembangkan dunia pendidikan, yang menyesuaikan kebutuhan, memang harus dilakukan. Akan tetapi, negara tidak serta merta hilang dalam pengawasan. Di sisi lain, ada kebijakan tambahan yang harus dikeluarkan negara, agar problematika warga miskin tidak kuliah dan kualitas pendidikan tinggi merata dapat terwujud.
Pertama, pemerintah harus membuat regulasi, yang mengatur hasil pendapatan dari PTN yang telah berstatus Berbadan Hukum, harus menyisihkan penghasilannya, untuk mengembangkan kualitas PTN yang telah ada, agar dapat mendapat kualitas SDM dan Sarana dan Prasarana setara. Serta membuka PTN-PTN baru yang tidak kalah kualitasnya.
Kedua, mengatasi permasalahan minimnya jumlah mahasiswa, karena mahalnya dunia pendidikan tinggi, yakni dengan strategi PTN-PTN yang baru dibuka tersebut, dididirikan hanya dikhususkan bagi masyarakat tidak mampu, yang memasuki umur kuliah, namun tidak kuliah.
Jadi, dengan adanya desakan dari asing, tidak serta merta mengikuti sepenuhnya, namun tidak langsung menolak. Menimbang segala dampak internasional yang dapat terjadi. Lebih bijaknya, perlu ada manuver dan inovasi kebijakan, yang menyesuaikan keadaan bangsa.
Akhirnya, stigma miring PTN-BH, yang hanya akan lebih memiriskan pendidikan tinggi dapat sedikit demi sedikit sirna. Cap sebagai kepanjangan tangan kaum pengusaha, juga bisa lenyap. Ini karena, sesungguhnya sudah tidak sepantasnya dunia pendidikan diperlakukan sebagai alat memperkaya diri. Disebabkan, pada dasarnya pendidikan adalah hak asasi setiap manusia. Pendidikan sebagai jalan menghilangkan kebodohan. Kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan seluruh rakyatnya. (T)