Walau sedikit mendung, pagi itu Banjar Pagi kelihatan tetap ceria dengan anak-anak kecil yang sedang bermain bola di jalan. Mereka tertawa menikmati libur sekolah. Beberapa teruna-teruni sedang bersih-bersih di sepanjang jalan di banjar itu. Sementara para petani berangkat ke sawah dengan wajah segar. Sepagi ini tubuh mereka kelihatan bertenaga. Di kejauhan, birunya Gunung Batukaru nampak tak utuh, tertutupi mendung.
Banjar Pagi, seperti hawa pagi, adalah kampung yang sejuk. Banjar kecil yang terpencil itu, terletak di Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali. Diapit oleh persawahan dan tegalan di penjuru mata angin. Kalau kita mau menuju Banjar Senganan Kawan di utara banjar Pagi ini, maka kita harus melewati persawahan yang luas dulu. Demikian juga kalau menuju Banjar Pacung di sebelah selatan, kita akan bertemu dengan sawah-sawah indah dalam sebuah lembah. Di timur dan barat juga adalah persawahan, dengan padi-padi yang roboh, yang mungkin tadi malam diterpa angin. Untunglah bulir-bulir padi itu sudah menguning sehingga siap dipanen.
Saya butuh 50 menit menuju banjar ini, dari desa saya di Marga, dengan naik sepeda roadbike. Smartwatch saya menunjukkan jarak sekitar 13 kilometer. Jarak yang sebenarnya pendek, tapi karena medannya sedikit menanjak membuat napas jadi ngos-ngosan. Apalagi saya berusaha memacu kecepatan sepeda supaya hujan tidak mencegat di perjalanan. Tadi sempat gerimis sebentar.
Sejak beberapa hari saya memang berniat ke Banjar Pagi, naik sepeda, dan jeda sebentar di banjar itu. Dalam benak saya Banjar Pagi ini begitu istimewa. Selain masih bertahan sebagai wilayah agraris yang dibuktikan dengan bertahannya sawah-sawah, di banjar ini juga terdapat konservasi burung hantu. Burung hantu itulah yang membuat saya mengayuh sepeda ke desa itu. Saya ingin mengucapkan, “Selamat Pagi, Burung Hantu!”.
Tentu saja salam saya tak kan terjawab. Sepagi itu burung hantu pastilah sedang tertidur setelah pada malam hari keluyuran di kawasan persawahan. Tapi, tak apa, cukup akan saya sampaikan Selamat Pagi, Banjar Pagi…
Burung hantu, orang Bali menyebutnya celepuk. Burung yang berkeliaran di malam hari. Menurut cerita-cerita orang tua jaman dulu, kalau ada suara celepuk, itu pertanda ada orang meninggal dunia. Entah, apakah benar cerita itu. Waktu kecil saya memang takut kalau mendengar suara celepuk. Suaranya kedengaran aneh, tidak seindah burung-burung yang dipelihara para penghobi.
“Puk… puk… puk!” Kalau mendengar suara itu di tengah malam yang hening, saya segera bersembunyi di balik selimut, dengan mata dipejamkan rapat-rapat.
Tapi tidak demikian dengan warga Banjar Pagi. Bagi mereka, burung hantu merupakan sahabat manusia. Burung hantu adalah pemburu tikus-tikus yang selama ini merepotkan para petani.Celepuk sudah menjadi ikon banjar ini. Di depan rumah semua warga, terdapat lampu penerangan jalan yang diberi penutup lampu berbentuk celepuk.
Tersebutlah Made Jonita, atau lebih akrab dipanggil Dek Enjoy, yang menjadi pemrakarsa konservasi burung hantu ini. Ketika saya mampir ke rumahnya, ia sedang duduk santai sambil menikmati secangkir kopi hitam.
“Swastiastu,” ucap saya sambil menuntun sepeda. “Pak Kadek Enjoy, nggih?”
Tuan rumah menyambut dengan senyumnya yang ramah: “Swastiastu. Nggih, tiang sendiri.”
Kami bersalaman. Made Jonita berambut gondrong dengan kumisnya yang tebal. Walaupun sosoknya sedikit angker, tapi senyumnya begitu bersahabat. Pelan-pelan dia bercerita, dari A sampai Z, tentang seluk beluk celepuk. Kalimat-kalimatnya mengalir.
Lelaki bertubuh tinggi di hadapan saya ini sungguh seorang inspirator sejati. Seperti nama kerennya: Dek Enjoy, selalu hidup enjoy. Visinya jauh melompat ke depan. Sudah empat tahun Dek Enjoy membentuk dan memimpin TUUT, Tyto Alba Uma Wali untuk Tani, kelompok masyarakat yang memiliki kegiatan memelihara dan merawat burung hantu. Spesiesnya adalah Tyto Alba, jenis burung hantu berbulu putih. Tampangnya manis. Tidak menyeramkan. Wajahnya berbentuk jantung dengan tepi kecoklatan. Kalau di Jawa disebut Serak Jawa.
Saya jadi teringat dengan Hedwig, burung hantu putih dalam film sekuel Harry Potter yang mendunia itu. Burung hantu yang baik, sebaik Harry Potter.
Burung-burung hantu yang sudah dewasa, yang sudah siap berburu di alam liar, dilepaskan oleh kelompok TUUT ini, lewat sebuah acara seremonial. Tahun 2018 yang lalu mereka telah melepaskan sebanyak tiga kali. Pertama dilepas di Subak Merta, Tempek Soka Candi, Desa Senganan. Yang kedua dilepas saat acara Festival Jatiluwih yang meriah itu, kemudian yang terakhir Desa Wisata Pinge mendapat giliran. Menurut masyarakat petani, pelepasan burung hantu ini memberi banyak perubahan. Hama tikus menjadi lebih sedikit.
Banjar Pagi menjadi begitu terkenal. Banyak pejabat yang datang ke sana, khusus melihat penangkaran burung hantu Tyto Alba itu secara langsung. Beberapa stasiun televisi pernah menayangkan di layar kaca. Wartawan-wartawan sudah banyak yang menulis. Wisatawan asing silih berganti datang.
Made Jonita mengeluhkan biaya perawatan burung-burung itu. Operasionalnya lumayan tinggi. Belum lagi kalau ada burung sakit yang butuh perawatan. Sekarang ada sembilan burung di penangkaran yang masih muda. Setiap hari mereka harus diberi makan tikus. Satu burung minimal membutuhkan seekor tikus untuk satu hari. Inilah yang bikin repot. Tiap hari Made Jonita berburu tikus dengan senapan, bergiliran dengan anggota kelompok yang lain. Kadang juga dibantu anak Made Jonita yang sudah remaja, yang sudah bisa mengoperasikan senapan angin.
Sementara bantuan operasional dari pemerintah dirasa masih minim.
“Untuk beli peluru saja rasanya tidak cukup,” kata Made Jonita sambil tersenyum.
Burung-burung itu memang sengaja dari kecil diberi tikus, karena fungsi utama mereka nanti sebagai pemangsa tikus hama sawah. Tidak pernah diberi makanan yang lain seperti anak ayam, karena salah-salah nanti mereka justru memburu anak ayam yang diternakkan. Maunya membantu petani, justru ribut yang terjadi.
Burung-burung hantu yang sudah dilepas dibuatkan kandang di alam bebas, agar mereka bisa istirahat dengan nyaman di siang hari. Namanya rubuha, rumah burung hantu. Sebuah rumah kecil dengan pintu terbuka, tinggi, disangga sebuah tiang yang kokoh, biasanya terletak di pinggir sawah.
Di sana burung-burung itu tidur, kawin dan berkembang biak. Saat bayi-bayi mereka menetas, Made Jonita sering memindahkannya ke penangkaran untuk dirawat. Kata Made Jonita, mencegah agar burung yang belum layak terbang ke alam bebas nekat terbang sendiri. Saat masih umur 4 bulan, insting berburu mereka belum begitu tajam walaupun sudah bisa terbang.
Sepasang burung hantu bisa melindungi 25 hektar persawahan. Mereka satpam yang setia di malam hari, mengawasi sawah-sawah dari serbuan tikus. Sebagai predator alam, burung hantu memiliki kelebihan, yaitu bisa memutar kepala mereka ke segala arah dan sudut, tanpa menggerakkan tubuh. Mata mereka bisa melihat obyek di kegelapan, bagaikan teknologi spionase dengan infra merah di film-film, yang bisa menembus pekatnya malam. Mereka pemangsa tikus yang lebih efektif dibanding ular. Dalam setahun, satu ekor burung hantu bisa membunuh 1.300 ekor tikus. Begitulah yang tercatat di Wikipedia.
Iya, seandainya saja setiap subak di Bali memiliki beberapa ekor burung hantu, tidak ada lagi racun tikus yang ikut membunuhi habitat lain, tidak ada lagi ritual meboros tikus yang rutin diadakan. Hanya dengan menjaga sistem mata rantai makanan, alam pun akan seimbang. Apa yang dilakukan warga di Banjar Pagi ini, di bawah koordinasi Made Jonita, sungguh luar biasa. Kebaikan yang tercipta di desa.
Banjar Pagi bisa menjadi percontohan tentang penangkaran burung hantu yang bisa menguntungkan petani. Barangkali bisa ditiru daerah-daerah lain. Hal yang positif memang harus disebarkan seperti virus. Virus yang baik, akan menghasilkan kebaikan juga.
Seperti virus bersepeda, kalau disebarkan secara massif akan membuat masyarakat sehat. Semoga saja keberadaan penangkaran di banjar Pagi ini terus ada untuk tahun-tahun ke depan. Walaupun permasalahan tetap ada seperti biaya operasional yang minim, semoga saja itu tidak akan mengganggu keberadaan konservasi ini. Tyto Alba, si burung hantu yang imut dan lucu yang berbulu bersih, memang harus dilestarikan. Burung ini sudah hampir punah.
Tak terasa sudah dua jam ngobrol dengan Made Jonita. Mengalir ke mana-mana. Wawasan beliau luas. Temannya banyak, dari segala macam profesi. Bersahabat dengan banyak orang akan menghasilkan hidup penuh warna.
Meski sebentar, saya sempat mampir melihat konservasi itu. Saya hanya melihat 5 rubuha yang dikelilingi rumah besar dengan jaring kawat, agar burung-burung itu tidak lepas. Di siang hari mereka tidur di dalam rubuha. Made Jonita menyarankan saya datang pukul 7 malam, agar bisa melihat burung-burung itu terbang di sangkar yang luas itu.
Saya termasuk seorang penakut, tentu tak akan pernah berani datang ke kampung yang diapit persawahan dari segala arah mata angin ini pukul 7 malam….hehehe.
Saya berpamitan pada Made Jonita, sahabat yang ramah yang baru saya kenal hari itu. Kemudian mengayuh sepeda saya lagi, menuju arah utara. Lewat Desa Senganan untuk pulang ke Marga. Baru saja saya memperoleh pengetahuan yang berharga di Banjar Pagi. Besok saya akan membuat baju kaos dengan gambar Tyto Alba di dada. [T]