Kita tidak pernah benar-benar mengetahui. Itu pasti. Maksudnya, ada saja yang terlewat dalam usaha mengetahui.
Buktinya, kita bisa melihat yang di hadapan mata, tapi tidak yang di belakang. Jangankan yang dibelakang, yang di samping saja sudah sulit untuk dilihat dengan jelas. Jika saya analogikan, yang ada didepan mata adalah siang, yang di belakang adalah malam, yang di samping kiri-kanan adalah sandya kala. Sesuatu terlihat jelas saat siang karena ada matahari, tapi menjadi tidak jelas pada malam hari. Di antara yang jelas dan tidak itu, ada sandi kala, atau dalam bahasa kerennya saru gremeng.
Nama lain saru gremeng adalah saru mua. Saru berarti tidak jelas, muaberarti wajah. Wajah-wajah yang tidak jelas bisa disebut saru gremeng. Apalagi bagi yang tidak memiliki sikap, bisa juga disebut demikian. Tetapi jangan berprasangka buruk dulu, sebab di dalam tradisi, saru gremeng sangat mistis. Diyakini begitu, karena berada di areal perbatasan. Perbatasan antara cahaya dan gelap atau sebaliknya.
Perbatasan memang riskan. Bagian paling riskan dari suatu negara adalah di perbatasan, makanya bagian itulah yang perlu dijaga dengan sangat baik. Bagian perbatasan, menjadi semacam identitas bagi suatu negara. Maka tidak heran jika pada area perbatasan, ada pemerintah yang berbondong-bondong membangun pembatas dengan berbagai ornamen ukiran. Tujuannya adalah untuk menunjukkan perhatiannya kepada masyarakat perbatasan. Sekaligus menjaga wibawa tentunya.
Ternyata perbatasan itu penting. Sebutan perbatasan pun berbeda-beda sesuai dengan yang dibatasinya. Perbatasan waktu disebutnya sandi kala. Perbatasan rumah disebut panyengker. Batas kebebasan disebut aturan. Batas hidup dan mati disebut tubuh. Batas tubuh manusia dengan alam sekelilingnya adalah bulu. Jadi bulu adalah salah satu jenis perbatasan, dan penting adanya.
Ternyata bulu itu penting. Bayangkan jika burung Cangak seperti saya, tidak punya bulu. Tidak mungkinlah bisa terbang. Bayangkan jika ada kepala manusia yang tidak berbulu [rambut], itu disebutnya gundul. Jangan salah, gundul juga penting, saking pentingnya sampai dibuatkan nyanyian gundul-gundul pacul. Saya sendiri belum mengerti, apa hubungan gundul dengan pacul?
Sebagaimana gundul, berbulu panjang pun penting. Contohnya, jika ada lelaki dengan rambut panjang, barangkali itu salah satu bentuk perlawanan. Melawan anggapan kebanyakan orang bahwa lelaki harus berambut pendek. Meski pun lebih sering, dengan rambut panjang dikiranya perempuan dari belakang. Untuk menanggulangi permasalahan itu, kebanyakan lelaki berambut panjang akan memelihara jenggot dan kumis. Jadi kelelakiannya tidak akan diragukan.
Contohnya, tonton saja film Mahabharata, kebanyakan tokoh lelakinya berambut panjang. Atau perhatikan aqua man, rambutnya juga panjang. Bagi penggemar anime, lihat saja Uciha Madara dengan mata saringgan yang tajam dan rambut hitamnya yang panjang. Hal ini juga berlaku untuk yang gundul, karena ada juga pahlawan-pahlawan super yang gundul. Semisal one punch man.Ia bisa mengalahkan musuh-musuhny hanya dengan satu pukulan saja. Yang gundul atau yang panjang, sama-sama punya sisi heroik.Gitu!
Tentang bulu, rambut dan perbatasan, ternyata kalau dipikir-pikir belum selesai. Ada banyak hal yang bisa dihubung-hubungkan dengan rambut. Semisal spiritual. Umumnya kalau ada orang berambut panjang, diikat rapih, akan ditanya “mau jadi pamangku?”. Pertanyaan itu seperti legitimasi, kalau rambut panjang adalah ciri. Padahal belum tentu rambut panjang berarti pamangku, sebab jaman sekarang, ada pamangku yang potongan rambutnya dicukur pendek dan rapi.
Bagaimana kalau jadi sulinggih? Kalau sulinggih, beda lagi. Rambut para sulinggih biasanya diikat ke atas, sehingga terlihat seperti gunung. Ada juga yang tidak diikat, tapi disisir dan dibiarkan tergerai sepundak. Bagaimana kalau sulinggih itu tidak punya rambut? Tentu bisa disiasati dengan jenggot. Tapi sepanjang-panjangnya jenggot yang tumbuh, belum pernah saya lihat ada yang diikat diatas kepala.
CANGAK SEBELUMNYA:
Ada sebuah catatan berjudul…. maaf saya lupa judulnya. Pokoknya di dalam catatan itu, ditulis tentang jenggot dan hubungannya dengan kelingsiran. Konon, bukanlah karena jenggotnya yang panjang dan putih, seseorang bisa disebut lingsir. Bukan pula karena kulitnya yang keriput, atau karena staminanya yang sudah menurun. Bukan juga karena sudah tidak lagi doyan nyeledet. Tetapi karena ilmunya sudah tinggi. Berilmu tinggi tapi tidak tinggi hati. Gitu!
Saya tidaklah bermaksud menertawakan euforia ramai-ramai melingsir. Itu jelas tidak baik. Sebab ada suatu bagian dari cerita Mahabarata, terutama setelah perang selesai, ada oknum wangsa Yadu meledek kemampuan seorang anak lingsir yang memang lingsir. Alhasil dikutuklah wangsa itu akan hancur karenanya. Tidak perlu menunggu waktu lama, kutuk itu berjalan dan wangsa Yadu lenyap. Begitu menurut ceritanya.
Takutkah dikutuk? Memangnya siapa yang tidak? Ada banyak sekali cerita yang diwarisi dalam tradisi, menceritakan perihal kutukan. Bhisma yang terkenal itu, adalah salah satu dari delapan Wasu yang dikutuk. Bahkan Arjuna juga dikutuk kehilangan kelelakiannya oleh seorang bidadari yang ditolak cintanya oleh Arjuna. Jadi hati-hatilah menolak cinta, nanti dikutuk. Ada juga yang dikutuk sampai mati, contohnya Dyah Harini dalam cerita Sumanasantaka. Itulah beberapa cerita tentang kutukan.
Beda cerita kutukan, beda lagi cerita tentang ketakutan. Ketakutan itu bisa datang dari hal-hal yang nyata dan hal-hal yang seperti tidak nyata. Contoh yang nyata, takut pada ketinggian, pada gelap, pada ular, pada macan, takut sendirian, dan seterusnya. Takut pada hal yang seperti tidak nyata lain lagi, contohnya takut pada hantu, pada kutukan leluhur, dan sebagainya. Ketakutan semacam itu bisa dimanagement oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Umumnya, orang-orang yang ahli dengan ketakutan, berpura-pura bodoh.
Ada cerita tentang I Belog yang ahli memanfaatkan ketakutan. Belog adalah bahasa Bali yang berarti bodoh. Ceritanya, I Belog sangat menginginkan Luh Ayux sebagai istrinya. Tetapi Pan Ayux, ayah dari Luh Ayux yang merasa sangat pintar, tidak menyetujuinya. Begitulah nama-nama orang dulu, nama ayah dan ibu diambil dari anaknya. Jika anaknya Gonjreng, maka ayah ibunya dipanggil Pan Gonjreng Men Gonjreng. Jika anaknya bernama Cubling, maka dipanggillah Pan Cubling dan Men Cubling. Jika anaknya Robet, maka dipanggillah Pan Robet dan Men Robet. Bagaimana jika anaknya dinamakan Ci atau Cor?
Selain pintar, Pan Ayux juga kedewan-dewan. Suatu hari dia merapal ajian ini dan itu di hadapan tempat suci leluhurnya. Tempat suci itu berbentuk gedong dengan satu pintu, dan cukup jika dimasuki oleh manusia. Ke tempat itulah I Belog masuk, dan pura-pura menjadi leluhur. Saat Pan Ayux sedang khusuk merapal ajian, I Belog bicara keras-keras. Pan Ayux ketakutan sekaligus senang karena baru kali ini dia didatangi langsung oleh leluhurnya. Ternyata rapalan ajiannya kali ini dapat menyenangkan hati leluhur.
Tapi yang namanya kesenangan tidak pernah berlangsung lama. Leluhur jadi-jadian itu menyuruh Pan Ayux untuk melakukan sesuatu hal yang tidak pernah ia bayangkan seumur hidupnya: menikahkan Luh Ayux dengan I Belog. Jika tidak dilakukan, konon menurut leluhur jadi-jadian itu, Pan Ayux akan dianugerahkan kutukan yang tidak bisa dihapuskan bahkan oleh sejuta banten sekalipun.
Itulah salah satu contoh cerita tentang orang pintar yang pura-pura bodoh, tapi bisa memanfaatkan ketakutan. Barangkali, pada masa kini banyak yang demikian. Diamanfaatkannya ketakutan serta kebodohan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itulah, kepada kaum ikan semuanya, jangan jadi ikan bodoh. Belajarlah yang banyak dan jangan mudah tertipu. Percayalah dengan nasihan dari seburung Cangak yang sudah berkelana lama-lama di berbagai belahan langit. Sudah begitu banyak yang saya temukan, dan lihat. Karena itu, saya punya cara pandang yang berbeda jika menilai sesuatu. Contohnya begini.
Ilmu itu adalah racun. Hati-hatilah mencernanya. Ilmu disebut racun jika yang menyebutnya adalah orang malas yang tidak suka belajar. Makanan adalah racun, atau dalam bahasa kerennya merta matemahan wisia. Makanan menjadi racun, jika tidak dikunyah sampai hancur. Bayangkan jika seonggok jagung di sudut kamar harus ditelan semua sekalian tanpa dikunyah. Menjadi tua renta adalah racun, terutama bagi para gadis atau lelaki muda yang ingin jatuh cinta. Itu yang mestinya diketahui dan dipahami oleh semuanya. Beda konteks, beda pula maksudnya. Maka pahamilah yang diketahui.
Rumus mengetahui tidak lebih sulit dari rumus phytagoras. Rumusnya begini, mengetahui adalah jika antara yang tahu dan yang diketahui tidak berbekas. Tidak berbekas maksudnya, sudah tidak teridentifikasi lagi apa yang diketahui, dan siapa yang mengetahui. Begitulah teorinya. Teori itu tidak sulit, asal mau dipahami.
Memahami yang diketahui adalah tantangan tersendiri bagi para kaum terpelajar. Cangak seperti saya, tidaklah semestinya diragukan lagi dalam hal pengetahuan dan pemahaman.Berkelana ke berbagai belahan langit, adalah swadharma bagi saya. Meskipun demikian, saya senang tinggal di telaga ini sebagaimana ikan-ikan kebanyakan. Tetapi Cangak tidak boleh berdiam diri di suatu tempat. Saya ingin dan harus pergi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.Kepada para ikan, saya hanya bisa mempersilahkan untuk berunding, dan memutuskan ingin ikut atau tidak. Semoga saja di telaga lain, yang akan saya tuju kali ini, airnya lebih jernih dan menyegarkan. Siapa yang tahu?! [T]