“In order to cure the human body, it is necessary to have a knowledge of the whole of things”
Hippocrates (460-377SM), dalam untaian kata-katanya yang begitu bersahaja, telah membangunkan kesadaran kita dari lelap tidur dini hari yang dingin akan spirit komunal yang memeluk hangat. Ia tak hanya mengajak dokter untuk kembali memahami tubuh manusia yang utuh akan fisik (body), pikiran (mind) dan jiwa (soul), juga menegaskan keniscayaan akan prinsip-prinsip dasar penghormatan terhadap semesta alam dan hidup itu sendiri.
Seakan-akan Hippocrates yang visioner telah meramalkan ilmu kedokteran yang kian mutakhir di masa depan bukan hanya kemudian potensial menceraikan dokter dengan sejawatnya sendiri, juga memisahkan mereka dengan pasien dari hubungan yang seharusnya begitu dekat macam anak kunci dengan gemboknya. Serupa dengan musisi-musisi adiluhung masyur yang lahir berkat gubahan-gubahan fenomenalnya maka takkan pernah ada dokter yang hebat bila tak ada pasien yang rumit, oleh karenanya filosofi “pasien adalah guru bagi dokter” menjadi begitu faktual.
Kita, dokter, atau siapa saja, dapat menjadi besar dan dimuliakan berkat cara-cara yang sangat sederhan, yaitu kerendahan hati dan welas asih. Kembali pada makna rangkaian kata-kata sederhana sang mahaguru Hippocrates, maka bekerja menjadi dokter, melayani semesta insani kita patut merunduk serendah-rendahnya pada hasil dan imbalan dan sebaliknya menggapai setinggi-tingginya pada intelegensia, nurani serta kebijaksanaan.
Hippocrates mungkin dongeng bagi kita, namun ia abadi karena kesetiaannya pada pelayanan. Untaian-untaian emas filsafat bajik seperti ini boleh bertebaran di belahan bumi mana saja dan hidup di zaman apa saja, namun ia abadi untuk dianut.
Coba kita lihat kemudian, seorang wanita perkasa yang boleh kita sebut sebagai “dokter untuk kaum papa”, Bunda Theresa, telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kemanusiaan. Ia melayani orang-orang miskin sakit dan kotor di sepanjang jalanan Kota Kalkuta, India yang kumuh, mengangkut ke rumah penampungan, memandikan, menyuapi makan, memberikan obat, menyembuhkan atau menjadikan kematian mereka lebih terhormat.
Maka tak berlebih lalu Bunda Theresa dimuliakan dengan hadiah Nobel Perdamaian tahun 1979 lalu diabadikan sebagai orang suci (santa) oleh Paus Fransiskus.
Jika Bunda Theresa pernah mengucapkan kata-kata yang sangat tersohor bahwa ujung dari cinta kasih adalah pelayanan, maka betapa bersyukurnya kita sebagai dokter yang berada pada ujung cinta kasih itu. Tak perlu menjemput ke jalanan kumuh memberi pelayanan untuk kaum papa, namun profesi mulia ini telah begitu mendekatkan kita dengan nilai-nilai humanisme.
Lalu terperciklah api-api pertanyaan yang agak mengagetkan karena panasnya, “Kapan kita terakhir kali memeluk seorang pasien dengan hati yang dalam?”, atau “Pernahkah kita menggratiskan biaya berobat seorang pasien tak mampu?’, atau “Bersediakah kita hadir kembali saat seorang pasien yang kita rawat dalam keadaan sangat kritis?”.
Masih banyak pertanyaan yang begitu mengusik nurani bila mata hati kita sebagai dokter telah terbuka. Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita jawab dengan heroik demi meneruskan api spirit kemanusiaan dan kebangsaan seorang dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Cipto Mangun Kusumo. Kenapa? Karena mereka menampik kebersamaan dengan Kompeni yang perlente, namun patriotik merangkul melayani bangsanya yang kumal.
Dari sinilah sebetulnya nilai-nilai profesionalisme seorang dokter telah diikrarkan. Seharusnya kita sujud, menyelami kembali spirit profesionalisme yang telah ditanamkan oleh pendahulu dokter pejuang itu, demi menggerus lebur berbagai isu kelam yang menodai kemuliaan profesi ini seperti isu gratifikasi, sindikasi atau fraud.
Sepertinya kita takkan menang melawan isu-isu ini hanya dengan bicara dan kata-kata. Maka marilah bekerja, bekerja dan bekerja. Kode etik profesi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) telah memandu kita bekerja, namun dengan sedikit filsafat maka kita akan dapat menyusuri sungai jernih dan sejuk kerendah hatian, dan ia akan melindungi kita.
Lebih dari cukup dokter telah belajar mendalami sel, fungsi organ, mekanisme penyakit, modalitas terapi up to date, metode pembedahan canggih sampai pada peluang sel punca di masa depan. Kenapa tak sedikit saja kita mencoba filsafat?
Filsafat telah ditulis sejak awal ilmu pengetahuan untuk kemudian dapat menunutun manusia kelak menggunakan sains dan teknologi tidak hanya dengan benar, juga dengan bijak. Kita pasti akan meyakini, filsafatlah yang telah membawa Dr. dr. Lie Dharmawan SpB SpBTKV pada hakikat nilai seorang pelayan. Lalu mengabdikan separuh hidupnya pada RS Kapal yang berkeliling Nusantara untuk melayani sesama dalam spirit pluralisme.
Masih banyak panutan yang kita, dokter-dokter Indonesia ini dapat ikuti untuk mempertahankan kemuliaan profesi ini. Dalam perspektif tradisi lokal Hindu Bali, ada satu keyakinan yang disebut dengan Hukum Karmapala, ini selaras dengan konsep fisika modern yang kita kenal dengan prinsip-prinsip kekekalan energi.
Dalam ilmu fisika, hukum kekekalan energi menyatakan bahwa jumlah energi dari sebuah sistem tertutup itu tidak berubah, ia akan tetap sama. Energi tersebut tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, namun ia dapat berubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. (Hukum I Termodinamika) Maka, yakinilah setiap senyum atau pelukan tulus dokter akan dapat menjadi energi penyembuhan untuk pasien-pasien yang dirawat.
Dalam perspektif falsafah jenius lokal Karmapala, kita bahkan dikagetkan dengan fakta dinamika energi yang sulit diterima namun niscaya kebenarannya. Hukum ini menyebutkan setiap orang, kualitas hidupnya, nasib atau takdirnya, ditentukannya sendiri, tak sedikitpun dipengaruhi orang lain! Lalu, apakah senyuman, pelukan dan pelayanan terbaik kita untuk pasien takkan mempengaruhi nasib kesehatan mereka? Betul, tidak! Wow!
Bagaimana bisa? Ya bisa, begitulah hukum obyektif maha adil itu bekerja. Persis seperti, karena Arjuna atau Srikandi kah Begawan Bisma gugur ? Dalam kisah drama marcapada ya, namun dalam kontemplasi filsafat ini, sesepuh Keluarga Barata ini gugur mutlak karena hutangnya yang telah menyia-nyiakan Dewi Amba dalam sebuah sayembara.
Itulah kenapa Mahatma Gandhi saat ditembak terbunuh oleh seorang militan Hindu seketika memaafkan pembunuhnya, karena ia meyakini itu adalah kematian atas takdirnya sendiri. Tapi jangan buru-buru menarik senyuman, pelukan dan pelayanan terbaik kita, justru diperkuat lagi karena semakin jelas semua yang kita lakukan adalah untuk kemuliaan kita sendiri dan kesembuhan pasien mungkin adalah dampaknya.
Jadi kita akan senantiasa berikhtiar berusaha yang terbaik untuk pasien sebagai bagian dari profesionalitas kerja lalu selalu menanamkan kesadaran pasien dan keluarganya bahwa kita tetap memohon yang di atas. Seperti cerita orang tua kita, petani yang hebat adalah mereka yang menanam bibit dengan baik lalu merawatnya dengan baik tanpa mengikatkan diri dari hasilnya, maka mereka bebas dan bahagia.
Begitulah kira-kira kebahagiaan Dr. dr. Lie Dharmawan SpB SpBTKV yang tunduk setia pada tugas sebagai pelayan dan bebas dari ikatan pamrih. Ia secara alamiah tetap mendekatkan diri dengan masyarakat yang memang di mana seorang dokter harus berada. Berada dekat di sana hanya dengan menjalankan tugas-tugas alamiahnya sebagai pelayan rakyat.
Mengakhiri tulisan ini, masih sangat relevan gagasan seorang Mahatma Gandhi, jangankan mengubah dunia, mengubah satu orang pun belum tentu kita mampu, kalau begitu ubahlah diri sendiri menuju kebaikan, jika setiap orang mau melakukannya maka dunia dengan sendirinya akan menjadi lebih baik. [T]