CIKAR digiring untuk ganti roda ban kayu ke ban karet (atau ban pompa) dipergunjingkan sekitar tahun 1937-1938. Salah satu alasannya karena dipersalahkan telah merusak jalan-jalan aspal.
Insinyur Belanda bernama Ir. A. Poldervaart, sebagai dedengkot dan mahaguru tukang aspal di Jawa era kolonial itu, secara serius menggugat roda cikar sebagai biang kerusakan jalan aspal di Jawa. Secara serius ia menulis hal ini di tahun 1938 tentang perkembangan kemajuan jalan aspal di Jawa yang diperkenalkan semenjak tahun 1923.
Untuk pergantian roda cikar ini bahkan ada dibentuk semacam “komisi percepatan ganti ban cikar” di zaman itu. Dalam bahasa Belanda disebut sebagai “Normalisatiecommissie voor Tjikar op Rubberban”. Bertindak sebagai sekretaris komisi ini adalah, tak lain tak bukan, si mbah tukang aspal, Ir. A. Poldervaart.
Ketika itu disanding-sandingkanlah cikar roda kayu dengan dengan “cikar ban pompa”. Ditulisnya artikel panjang oleh sang sektretaris artikel panjang dengan ilustrasi beda kedua ban itu (lihat foto) di jurnal terbitan Belanda: LOCALE TECHNIEK • INDISCH BOUWKUNDIG TIJDSCHRIFT • TECHNISCH ORGAAN V/D VEREENIGING VOOR LOCALE BELANGEN • 7e JAARGANG NUMMER • SEPTEMBER – OCTOBER 1938.
Jurnal ini disponsori (penuh iklan) dari pabrik dan distributor penjualan mobil dan truk serta distributor ban pompa. Karuan saja jurnal ini rada mendiskreditkan ban kayu dan kentara punya misi dagang kapitalisme global produsen alat transportasi modern.
Perubahan roda kayu ke roda pompa ini penanda masuknya kapitalisme global kendaraan bermotor di Indonesia. Sampai saat ini wong cilik rakyat Indonesia tak lagi memakai transportasi berteknik lokal, murni telah menjadi korban pasar produsen sepeda motor dan kendaraan bermotor lainnya yang dibuat para mantan penjajahnya Eropa, Jepang, dan disusul (dalam istilah Bung: penjajah baru ‘neo-kolonial’) Amerika.
Karya sket Johan Warmer (1910 – 1986) yang digambar di Kesilir, sebuah desa di kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, provinsi Jawa Timur, menjadi bukti perubahan roda pedati/cikar/gerobak dari kayu ke ban.
Dari tergusurnya roda pedati/gerobak/cikar kita bisa bercermin bahwa yang datang belakangan, apabila mampu menjanjikan kemudahan, pastinya akan menggusur apa yang lokal sekalipun telah membumi berabad-abad. Termasuk dalam hal ritual dan beragama. (T)
Catatan Harian 30 Desember 2017