“Di era teknologi digital, siapa pun manusia yang lebih awal memiliki informasi maka dia akan jadi Raja dan siapa yang menguasai informasi maka dia akan menjadi Sang Pemenang yang mampu menjadi penguasa dan pengendali dunia.” (Asep Kurnia, 20 Februari 2025).
DIKSI sederhana yang saya tulis ini mungkin sangat minim makna atau konten, tidak memiliki kedalaman filosofi atau memiliki perspektif yang lemah, tapi entah mengapa saya begitu percaya diri serta sangat yakin dan meyakini diksi blepotan itu memiliki kebenaran dan memiliki keserasian dengan situasi dan kondisi saat ini.
Benar atau tidaknya, tepat atau tidaknya, lemah atau kuatnya diksi yang saya buat memang perlu diuji dan ada penguji tandingan dari para pakar komunikasi yang saat ini sedang diakui ke-bertahtaannya sebagai ahli informasi.
Jika diksi itu diterima sebagai suatu kebenaran walau kebenaran sementara, maka ada diksi kebalikannya yaitu:
“Siapa saja manusia atau komunitas yang minim atau tidak memiliki informasi (zero information) maka dia akan jadi budak zaman. Dan siapa pun manusia atau kelompok manusia yang tidak memahami dan menguasai informasi (melek informasi) maka dia akan jadi pecundang dan sampah dunia. (Asep Kurnia, 20 Februari 2025).
Entah mengapa kedua diksi yang tiba-tiba ditulis dan disandingkan di atas menjadi inspirasi kuat saya untuk turun gunung kembali mengkaji kekinian Suku Baduy dikaitkan dengan situasi dan kondisi dunia saat ini yang sedang dilanda oleh laju percepatan perkembangan teknologi informasi yang nyaris tak terkendali. Hal tersebut, ditandai oleh membludaknya dan mewabahnya produksi alat pengakses informasi yang multi model (komputer, HP, software aplikasi, database, dan teknologi lainnya) yang berbanding lurus terjadinya ledakan informasi (information explosion)yang makin dahsyat dan tidak tertahankan.
Masyarakat Suku Baduy yang kita kenal sekarang ini, adalah etnis yang masih tetap pada posisi berkategori satu kesukuan yang masih patuh dan taat dalam melaksanakan hukum adat atau Pikukuh Karuhun-nya. Juga masih bertahan dan menghindari dari proses modernisasi total, bahkan masih melarang warganya untuk terlibat dalam proses pendidikan formal. Walaupun pada kenyataannya di Baduy sudah sering terjadi plesetan-plesetan budaya karena ikutan terpeleset oleh licinnya proses pemodernan. Tentunya dengan mencermati profil singkat Suku Baduy itu, dikaitkankan dengan syarat keterampilan berliterasi informasi ada sesuatu yang menarik yang perlu dipertanyakan sekaligus dianalisis keterhubungannya antara dua situasi yang antagonis itu.
Tren Penggunaan Alat Pengakses Informasi di Baduy
Untuk mengetahui sejauhmana keterhubungan antara dua situasi tersebut, baik kualitas atau dampak negatif-positifnya, maka diperlukan alat pengukur dan pengumpul data yang sahih melalui pertanyaan.
Pertanyaan pemantik pertama,adalah apakah warga suku Baduy mengikuti tren penggunaan alat pengakses informasi seperti di masyarakat umum luar Baduy? Alat pengakses jenis yang mana yang tren dominan diminati dan digunakan oleh warga Baduy?
Pertanyaan pemantik kedua, seberapa banyak warga Baduy yang sudah akrab dengan penggunaan alat pengakses informasi tersebut? Kemudian warga kampung mana saja yang sudah umum, terbiasa dan habit menggunakan alat pengakses informasi tersebut? Apakah sudah seluruh kampung dan warga kampung “tervirusi” oleh penggunaan alat pengakses informasi tersebut?
Pertanyaan pemantik ketiga, manakah yang lebih banyak menggunakan alat pengakses, kaum perempuankah atau kaum laki-lakikah? Lalu, kaum perempuan dan atau kaum laki-laki warga Baduy lebih tertarik mengakes informasi jenis apa: hiburan, budaya, politik, berita, game atau perdagangan? Dan aplikasi yang mana yang paling mereka gemari ?
Ketika data dari pertanyaan pemantik di atas sudah terkumpul secara lengkap dan terbaca dengan akurat, maka kita bisa melanjutkan pada pertanyaan pemantik keempat yang lebih fokus pada menganalisis tingkat kemelekan atau tingkat kemahiran atau keterampilan mereka dalam mengelola literasi informasi. Dan ini memerlukan tingkat keakuratan pengukuran yang measurable dari researcher yang bisa dipertanggungjawabkan sekaligus dapat dipertanggung-gugatkan keabsahan analisisnya.
Untuk mendapatkan data empirik yang lengkap perlu diselusuri dengan metoda ilmiahnya para akademisi. Namun untuk sedikit menghilangkan kedahagaan pengetahuan para pembaca, maka izinkan saya sebagai penulis artikel ini sedikit akan mencoba membantu menyodorkan hasil observasi hidden dan observasi mini saya tentang seberapa jauh kemelekan warga Baduy dalam memahami, mengakses, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan literasi informasi. Mudah-mudah bisa menjadi inspirasi dan motivasi bahkan menjadi pendorong, pemicu dan pemacu para akademisi di bidang ini untuk menyelusuri secara mendalam perihal masalah di atas sehingga menjadi kajian yang resmi dan autentik.
Untuk menunjukkan seberapa melek warga Baduy terhadap literasi informasi, maka harus ada pengertian yang dijadikan rujukan. Ada banyak pengertian atau definisi, salah satunya menurut American Library Association (2000). Literasi informasi adalah serangkaian kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif. (Sukaesih, 2013:63).
Pengertian lain tentang literasi informasi adalah mengetahui kapan dan mengapa anda membutuhkan informasi, di mana menemukannya, bagaimana mengevaluasi, menggunakan, dan mengkomunikasikan dengan cara yang etis. (Tri Septiyantono: 2014:139).
Dari beberapa definisi yang sempat saya baca, literasi informasi memiliki pengertian yang berbeda beda. Namun begitu, semuanya cenderung memiliki kesamaan yaitu, “Merupakan kemampuan seseorang dalam mendapatkan, mengelola dan menggunakan informasi secara tepat, selektif dan efektif”.
Menurut Marsudi (2016:3) tujuan literasi informasi adalah untuk mempersiapkan
individu agar mampu melakukan pembelajaran seumur hidup, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, serta meningkatkan kemampuan individu untuk mengevaluasi informasi di tengah ledakan informasi secara lebih efisien dan efektif. Literasi Informasi sangat berperan aktif dan dapat dijadikan pembelajaran untuk mengekspresikan ide, membangun argumentasi, mempelajari hal baru, dan mengidentifikasi kebenaran informasi serta menolak informasi pendapat yang salah.
Ukuran Kemelekan Informasi Warga Baduy
Berdasarkan kajian definsi-definisi berat di atas, maka pemantik pengkajiannya lebih fokus pada bahwa kemelekan informasi dapat diukur dari kalimat seberapa mudah, besar dan tepat atau lihainya kemampuan seseorang dalam mendapatkan, mengelola dan menggunakan informasi secara tepat, selektif dan efektif.
Baduy yang sudah tidak lagi dapat menghindar dari tingginya intensitas interaksi dan komunikasi dengan dunia luar (baca : manusia modern) dalam artian sudah adaptif dengan penggunaan alat-alat teknologi sangat jelas sekali ada kemudahan untuk mendapatkan informasi. Bila syarat pertama sudah mudah mendapatkan informasi, maka secara otomatis mengelola dan menggunakan informasi pun akan berlanjut. Yang jadi pertanyaan dan jawaban tertundanya adalah apakah mereka warga Baduy sudah secara tepat atau serampangan, selektif atau asal-asalan, efektif ataukah jorjoran dalam menggunakan informasi tersebut? Dari titik sinilah kita bisa mencermati seberapa tinggi atau berkualitasnya tingkat kemelekan informasi suku Baduy.
Agar bisa menarik kesimpulan dengan tepat, mari kita bedah dan jawab pertanyaan pertama dan kedua. Baduy sudah lama membuka akses wisata dan menerima wilayahnya dijadikan tempat unggulan program destinasi wisata. Maka frekuensi dan intensitas interaksi dengan dunia luar (pengunjung) bukan lagi di angka puluhan tetapi sudah masuk pada level angka ratusan sampai ribuan interaksi per hari dan per minggunya. Efek dominonya sudah jelas, bahwa komunikasi dan pertukaran informasi pun meningkat tajam sehingga penggunaan alat pengakses informasi oleh warga masyarakat Baduy Luar secara umum dan warga Baduy Dalam secara khusus sudah tak terelakan lagi.
Ribuan alat pengakses informasi jenis HP android lebih tren dan dominan diminati dan digunakan oleh warga Baduy. Berdasarkan estimasi logis sudah mencapai kurang lebih di angka 10.000 orang dari jumlah penduduk yang jumlahnya sekitar 16.500 jiwa adalah pengguna HP android dengan rerata menggunakan 2 nomor yang aktif di bumi Baduy.
Kemudian warga kampung mana saja yang sudah umum, terbiasa dan habit menggunakan alat pengakses informasi tersebut, apakah sudah seluruh kampung dan warga kampung tervirusi oleh penggunaan alat pengakses informasi tersebut? Dari fakta yang keseharian bahwa semua kampung di Baduy (68 kampung) sudah tervirusi oleh penggunaan alat pengakses informasi, karena itu sudah menjadi kebutuhan primer bagi mereka walaupun tak menutup mata masih banyak yang menolak atau menghindari kepemilikan alat tersebut, terutama tokoh adat dan warga Baduy Dalam.
Jawaban pertanyaan ketiga, para pengguna alat pengakses informasi di Baduy sudah merata baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan untuk di Baduy Luar, di Baduy Dalam lebih dominan penggunanya kaum laki-laki. Kaum perempuan dan kaum laki-laki warga Baduy lebih tertarik mengakes informasi hiburan, game atau perdagangan. Mereka kurang menyukai perihal informasi tentang budaya, politik atau berita. Di antara aplikasi yang tersedia, mereka lebih menggemari aplikasi WhatsApp, Facebook, Istagram dan sekarang menggandrungi TikTok.
Nach, dengan berkiblat pada jawaban singkat diatas, maka jelas sekali bahwa warga Baduy di kekinian sudah melek dalam hal memiliki dan menggunakan alat pengakses informasi. Hampir 60 % warga Baduy sudah tervirusi oleh penggunaan alat teknologi terutama hand phone. Tetapi soal tingkat kemelekan atau tingkat kemahiran atau keterampilan mereka dalam mengelola literasi informasi itu tidak bisa dijawab atau dijelaskan berdasarkan estimasi, harus dianalisa secara akurat berdasarkan pengkajian atau reseach yang measurable.
Ada faktor yang harus diperhitungkan walau mereka sudah memiliki alat pengakses informasi yang canggih, namun jangan lupa bahwa mereka tidak memiliki pengalaman pendidikan dan pembelajaran seperti saudara sebangsanya. Ingat yahhhh, mereka masih dilarang untuk mengikuti pendidikan formal. Kalau pun mereka sudah bisa Ca-Lis-Tung, 80 persen didapat dari pembelajaran mandiri tapi dengan model belajar serampangan.
Penulis sengaja memberi narasi singkat, simpel dan tidak lengkap. Penulis hanya sebatas memberi informasi ringan sebagai pemantik untuk merangsang para pemerhati Baduy melakukan kajian yang lebih intensif dan akurat. Salam Literasi! [T]
Penulis: Asep Kurnia
Editor: Adnyana Ole
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA esai-esai lain dari penulisASEP KURNIA