ADA hal menarik disampaikan Jean Couteau, penulis dan budayawan asal Prancis yang sejak lama bermukim di Bali, dalam webinar “Jejak Rempah Pulau Dewata untuk Dunia” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pada Jumat,16 Oktober 2020.
Jean Couteau yang menjadi salah satu narasumber webinar tersebut mengungkapkan, karakter masyarakat Bali sangat terbuka terhadap sesuatu yang bersifat ‘luar’ atau liyan, misalkan agama dan budaya asing yang dibawa bangsa lain sejak zaman dahulu.
Ia mencontohkan, para pedagang yang membawa pengaruh agama Islam di Buleleng yang pada masa itu adalah jalur perdagangan laut. Warga yang beragama berbeda dengan warga lokal tersebut banyak bermukim di Buleleng yang merupakan pantai utara Bali, dimana terjadi pertukaran budaya, tak hanya perdagangan dan ekonomi.
“Ketika ada warga Islam yang meninggal, warga lokal mengurusnya dengan tata cara agama lokal. Dari situ kemudian muncul istilah ‘Bhatara Mekkah” yang menunjukkan keterbukaan dan apresiasi luar biasa terhadap agama lain,” ujarnya.
Tak hanya itu, Jean Couteau mengatakan jika kita membaca kembali sejarah Bali di mana Raja Jaya Pangus yang mempersunting perempuan asal Cina juga memunculkan istilah “Bhatara Cina” menunjukkan keterbukaan masyarakat Bali terhadap hal yang baru, dalam hal ini akulturasi budaya.
“Tak ada kefanatikan terhadap agama. Pada masa penjajahan negara Barat abad 19 dan 20, setelah Indonesia merdeka tidak sama sekali muncul resistensi terhadap warga negara asing yang menjadi wisatawan saat datang berkunjung ke Bali. Ini berbeda dengan yang terjadi di negara bekas jajahan lain, “ jelasnya.
Jean Couteau menambahkan, bahkan, turis yang memiliki bakat khusus seperti seniman Walter Spies dan Rudolf Bonet dianggap sebagai seorang guru karena kemampuan yang dimiliki punya arti dan makna mendalam bagi masyarakat Bali.
“Bahkan setelah kematian mereka dibuatkan tempat penghormatan dan masyarakat lokal menganggap mereka orang yang patut dihormati. Ini sekali lagi menunjukkan apresiasi masyarakat Bali terhadap orang dan sesuatu yang liyan,” katanya.
Keterbukaan masyarakat Bali terhadap orang luar dan pengaruh yang dibawanya menjadikan Bali sebagai pulau yang memiliki toleransi agama yang tinggi. Hal ini yang menjadikan Bali begitu ‘berkilau’ dan dikagumi warga lain di dunia.
“Bahkan, kejadian Bom Bali tak membuat masyarakat Bali membenci warga luar Bali yang beragama lain. Dari pengamatan saya, mereka menganggap kejadian itu untuk keseimbangan kosmis atau karena ada yang kurang dari perilaku masyarakat,” ucapnya.
Tapi, kata Jean Couteau, jika ia ditanya apakah toleransi yang ada di Bali sejak ratusan tahun lalu akan bisa bertahan di masa depan ia merasa tidak yakin jika melihat fenomena yang berkembang di masyarakat.
“Menjadi tugas politikus dan cendekiawan untuk lebih awas terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Juga, menjadi sadar tentang fakta yang ada misalnya soal perubahan demografi di Bali yang menurut saya juga membawa perubahan lain,” pungkasnya.
Kasus Loloan dan Gerokgak
Dua hari raya Nyepi yakni pada tahun 2023 dan tahun 2025 menyisakan ‘pekerjaan rumah’ bersama tentang arti dan makna toleransi beragama. Ramai dibicarakan tentang “pelanggaran” Nyepi di kelurahan Loloan Timur, Jembrana, kabupaten yang terletak di ujung barat Pulau Bali. Saat hari raya Nyepi, 29 Maret 2025 terlihat warga Muslim berkeliaran di jalan dan tetap menyalakan lampu saat malam hari, padahal itu tidak boleh dilakukan.
Mengacu pada aturan agama dan adat-istiadat di Bali yakni Catur Brata Penyepian, empat pantangan utama yang dijalankan umat Hindu selama perayaan Hari Raya Nyepi. Diantaranya, Amati Geni (tidak menyalakan api/lampu), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian, dan Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang atau melakukan hiburan).
Memang, perayaan Nyepi tahun 2025 bersamaan dengan hari terakhir umat Muslim menjalankan shalat Tarawih pada Ramadhan lalu. Berdasarkan keputusan bersama dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dan Pemerintah Provinsi Bali, warga muslim di Bali diizinkan untuk melakukan shalat Tarawih di masjid atau mushala terdekat, asalkan tidak mengendarai kendaraan bermotor. Dengan kata lain, berjalan kaki. Pengeras suara masjid juga dimatikan.
Dari keterangan Bupati Jembrana, I Made Kembang Hartawan, saat video warga Loloan berkeliaran di jalan dan menjadi viral di media sosial, kondisi tersebut memang sejak lama berlangsung. Warga Loloan ada sejak ratusan tahun lalu dan mendiami wilayah yang menjadi ‘hadiah’ dari Raja Jembrana kala itu, karena jasa para warga Loloan yang telah membantu kerajaan Jembrana dari segi pertahanan. Mereka bersuku Melayu-Bugis dan dikenal pemberani, diperbantukan sebagai pasukan kerajaan Jembrana ketika itu.
Meski begitu, masyarakat Hindu-Bali terlanjur terluka dan marah karena Nyepi semestinya dihormati dan ditaati seluruh warga Bali, apapun agama dan sukunya. Isu primordial oleh beberapa pihak termasuk media massa sektarian terus “digoreng” yang membuat suasana semakin panas dan muncul kekhawatiran akan terjadinya konflik horizontal di Pulau Dewata.
Serupa dengan kasus Loloan, di kabupaten Buleleng, tepatnya di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, pada hari raya Nyepi 22 Maret 2023 silam juga terjadi “pelanggaran” Nyepi. Beberapa warga memaksa diri untuk rekreasi di Pantai Prapat Agung. Oleh dua orang warga, AZ dan MR, mereka berusaha membuka portal yang dijaga oleh pecalang (petugas adat) untuk masuk ke pantai. Insiden ini menuai protes dan kemarahan warga Hindu di Bali. Mereka menuntut pelaku untuk dihukum sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Setelah kejadian tersebut, Desa Sumberklampok melakukan paruman (musyawarah) dan memutuskan untuk memproses dua warga tersebut. Keduanya kemudian dikenakan wajib lapor dan dijerat dengan Pasal 156 KUHP tentang Penistaan Agama dengan ancaman hukuman empat tahun penjara. Hingga pada 14 April 2025 aparat gabungan dari Polres Buleleng dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng menjemput paksa AZ dan MR. Eksekusi ini menuai kritik dan reaksi termasuk oleh MUI Provinsi Bali, yang menyebut terdapat kekerasan dalam proses eksekusi tersebut. Kini dua tersangka penistaan agama itu telah ditahan di Lapas Singaraja, kabupaten Buleleng, Bali.
Toleransi dan Perubahan Demografi
Jika pada zaman dahulu para tetua di Bali bahkan menyebut warga Muslim sebagai Nyama (saudara) Selam (Islam) yang telah mendiami Pulau Dewata semenjak ratusan tahun lalu, kini ungkapan tersebut seperti cerita masa lalu yang penuh dengan romantisme. Bali, yang menjadi daerah migrasi warga dari seluruh Indonesia, menyebabkan perubahan demografi tidak jarang mengundang berbagai masalah, misalnya meningkatnya angka kriminalitas.
Hal ini sekarang menimbulkan resistensi warga lokal terhadap warga pendatang di Bali. Padahal, jika membuka lagi lembar-lembar sejarah, tidak semua warga Muslim di Bali adalah “pendatang”. Di beberapa kabupaten/kota di Bali, terdapat kantong-kantong penduduk Islam yang telah ada sejak dahulu kala. Sebut saja di Buleleng, Jembrana, Klungkung, Karangasem bahkan di Kota Denpasar sendiri sebagai ibu kota provinsi Bali.
Toleransi kemudian menjadi “barang mahal” saat arus politik identitas menguat sejak beberapa dasawarsa terakhir di Bali. Kita pun bertanya-tanya; akankah toleransi beragama di Bali bisa terus ada dan bisa dipertahankan? Maka, pernyataan Jean Couteau dalam sebuah webinar di tengah tulisan ini menjadi penting untuk kita resapi bersama: (bahwa) perubahan demografi di Bali akan juga membawa perubahan lain. Menjadi tugas politikus dan cendikiawan untuk lebih awas terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. [T]
Penulis: Angga Wijaya
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA