Selamat Hari Buruh, Bapak! Kau Pahlawanku
“Selamat Hari Buruh bagi siapa pun para tulang punggung yang terlihat rapuh!”
BAGI banyak orang, Hari Buruh barangkali momen untuk mengenang perjuangan kelas pekerja yang berjuang keras untuk menghidupi keluarga. Namun, bagi saya, lebih dari itu. Hari Buruh adalah penghormatan khusus untuk seorang pahlawan tak dikenal, bapak saya.
Bapak saya, seorang buruh yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk memastikan bahwa kami, keluarganya, tetap berdiri di atas kaki yang kokoh. Dia tidak pernah mengenakan seragam kebesaran, tidak juga berdiri di atas panggung, di podium, dengan iringan tepuk tangan menggema.
Di berada di panggung milik dia sendiri. Panggung itu adalah truk sembako dan jalanan yang sunyi. Baju usang dan kemeja grobyog sebagai pelindung perutnya yang buncit, bukti kebahagiaan yang tersembunyi di balik penampakan yang kurang ideal.
Bapak saya, Nyoman Murjana, lahir di Desa Tembok pada 22 Desember 1969, ia lahir dari sebuah kampung yang terletak di ujung utara Bali, yang dirindangi oleh pohon ental dan mete.
Menginjak usia 18 tahun, dia memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya, merantau ke Singaraja dengan tekad kuat, mungkin tafsir saya, dia tidak bisa menemukan masa depannya di desa kala itu. Dia tidak membawa apa-apa selain keberanian dan keyakinan bahwa kota ini akan memberinya kesempatan.
Awalnya, dia menjadi sopir truk pasir dan penyetak batako (1986-1989) di sebuah toko besar yang sekarang sudah bangkrut. Desas-desus menyebutkan kejayaan perusahaan itu hilang karena keluarga yang terlilit hutang. Namun, dari sana Bapak belajar bahwa hidup tidak pernah memberi jalan yang mudah, tetapi kerja keras akan membuka pintu-pintu kecil yang mungkin tidak terlihat.
Berangkat dari seorang yang tidak mempunyai ilmu sebagai sopir, akhirnya bapak khatam dengan hal itu. Apakah setelah berhenti kerja di toko besar itu Bapak akan menjadi supir untuk orang-orang besar pada kala itu, misal sopir bupati atau anggota dewam? Kan ia sudah mahir urusan sopir-menyopir.
Ternyata tidak. Bapak memilih migrasi ke Desa Pinggan, Kintamani. Masih menjadi sopir. Hanya saja, kali itu armada angkutannya beda. Ia menjadi supir mobil pengangkut sayur dan telur.
Bukan tanpa sebab juga, kebetulan di sana ada kakak perempuannya yang menampung dia untuk tinggal (1989-1992). “Nyari pengalaman aja!” Itu kata Bapak ketika saya tanya pagi tadi, di Hari Buruh.
Sempat juga ia menjadi sopir pengantar kayu bakar, untuk bakar bata merah di daerah Gianyar, tepatnya di Tulikup. Masa lajang, ia habiskan untuk menjadi sopir penantar kayu dari ladang seseorang.
Lambat laun, Bapak memilih untuk kembali ke Singaraja lagi (1994-sekarang), seperti rumah yang mangkrak, entah apa yang membuat pikirannya berubah-ubah, walaupun profesinya tetap saja tidak berubah.
Dia akhirnya menjadi sopir sembako. Hingga kini, ia jadi sopir sembako di PT Makmur Indah, milik warga keturunan Tionghoa. Perusahaan itu ada di Jalan Dewi Sartika, Singaraja.
Sudah 31 tahun dia menjalani profesi ini. Bertahun-tahun, Bapak adalah saksi bisu dari denyut kehidupan yang terus bergerak. Dari balik kemudi truk sembako, dia membawa harapan ke rumah-rumah, toko-toko, dan pasar-pasar.
Oh iya, jika Bapak tidak memilih ke Singaraja dan bekerja bosnya yang Tionghoa itu, bisa saja saya tidak muncul di dunia ini. Di perusahaan itu, Bapak bertemu orang tercantik di dunianya, ibu saya, yang kala itu bekerja sebagai pramusiwi.
Saat ini, kami tinggal di Desa Penarukan, tidak jauh dari pusat kota Singaraja. Rumah, selama kami hidup dan saling mengasihi, itu mewah. Berkat hasil kerja keras kedua orang tua saya, ya, walaupun diimbangi dengan hutang.
Bapak saya, selain menjadi sopir sembako, juga memiliki usaha jasa las kecil-kecilan. Pekerjaan ini dia mulai karena rasa tanggung jawabnya untuk menambah penghasilan. Ini bukan menambah pengalaman lagi, mungkin di satu sisi dia sedikit jenuh melihat stang mobil yang setiap hari diputarnya.
Pelanggan-pelanggannya di bidang las bukan orang-orang besar, tetapi tetangga sekitar rumah dan langganan sembako yang ia antar setiap hari. Pintu pagar, kanofi, hingga kusen dari besi yang diperbaiki olehnya adalah hasil dari tangan sekasar amplas, yang tidak kenal lelah. Terkadang matanya merah, bukan sebab debu jalanan yang ia lalu, tapi juga debu besi, kuang apalagi.
Setiap hari, Bapak berangkat bekerja. Dia selalu memastikan bahwa bekal saya sudah ada di meja kecil di samping kasur sebelum dia pergi. Bapak tidak pintar merangkai kata-kata, tapi, bentuk cintanya, ia sampaikan lewat tindakan kecil namun berarti. Malamnya, dia pulang larut, ketika saya sudah terlelap.
Rutinitas itu berlangsung bertahun-tahun. Bahkan ketika sengaja saya tidak tidur karena menantinya, setidaknya untuk mengobrol, malah jadi wacana saja. Dan yang paling kentara, saya kadang sering pura-pura tidur agar tidak dimarah Bapak, karena saya tahu, jika Bapak pulang, pintu yang ia buka setelah ruang tamu adalah pintu kamar anaknya.
Memang benar, percakapan kami jarang terjadi, tetapi setiap momen singkat itu terasa berarti.
“Sesulit apa pun nanti, jalani saja. Jika ini berhubungan dengan keluarga, apa pun akan kamu lakukan. Kamu akan merasakannya nanti,” kata Bapak. Tidak jauh dari kata supir, itu adalah kalimat yang paling saya ingat.
Kala itu, kita pulang dan berbincang di dalam mobil colt usang milik paman yang dipinjam Bapak setelah kami pulang dari memperbaiki pintu rumah seorang pelanggan. Kadang ingin menangis jika melihat tubuh Bapak, seperti sudah hapal, setiap Bapak pulang dari kerja las, ada saja bekas luka. Mungkin itu bentuk balas dendam dari besi yang ia potong dan tempa.
“Ini bukan seberapa,” katanya klise. Kata yang sering diucapkan untuk menenangkan hati anaknya.
Saya menyimpan kata-kata itu hingga kini. Kata-kata sederhana yang mengandung kebijaksanaan dari seorang pria yang hidupnya telah ditempa oleh kerja keras.
Bapak tidak pernah meminta lebih. Dia tidak meminta pengakuan, apalagi pujian. Kebahagiaannya sederhana, melihat keluarganya cukup makan, melihat anak-anaknya bisa sekolah, dan memastikan bahwa masa depan kami lebih baik daripada hidup yang dia jalani.
Ketika saya kecil, saya sering merasa iri kepada teman-teman yang memiliki bapak yang sering mengajak mereka bermain atau jalan-jalan. Bapak saya tidak pernah punya waktu untuk itu. Jika dia tidak sedang mengemudi, dia sedang sibuk dengan lasnya.
Ketika saya bertanya mengapa dia tidak pernah istirahat, jawabannya selalu sama: “Bapak harus bekerja. Jika tidak, Bapak bisa sakit!” Aneh bukan?
Dulu saya tidak mengerti, tetapi sekarang saya tahu bahwa jawabannya itu adalah bentuk cinta paling tulus yang bisa dia berikan.
Di Hari Buruh ini, saya ingin mengenang dan mengapresiasi, ketika Bapak pulang dengan wajah lelah. Baju kaosnya berbau keringat dan besi, tetapi senyumnya selalu ada seolah menutup rasa laparnya ketika mendapati di rumah kadang sudah tidak ada lauk pauk untuk makan.
Dia jarang mengeluh, tidak pernah berkata bahwa hidup ini terlalu sulit. Dia hanya bekerja, terus bekerja, seperti mesin yang tak pernah padam. Kadang saya berpikir, dari mana dia mendapatkan kekuatan itu? Apakah dari tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga? Atau dari keyakinannya bahwa hidup adalah perjuangan tanpa henti?
“Pak de ke nganggo baju jak celane be bolong, wak kar megae neh” (Pak, jangan pakai baju bolong dan celana bolong, kan mau kerja). Teguran itu sering terlontar dari mulut saya.
Namun, ia menjawab, “De, megae ngelas sing perlu baju jak celane luung, nak api grinda ne ngeranang bolong, engkenang men. Kadang pas nyongkok, uwek!” (De, bekerja sebagai tukang las tidak perlu baju dan celana bagus, ini karena api dari mesin gerinda, kadang juga waktu jongkok, robek!).
Saya, dan dunia pun tahu bahwa sosok bapak adalah pahlawan sejati di mata anaknya, untuk siapapun itu. Bapak saya, dia mungkin tidak tercatat dalam buku sejarah, namanya mungkin tidak dikenal di luar lingkungan kecil kami, tetapi bagi saya, dia adalah ujung tombak yang tak pernah tumpul oleh umur.
Selain Ibu, dia adalah alasan saya memiliki mimpi, alasan saya mencoba berdiri tegak di dunia ini. Semua pencapaian kecil yang saya raih, saya hindangkan hanya untuk mereka.
Ketika saya melihat truk sembako berlalu di jalan, saya selalu teringat padanya. Teringat, pada perjalanan panjangnya dari Desa Tembok hingga Singaraja, dari seorang pemuda 18 tahun yang merantau dengan harapan kosong hingga menjadi kepala keluarga yang tak tergantikan. Teringat, pada malam-malam ketika dia pulang dengan tubuh lelah.
Saya teringat pada pesan-pesan tanpa kata berbentuk uang yang dia tinggalkan di meja kecil di samping kasur saya.
Bapak, tulisan ini untukmu. Hari Buruh ini adalah hari untukmu. Terima kasih telah menjadi pahlawan. Terima kasih telah menunjukkan bahwa kasih sayang tidak membutuhkan kata-kata besar atau pengakuan publik. Kasih sayang ada dalam setiap tetes keringatmu, setiap langkahmu, dan setiap senyuman kecil yang kau berikan meski dunia ini begitu keras.
Selamat Hari Buruh, Bapak. Dunia mungkin tidak mengenalmu, tetapi aku mengenalmu. Dunia mungkin tidak berterima kasih padamu, tetapi aku berterima kasih. Kau adalah pahlawanku, dan akan selalu begitu.
Dari anakmu, yang belajar arti cinta dari kerja kerasmu. [T]
Singaraja, 1 Mei 2025
Penulis: Arix Wahyudhi Jana Putra
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: