LOMBA “ngambar” atau menggambar berdasarkan satua atau cerita rakyat Bali ini serasa lomba lari. Hanya saja, ketika diberi aba-aba, bukan kakinya yang bergerak cepat, melainkan tangannya.
Gerak tangan yang cepat itu, bukan tak beraturan. Justru sangat lembut, terkadang halus bahkan dengan penuh rasa. Mula-mula menggerakan pensil, lalu krayon, hingga kuas dan lap tangan yang penuh perhitungan.
Itulah kecekatan anak-anak setingkat Sekolah Dasar (SD) saat mengikuti Wimbakara (Lomba) Ngambar (menggambar) Satua Bali serangkaian dengan Bulan Bahasa Bali (BBB) VII di Lantai Bawah Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Bali (BBB), Rabu 5 Pebruari 2025.
Lomba kali ini diikuti sebanyak 59 peserta dari SD se-Bali dengan menggambar bersumber pada satua atau cerita rakyat Bali. Artinya, anak-anak harus mengenal satua Bali terlebih dahulu, baru kemudian menggambar tokoh-tokohnya, termasuk suasananya. Ini bisa disebut sebagai menggambar ilustrasi cerita rakyat Bali.
Anak-anak peserta lomba, baik yang laki-laki ataupun perempuan duduk berbaris rapi menyelesaikan karya seninya.
Sejumlah anak terlihat menggambar monyet atau kera atau lutung. Anak-anak itu sepertinya terinspirasi dari cerita-cerita fabel tentang lutung yang memang banyak ragamnya di Bali.
Yang menarik, anak-anak sekarang punya imajinasi yang cekup liar dalam menggambar monyet. Ini barangkali karena pengaruh tontonan di TV atau media sosial. Misalnya, ada anak-anak yang menggambar monyet seperti tokoh Kera Sakti dalam cerita China, yaitu Perjalanan ke Barat Mencari kitab Suci.
Ada pula anak-anak yang menggambar burung bangau dengan ketu (semacam mahkota untuk orang suci) di kepalanya. Anak itu isa dipastikan terinspirasi dari cerita Pedanda Baka atau Cangak Maketu dari cerita Tantri yang memang terkenal di Bali.
Ada juga anak yang menggambar tokoh-tokoh dalam cerita atau legenda terbentuknya Selat Bali, yakni Cerita Manik Angkeran. Dan banyak lagi gambar-gambar lain yang dilukis berdasarkan ingatan mereka terhadap satua atau cerita rakyat Bali.
Anak-anak antusias mengikuti lomba ngambar satua Bali | Foto: tatkala.co/Bud
Dewan Juri, Prof. Dr. Drs. I Wayan Karja, MFA mengatakan, anak-anak setingkat SD ini memiliki teknik dan menawarkan ide yang sangat menarik. “Kalau dilihat dari proses yang dilakukan sampai saat ini, mereka cendrung diinspirasi dari gambar-gambar sebelumnya. Baik itu, dari melihat buku-buku atau tempat lain, sehingga ada pengulangan dari unsur cerita,” ucapnya.
Anak-anak sangat membanggakan, mereka mermiliki keterampilan teknis yang terus berkembang, bahkan mengalami perkembangan sangat jauh. Termasuk kemampuan untuk mengolah bahan sangat menarik, dan melukis yang semakin cepat. “Kepekaan mereka semakin kelihatan. Jujur, saya melihat ada peningkatan yang bisa dilihat dari hasil gambar mereka,” ucap dosen ISI Denpasar ini.
Menariknya, karya-karya mereka cenderung dipegaruhi seni digital. Semisal pengaruh seni animasi yang sangat kelihatan. “Kalau kembali pada jaman dulu, apa yang kita lihat maka itu yang dibuat, dan apa yang dilukis sebelumnya itu pyla yang dibuat. Beda dengan anak-anak ini mereka sudah melakukan penggabungan dengan hasil teknologi jaman sekarang ini,” sebutnya.
Hal tersebut tampak kentara dari gaya gambarnya. Entah mereka terinspirasi dari melihat, dari menonton atau melihat buku. Seperti itulah yang dilakukan anak-anak di jaman ini. “Itu karena, mereka menjadi anak jamannya sekarang. Mereka tampak kreatif dengan menggabungkan gaya tempo dulu dengan gaya di jaman mereka saat ini,” tegas pria asal Penestanan Ubud ini.
Satu hal yang membuat Prof. Karja sangat bangga adalah kemampuan dari anak-anak yang tidak takut menggunakan bahan. Kalau dulu, mungkin takut karena bahannya mahal dan susah didapat. Tetapi, sekarang kelihatannya mereka bebas sekali menggambar tanpa memikirkan bahan. “Itu juga yang menarik dalam lomba ini,” ujarnya.
Namun, Prof. Karja sangat merindukan dari proses menggambar ini. Cara bagaimana mereka menangkap tema. Bagaimana tema diberikan itu bisa menjadi bahan stimulant buat mereka. Artinya, mereka menangkap tema dengan baik. “Mereka memang sudah menangkap tema, tetapi mereka lebih cendrung ke havalan. Apa yang dilihat sebelumnya dari buku, komik atau digital, itu yang ia ambil,” paparnya.
Maka, usul Prof. Karja yang perlu dikembangkan adalah kecepatan menangkap tema itu. Tema diberikan, entah diterima atau tidak, entah mengeti atau tidak, tetapi dia subah mnembawa bekal dari rumah. “Kalaupun tema itu sudah disosialisasikan, tetap perlu dievalisai seberapa kuat sosialisasi tentang tema itu. Justru, kalau untuk membuka kreativitas dan wawasan, maka kecekatan dalam menangkap tema itu yang menjadi kunci,” jelasnya.
Lomba menggambar satwa Bali ini bukan hanya menulis cerita, tetapi ada persiapan sejak awal, mulai membaca cerita, lalu menulis cerita, sehingga nantinya bisa membuat sinopisis, sehingga ajang ini akan menjadi semakin komplit, yakni menggambar bisa, menulis bisa, menghayalkan suatu cerita bisa dengan cepat. Maka proses mengenal aksara, sastra dan bahasa akan dilalui.
Menurutnya, menggambar ini hanya sebagai pintu masuk secara visual, karena dari melihat itu akan bisa menulis cerita dan menceritakan. Ini penting untuk melestarakan budaya karena Bali tak hanya mermiliki budaya visual, tetapi juga memiliki budaya cerita malah nanti bisa menjadi drama. Sebab, media seni rupa itu tak hanya kertas dan krayon serta keterampilan, tetapi ini sebagau dasar pintu masuk untuk berkembang,” paparnya.
Anak-anak antusias mengikuti lomba ngambar satua Bali | Foto: tatkala.co/Bud
Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan I Made Dana Tanaya mengatakan, lomba ini sebagai salah satu cara untuk memotivasi anak-anak kita mengeluarkan ide dan gagasan, dan khusus dalam pelaksaaan BBB ini untuk meningkatkan kreativitas seni. “Jumlah peserta yang hadir sangat antusias dan sangat siap mengikuti ajang lomba ini. Para peserta ini melakukan pendaftaran secara online yang hampir semuanya memiliki bakat dalam bidang seni khususnya menggambar,” paparnya.
Menurut Dana Tanaya, lomba menggambar ini sengaja mengangkat satwa (cerita) Bali sebagai upaya mengenalkan aksara, sastra dan bahasa Bali kepada anak-anak sejak dini. Untuk mendapatkan ide, mereka mesti terlebih dahulu mendengar, melihat dan membaca cerita, baik itu cerita bergambar atau lainnya. “Lomba ini sebagai upaya agar anak-anak memahami seni dan budaya yang salah satunya cerita bergambar berbasaha Bali,” ungkapnya.
Acara lomba menjadi semakin seru karena disii dengan lomba kuis. Saat menunggi pengumuman pemenang, Gek Diah memberikan kuis terkait nama-nama warna dalam bahasa Bali, lalu menuliskan dalam hurup Bali. Ada yang melukis topeng dan kegiatan menyanyi. [T]
Reporter/Penulis: Budarsana
Editor: Adnyana Ole