DI ruang produksi milik Pagi Motley, sebuah usaha pencelupan kain dengan warna alami, di Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali, para karyawan tampak sibuk.
Suara air di kolam tergibas kain dan terus terdengar gemericiknya. Seseorang mengobrol saling memberi instruksi, bergema sesekali agar tak salah celup warna satu sama lain. Mereka saling bekerja sama sangat baik. Hangat.
Pula soal kualitas, Pagi Motley sebagai tempat produksi kain ramah lingkungan memang cukup konsisten dengan pewarnaannya yang alami—warna yang bersumber dari daun dan kayu—juga pada kerja yang tak pernah main-main. Sehingga hasilnya sangat serius.
Karyawan Pagi Motley sedang bekerja | Foto: tatkala.co/Son
Sebagai founder, I Made Andika Putra telah berjuang memang untuk itu hingga Pagi Motley dikenal serius tak hanya disukai oleh konsumen domestik, tetapi juga dalam skala mancanegara yang luas. Bahkan, menjadi tempat rujukan untuk beberapa mahasiswa magang secara serius mengenal kain. Mengenal warna. Alami.
Tentang bagaimana suasana belajar di Pagi Motley, rupanya tidak kalah sibuk antara para pekerja itu dengan 11 mahasiswa magang dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sedang menyelesaikan projeknya yang sudah dekat pada tenggat. Ada yang sedang jemur kain. Ada yang mencuci kain. Ada yang sedang memanaskan warna. Ada yang sibuk di belakang dapur.
“Para mahasiswa cukup serius saat belajar, dan sekarang mereka membawa temannya sendiri-sendiri. Saya hanya memperkenalkan bagaimana meramu warna, kemudian cara memilih kain dan banyak lagi terkait teknis. Mereka menyimak dengan baik,” kata Andika Putra, founder Pagi Motley itu.
Tentang keseriusan, salah satunya ada pada Anya Nisrina (20). Ia masih semester 5 jurusan Kriya. Perempuan itu lahir di Bandung, 29 Juli 2004. Magang di Pagi Motley sebagai peserta dari Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Anya dan founder Pagi Motley, Andika Putra | Foto; tatkala.co/Son
Sebelumnya, Anya telah menghabiskan waktu selama dua bulan untuk membatik, dari Agustus hingga November, di Rumah Batik Komar, Bandung. Di sana, ia lebih banyak mengeksplor atau belajar teknik kombinasi antara batik menggunakan lilin (cetak) dan manual menggunakan canting dengan tema flora.
Sedang di Pagi Motley sejak 28 Oktober lalu, ia mencoba mengembangkan tekniknya yang lain tentang kain dan warna lebih eksploratif.
Di Pagi Motley, Anya mengambil konsep untold feelings, yaitu sebuah fenomena rasa terpendam pada seseorang tentang sesuatu. Tidak mudah diungkapkan.
Berat. Tema ini sangat berat. Apakah Eceu sedang memendam sesuatu dan itu tidak bisa diceritakan?
Sedikit senyum kecil dan malu tipis-tipis. Tentang cintanya yang kelam, katanya, belum bisa terlupakan sampai sekarang.
“Rasa kecewa. Tapi aku berpikir, itu adalah fase. Aku melampiaskannya di konsep ini, jadi, ya, sedikit emosional,” kata Anya, sedikit malu bercerita dan menepis jika dirinya gagal move on.
Retak-retak pada kain | Foto: tatkala.co/Son
Sebelum kain dibubuhkan warna, terlebih perempuan itu menabur aci tarigu alias tepung terigu di kain yang hendak diwarnai itu. Tepung dicairkan seperti membuat kue, lalu ditabur rata pada kain sepanjang dua meter dan mendiamkannya hingga kering beberapa waktu.
Lalu saya bertanya dengan nada paling serius. Misalnya ini mah, Ceu, kata saya, setelah selesai di kain, itu boleh gak dijadiin cilok tepungnya? Atau cimol?
“Haha. Gak boleh atuh. Udah terkontaminasi hehe…,” kata Anya humor.
Setelah kering tepung pada kain, Anya mulai memukulnya hingga retak, atau sampai menimbulkan efek pecah seperti guratan petir di atas langit, atau seperti bentuk akar pada tumbuhan. Pelan. Tapi ekspresif sebagaimana ia menggebuk kecil kain itu dengan kuas di tangan kanannya setelah proses pemberian warna.
Warna yang digunakan pada konsep ini merupakan warna-warna yang dominan gelap. Sebagai simbol, atau gambaran, suasana dari perasaan seseorang yang masih memendam sesuatu tetapi tidak bisa mengungkapkannya.
Sementara pada efek retak pada kain itu, lanjut Anya. “Retakan-retakan yang ada pada kain menggambarkan bahwa perasaan terpendam yang ada sudah berlebihan sehingga muncul retakan yang sedikit demi sedikit akan hancur.”
Hasil pewarnaan kain dengan konsep Untold Fealing | Foto: tatkala.co/Son
Setelah proses selesai dan atau semua warna sudah menempel dan kering, kain akan dibersihkan dari tepung yang membandel. Dicuci bersih kemudian dikeringkan, dan setelah kering itu, abrah kadabrah…, motif shibori smock dan motif ecoprint akan terlihat.
Itulah yang dicari. Motif itu memiliki makna perasaan bingung dan kehilangan arah, tidak tahu apa yang harus dilakukan, seperti ada kabut yang menghalangi. Aduh! Begitulah kira-kira batin Anya. Eh, maksud saya kata Anya hehe…punten ngiring ngalangkung…
Oiya, BTW, teknik tepung terigu yang digunakan Anya dan beberapa temannya itu, akan dicoba oleh Pagi Motley sebagai teknik yang baru. Uh. Selamat Anya, juga teman-teman lainnya yang penuh inspiratif. Salam. [T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Adnyana Ole