Eksistensi Dolanan Anak di SDN Cemara Dua
Cuaca cerah menyambut kami di pagi itu (05/07/2024). Terik matahari menerpa wajah para mahasiswa President University yang baru saja tiba di SDN Cemara Dua, Surakarta. Meski anak-anak sedang libur sekolah, jejak-jejak keberadaan mereka masih terasa kuat saat kami menyusuri lorong-lorong kelas. Dinding sekolah yang didominasi warna hijau dan krem menciptakan suasana sejuk dan nyaman, seolah-olah mengundang kami untuk mengeksplorasi sekolah ini lebih dalam.
Suara langkah kaki kami bergema di sepanjang koridor yang lengang. Aroma khas sekolah, campuran antara buku berdebu dan kayu tua, menyapa hidung kami. Kami disambut dengan hangat oleh para guru SDN Cemara Dua. Senyum ramah mereka dan sapaan hangat membuat kami merasa seperti tamu penting. Para guru dengan senang hati bersedia menjadi narasumber kami, memberikan penjelasan mengenai permainan tradisional atau dolanan anak di Solo.
Salah satu guru yang kami wawancarai adalah Ibu Ida Retno, seorang guru kelas yang telah mengajar di sekolah ini selama 15 tahun. Dengan rambut hitam pendek dan tampang yang sangat ramah, Ibu Ida menyambut pertanyaan-pertanyaan kami dengan penuh kehangatan. Senyumnya yang tulus dan tatapan matanya yang penuh semangat membuat kami merasa nyaman untuk memulai percakapan.
Menurut Ibu Ida, anak-anak di SDN Cemara Dua hingga saat ini masih memainkan berbagai permainan tradisional seperti Gobak Sodor, Egrang, Engklek, Cublak-cublak Suweng, dan Jamuran di sela-sela kegiatan sekolah mereka. Dolanan tersebut biasanya dimainkan saat pelajaran olahraga atau sebagai ice breaker di tengah pelajaran, bahkan saat menunggu jemputan sepulang sekolah.
Ketika ditanya apakah anak-anak zaman sekarang masih tertarik dengan dolanan tradisional ini, Ibu Ida dengan cepat menjawab, “Mereka masih sangat tertarik, hanya saja waktu istirahat mereka kurang cukup untuk memainkan permainan tersebut. Biasanya waktu istirahat mereka yang hanya 15 menit habis dipakai untuk makan.”
Ibu Ida berucap dengan nada yang prihatin. Kebijakan sekolah yang melarang membawa gadget ke sekolah juga membantu anak-anak untuk lebih aktif bermain permainan tradisional.
Jamuran, Lebih dari Sekadar Hiburan
Dolanan yang lumayan sering dimainkan adalah Jamuran. Ibu Ida menjelaskan dengan antusias, suaranya yang hangat menggema di koridor yang sepi. Permainan ini melibatkan banyak anak, di mana satu orang menjadi pancer-nya, sementara yang lainnya membentuk lingkaran mengelilingi pancer tersebut. Saat permainan dimulai, anak-anak akan menyanyikan tembang atau lagu “Jamuran”. Di akhir tembang, mereka akan bertanya tentang jenis jamur yang diinginkan oleh si pancer yang kemudian menyebutkan nama jamur, dan pemain lain harus menirukan gerakan yang sesuai dengan jenis jamur tersebut.
Ibu Ida bercerita bahwa ia pernah melontarkan instruksi permainan Jamuran saat menjadi pancer. Instruksi seperti, “Cabut rumputnya!” atau “Buang sampahnya!”, diikuti oleh anak-anak dengan mencabut rumput di sekitar halaman sekolah dan membuang sampah yang ada. Ibu Ida menerangkan sambil sedikit menirukan gaya anak-anak ketika mereka berhasil melaksanakan instruksi dari beliau. Tawa kecilnya menambah kehangatan suasana. Permainan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga sebagai media untuk mendidik anak-anak dalam menjaga lingkungan sekitar mereka.

Anak-anak Sanggar Nadinala memainkan Cublak-Cublak Suweng
Dolanan ini sendiri memiliki filosofi bahwa setiap orang harus mengikuti perintah seorang pemimpin. Dengan memainkan Dolanan Jamuran, diharapkan anak-anak yang memainkannya bisa belajar untuk bekerjasama dalam melaksanakan perintah, cepat tanggap dalam mengerjakan tugas, sportivitas, dan tentu saja kebersamaan.
Sembari menjelaskan Dolanan Jamuran, Ibu Ida dengan semangat ingin menunjukkan beberapa properti permainan tradisional yang bisa dipinjam anak-anak untuk bermain di waktu luang mereka. Suara ketukan sepatunya mengiringi penjelasannya saat kami menyusuri koridor menuju ke gazebo halaman sekolah untuk menjumpai properti dolanan-dolanan lainnya.
Menurut kesaksian Bu Ida Retno, SDN Cemara Dua pernah mengirim tim untuk mengikuti lomba di Festival Dolanan Bocah, dilatih oleh guru olahraga mereka. Prestasi ini menunjukkan betapa pentingnya melestarikan budaya lokal dan mengajarkannya kepada generasi muda.
Melalui wawancara ini, kami merasakan betapa pentingnya melestarikan budaya lokal. SDN Cemara Dua di Surakarta menjadi contoh nyata bagaimana tradisi bisa tetap hidup dan relevan di tengah gempuran modernisasi. Saya dan kawan-kawan meninggalkan sekolah dengan hati yang hangat dan pikiran yang penuh kekaguman, berharap bahwa tradisi ini akan terus hidup dan dinikmati oleh generasi mendatang.
Selepas mengunjungi SDN Cemara Dua, saya dan rekan saya, Issa, masih merasa belum puas dan sangat tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai dolanan anak di Solo. Perasaan haus akan keingintahuan kami akhirnya mendorong kami untuk merencanakan kunjungan ke Dinas Kebudayaan Kota Surakarta. Kami berharap bisa mendapatkan lebih banyak informasi mengenai dolanan anak yang kaya akan nilai-nilai budaya dan sejarah.
Berkunjung ke Dinas Kebudayaan
Dengan semangat yang membara, kami segera mencari alamat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di aplikasi Google Maps. Namun, nasib kurang berpihak kepada kami. Di layar ponsel kami, tulisan “Closed” berwarna merah mencolok, menandakan bahwa kantor tutup lebih awal pada hari Jumat. Kami saling pandang, bertanya-tanya dalam hati, kemana lagi kami harus mencari sumber informasi?
Namun, semangat kami tidak padam. Kami memutuskan untuk tetap mengunjungi kantor Dinas Kebudayaan dengan harapan ada satpam yang bisa memberikan informasi kontak orang-orang yang bekerja di sana. Dari kejauhan, kami melihat bangunan sederhana dengan plang merah bertuliskan “Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Surakarta”. Pintu masih terbuka dan seorang laki-laki keluar dari bangunan tersebut.

Beberapa dolanan yang tersedia di SDN Cemara Dua Kota Surakarta
Laki-laki itu dengan ramah bertanya apa yang kami perlukan. Setelah kami memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan kami, dia mempersilakan kami masuk. Kami bertemu dengan Mas Yeri, seorang staf dengan kemeja kotak dan rambut panjang ikal. Dia bersedia membantu kami mencari atasannya yang kebetulan sangat paham mengenai kesenian di Solo. Sayangnya, atasannya sedang tidak ada di tempat. Dengan logat medhok halusnya, Mas Yeri meminta kontak kami untuk dihubungi kembali.
Setelah pamit dan berterima kasih kepada Mas Yeri, kami menyusuri bangunan-bangunan di sekitar kantor dinas. Ternyata, tepat di samping kantor ada Museum Radya Pustaka. Museum ini memiliki koleksi yang terdiri dari berbagai macam arca, pusaka adat, wayang kulit, dan buku-buku kuno. Kami memutuskan untuk masuk, mana tahu bisa menemukan narasumber yang paham tentang dolanan anak.
Begitu masuk ke museum, kami serasa kembali ke masa lalu. Banyak sekali barang-barang antik yang disimpan di museum ini. Kami didampingi oleh seorang kurator yang menjelaskan asal-usul dan makna dari setiap barang di museum tersebut. Saat kami asyik melihat dan mendengar penjelasan, tiba-tiba handphone saya bergetar. Ternyata dari Mas Yeri. Dia mengabari bahwa atasannya, Pak Pujiyono, sudah siap dihubungi untuk wawancara.
Wawancara dengan Pak Pujiyono lewat telepon
Kurator museum merekomendasikan kami untuk mewawancarai Pak Pujiyono di perpustakaan museum supaya lebih nyaman. Di tengah tumpukan buku-buku kuno, kami menghubungi Pak Pujiyono melalui telepon. Meski hanya lewat telepon, kami sangat yakin Pak Pujiyono adalah orang yang sangat baik dan terbuka. Nadanya yang ceria dan hangat membuat kami tidak tegang saat mewawancarainya.
Pak Pujiyono adalah seorang pelaku dan pejuang seni yang kini menjabat sebagai pamong budaya di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo, kepala seksi perlindungan budaya. Beliau bertugas memantau dan mengawasi segala aktivitas kesenian yang ada di kota Surakarta. Kebetulan juga, beliau adalah pembina dari sanggar Gedhong Kuning yang kini tempat latihannya tepat di samping kantor dinas kebudayaan, di Graha Wisata Niaga. Pendirian sanggar ini berawal dari keinginan untuk menampung anak-anak sekolah dalam kegiatan olah seni dan melestarikan seni tradisi Jawa, khususnya tari-tarian Jawa Tengah dan karawitan.
Upaya Pemerintah Kota dalam Pelestarian Dolanan Anak
Pak Pujiyono memaparkan bahwa pemerintah kota Surakarta masih sangat aktif menjaga keberadaan dan keberlanjutan budaya Solo, dengan pembinaan, pemeliharaan, pemerataan, dan pelestarian. Saat ini, ada 400 komunitas dan sanggar seni yang ada di Solo yang aktif mengajari anak-anak untuk mempelajari karawitan, tarian, dan budaya Jawa Tengah lainnya termasuk dolanan anak.
Melalui telepon, Pak Pujiyono juga menjelaskan bahwa di dalam permainan dolanan tradisional, terutama tembang atau lagunya, terkandung nilai-nilai luhur yang dapat membentuk kepribadian anak sejak dini. Contohnya seperti pada tembang Wajibe Dadi Murid yang mengajarkan anak-anak untuk rajin dan tidak bolos sekolah. Beliau bahkan sempat mempraktekkan sedikit penggalan lirik dari tembangnya di telepon dengan suara merdunya.
Untuk mengenalkan anak-anak tentang dolanan, pemerintah kota berinisiatif mengadakan Festival Bocah Dolanan yang diadakan setiap tahun. Tujuannya agar budaya dolanan tetap bertahan dan dikenal oleh anak-anak. Ada juga workshop tentang tembang dolanan anak di tiap kecamatan yang sudah dijalani selama lebih dari tiga tahun, mengundang beberapa guru untuk mempelajari tembang yang akhirnya diajarkan kembali ke murid-murid mereka masing-masing di sekolah.
Menurut Pak Pujiyono, dengan adanya inisiatif-inisiatif dari pemerintah tersebut, beliau percaya bahwa budaya Solo, terutama dolanan anak, akan kekal. Di akhir wawancara, beliau berpesan kepada kami, anak-anak muda, “Jangan malu menjadi anak yang mencintai budaya asli mereka. Jadilah anak yang berbudaya dan bangga mencintai budayanya sendiri.”

Beberapa dolanan yang tersedia di SDN Cemara Dua Kota Surakarta
Kami meninggalkan perpustakaan museum dengan hati yang puas. Suara langkah kaki kami kembali beradu dengan lantai marmer, namun kali ini dengan irama yang lebih mantap. Kami merasa perjalanan ini bukan hanya tentang mencari informasi, tetapi juga tentang menemukan kembali jati diri dan kebanggaan akan budaya lokal. Perpustakaan di Museum Radya Pustaka telah menjadi saksi bisu dua mahasiswi yang semakin memahami pentingnya melestarikan dolanan anak sebagai bagian dari warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Sanggar Nadinala, Tempat Berkembangnya Kembali Dolanan Anak
Di Minggu pagi (06/07/2024), kami memasuki area sanggar dan disambut oleh senyuman hangat para pegawai Ayom Java Village yang menawarkan jajanan serta secangkir wedang jahe, minuman herbal dengan aroma khas serta rasa pedas yang menghangatkan. Suara lembut Moko, pendiri sanggar Nadinala, terdengar memberikan ucapan sambutan. Acara dilanjutkan dengan penampilan anak-anak dari berbagai usia yang membawakan beberapa tembang dolanan anak dengan riang dan memukau.
Alunan tembang yang dinyanyikan dipadukan dengan suara gemericik air dari kolam sekitar pendhapa, bangunan bernuansa joglo, serta gesekan dedaunan dari terpaan angin sekitar memberikan kesan asri dan nyaman saat memasuki bangunan tersebut. Terlihat beberapa alat karawitan berjejer rapi di sisi belakang bangunan, dimainkan oleh beberapa anak sanggar Nadinala.
Kami duduk di tepi linimasan tersebut, menyaksikan anak-anak yang mulai mementaskan suatu drama. Mereka berlari penuh ceria, sambil berkata “Ayo dolanan….” lalu diikuti oleh teman-temannya di belakang. Terdapat eorang anak laki-laki membuka blangkon yang dikenakan, menunjukkan rambutnya yang sudah dicat sedemikian rupa. Rupanya, ia menyombongkan diri. Jago Kate, tembang yang dinyanyikan setelah mereka mementaskan drama tersebut, memberikan sentuhan nasihat kepada mereka untuk tidak berperilaku sombong. Akhirnya, anak-anak tersebut saling mengulurkan tangan, meminta maaf setelah terjadinya perkelahian singkat.
Sanggar Nadinala adalah sebuah sanggar yang berfokus pada pelestarian permainan tradisional Jawa. Permainan ini dikemas dan dikembangkan melalui pertunjukan tari, karawitan, serta drama lakon. Sanggar ini didirikan oleh Moko pada tahun 2022. Nama Nadinala berasal dari bahasa Jawa yang memiliki dua arti: nadi yang berarti denyut, dan nala yang berarti hati. Dengan aksen medhok Jawa, Moko menjelaskan bahwa nama Nadinala dipilih untuk mencerminkan dedikasi dan cinta terhadap budaya Jawa yang memang dipilih sendiri melalui hati.
.
Pertemuan dengan Anak-Anak Sanggar Nadinala
Selepas sambutan dan penampilan dari Sanggar Nadinala, kami bertemu dengan Dewa dan Kidung, dua anak dari sanggar tersebut yang bersedia menjadi narasumber kami. Kedua anak dengan pakaian khas anak sanggar berupa udeng dan kaus hitam bertuliskan “Ayom Jaya Village” serta “Nadinala” di bagian belakang tersebut menyambut sapaan kami dengan senyuman hangat.
Dewa dan Kidung telah bergabung dengan sanggar dolanan anak selama dua tahun. Ketika ditanya apa alasan mereka aktif mempelajari budaya di sanggar ini, Dewa menjawab dengan aksen medhok-nya, “Ya karena seru, dapat pengalaman sama banyak teman,” diambut anggukan dari kawannya, Kidung. Mereka juga bercerita dengan penuh semangat tentang bagaimana mereka lebih menikmati waktu berlatih kesenian dibandingkan bermain ponsel atau berdiam diri di rumah. Latihan di sanggar memberikan mereka kesempatan untuk mempelajari hal-hal baru tentang kesenian dan dolanan anak, yang menurut mereka lebih menarik dan bermanfaat.
Saat kami bertanya mengapa mereka ingin mempelajari dolanan anak tradisional, Dewa dan Kidung menjawab dengan kompak. Meskipun lebih tertarik dalam bidang tari, mereka memiliki rasa ingin tahu terhadap permainan tradisional yang sudah ada sejak dulu. Hal-hal yang tidak dapat mereka temukan di lingkungan rumah dan sekolah, dapat mereka temukan di Sanggar Nadinala.
Belajar sembari bermain adalah cara mereka mendeskripsikan kegiatan di sanggar ini. Selain belajar menari, karawitan, dan teater, mereka juga mempelajari permainan tradisional dari dasar, termasuk pengertian setiap tembangnya. Salah satu contohnya adalah tembang Menthok-Menthok, yang mengajarkan bahwa seperti seekor menthok, atau ayam betina, yang biasanya hanya mengerami telur di dalam kandang, manusia juga sebaiknya tidak hanya berdiam diri di rumah tetapi melakukan aktivitas di luar yang mungkin lebih bermanfaat.
Jarak rumah yang jauh tidak menghambat kedua bocah ini untuk berlatih kesenian di sanggar. Dewa yang bermukim di Boyolali dan Kidung di Pasar Kliwon, masing-masing menempuh waktu 20-30 menit perjalanan dari kediaman mereka hingga ke sanggar. Mereka bercerita bahwa tidak ada darah keturunan seni dalam keluarga mereka. Sesuai dengan nama sanggarnya, mereka berkecimpung di dunia seni dan ingin mempelajari permainan tradisional anak karena panggilan hati, merasa tertarik dari diri sendiri.
Sembari bercerita tentang kehidupan mereka sebagai murid di sanggar, mereka memberikan pesan kepada anak-anak seusia mereka, “Jangan malas mempelajari budayanya, agar tidak tertinggal. Jika tidak ada generasi seperti kita, ya tidak ada yang melanjutkan,” ucap mereka dengan penuh percaya diri.
Gemercik air dari kolam renang terdengar jelas di telinga kami. Aulia, sama seperti Dewa dan Kidung, merupakan salah satu anak Sanggar Nadinala yang sudah bergabung selama satu tahun. Dengan pakaian yang sama seperti Dewa dan Kidung, serta rambut yang dikuncir kuda, Aulia menyambut sapaan kami dengan senyuman canggung. Meskipun masih malu-malu, ia menjawab semua pertanyaan kami dengan cepat dan tanpa pikir panjang, seolah sudah menguasai segala jenis pertanyaan terkait sanggar serta kegiatan yang mereka lakukan di sana, sama seperti narasumber sebelumnya.
Menggeluti kesenian, terutama di sanggar yang berfokus pada pengembangan dolanan anak, terasa menyenangkan bagi Aulia. Sebelum bergabung dengan sanggar, Aulia sempat meminta kepada ayahnya untuk dimasukkan ke les balet. Namun, karena jarak rumah yang jauh dari tempat latihan balet, sang ayah menyarankannya untuk mengikuti sanggar tari. Adaptasi Aulia terbilang cepat; setelah melihat-lihat suasana sanggar, ia memantapkan hatinya untuk mencoba mengikuti sanggar tari. Hingga saat ini, ia bercita-cita menjadi guru tari kelak nanti.
Berbeda dengan narasumber sebelumnya, Aulia tidak terlalu mengetahui makna dari setiap lirik tembang. Ia hanya mempelajari cara mengalunkan tembang dan cara bermain. Cublak-Cublak Suweng adalah permainan favoritnya. Selain karena ada nyanyian dan teka-teki, permainan ini juga sering dimainkan oleh Aulia bersama teman-temannya, sama seperti permainan petak umpet dan gobak sodor. Melalui dolanan anak, Aulia belajar tentang sportifitas dalam permainan. Baginya, bermain hanyalah sekedar permainan; ada menang dan kalah, dan tidak perlu merajuk. Yang penting adalah bermain secara adil dan seru.
Aksen medhok yang dimilikinya mendominasi selama pembicaraan berlangsung, saat ini Aulia sudah lebih luwes dalam menjawab pertanyaan dan tidak lagi canggung serta malu-malu, “Ya sebelum ikut sanggar, dirumah aja, main handphone, bosan, kadang kalau lama-lama juga bikin mata sakit, kalau di sanggar seru, banyak temene, terus kalau ikut sanggar dapet nilai, bisa buat daftar sekolah gitu,” ucapnya sebagai penutup perbincangan kami.
Peran Ibu Putri dalam Karir Kesenian Dewa
Rasa penasaran akan pribadi Dewa membawa kami untuk mewawancarai Putri Nia Cahyanti, ibu dari Dewa. Perempuan paruh baya tersebut menjelaskan ke kami bahwa Dewa telah menunjukkan ketertarikan pada seni sejak kecil. Namun, kesibukan orang tua menghambatnya untuk segera menggeluti bidang tersebut. Hingga akhirnya, Ibunya mengenalkan Dewa pada Moko, pemilik Sanggar Nadinala, menjadikan Dewa sebagai salah satu murid pertama dari sanggar dolanan anak tersebut.
Menurut Ibu Putri, sanggar ini terbilang lengkap. Pengajaran di Sanggar Nadinala tidak hanya fokus pada satu bidang, tetapi mencakup tiga bidang sekaligus dengan pengembangan lebih terhadap dolanan anak. Selain itu, mereka melakukan evaluasi pada setiap anak dan mengembangkan bidang yang mereka kuasai. Hal ini memungkinkan setiap anak untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakat mereka, menjadikan sanggar ini sebagai tempat yang ideal untuk belajar dan mengembangkan keterampilan seni tradisional.
Hal lain yang membuat sanggar ini cukup menarik yaitu fokusnya pada pengembangan dolanan anak yang mulai pudar pada generasi masa kini. Dengan adanya ruang untuk mempelajari dolanan, anak-anak jadi mengetahui bagaimana kehidupan anak-anak di zaman dahulu sebelum munculnya teknologi seperti ponsel. Baginya, mempelajari kesenian serta mempelajari mainan tradisional anak adalah nilai tambahan. Mereka dapat mengerti mainan tradisional jaman dulu, melalui alunan tembang, serta arti yang bermakna pada setiap liriknya dapat mengenalkan bahasa Jawa pada anak-anak sedari dini.
Apalagi saat ini mulai berkurang penggunaan bahasa Jawa pada generasi muda saat ini, tiap-tiap anak di kota dengan julukan “Jiwanya Jawa” tidak selalu mendapat pengajaran berbahasa Jawa baik dari lingkungan orang tua, maupun lingkungan sekitar anak tersebut tumbuh. Peran Ibu Putri yang besar terhadap karir kesenian Dewa dapat dilihat dari penjelasannya yang halus seperti halnya orang Jawa Tengah yang menjunjung tinggi unggah-ungguh atau sopan santun serta tata krama, beliau bercerita, rasa ingin tahu Dewa yang tinggi menyebabkan ia banyak bertanya pada sang Ibu terkait dolanan anak, Ibu Putri memberikan penjelasan terkait pengertian serta cara bermain dolanan anak serta memberikan fasilitas berupa membelikan beberapa dolanan anak
Perubahan sifat dan sikap Dewa terlihat jelas setelah keinginannya untuk bergabung dengan sanggar terpenuhi. Sebelum mengikuti sanggar, Ibu Putri merasa Dewa kurang menurut padanya dan sering melakukan kenakalan-kenakalan umum yang dilakukan oleh anak seusianya, terutama karena keinginannya untuk mengikuti sanggar tidak segera ditanggapi oleh sang Ibu.
Dengan ekspresi wajah yang menunjukkan kebanggaan terhadap anaknya, Ibu Putri bercerita dengan suara lembut yang berpadu dengan suara gemericik air mancur kolam, “Dewa lebih menurut, sisi akademik juga mengalami kenaikan lho mbak, kaya jadi ada motivasi gitu anaknya. Saya ya juga kasih pesan unggul dalam hal kesenian, ia perlu mengimbanginya dalam hal akademik. Pokok e kemanapun kamu harus bisa membawa diri, membawa nama kedua orang tua. Bagaimanapun prestasi harus maju, sekolah juga jangan sampai tertinggal,” ucap Ibu Putri sembari memberikan gerakan tangan seperti mengelus dada.
Tiada keheningan dan kesunyian di dalam pembicaraan kami bersama Ibu Putri, perbincangan terasa mengalir seperti halnya suara gemericik air mancur yang terdengar. Beliau sangat memberikan tanggapan dengan sangat baik, catatan sejumlah pertanyaan tak lagi kami hiraukan, beberapa pertanyaan yang kami ajukan murni dari rasa ingin tahu kami yang dalam terhadap Ibu Putri.
Harapan Untuk Generasi Selanjutnya
Perbincangan ini mengalir begitu saja hingga sampailah di dua pertanyaan terakhir. Bagi Ibu Putri, ia akan tetap mendukung kegemaran sang anak. Ia meyakini bahwa Dewa akan sukses di masa depan karena melihat betapa besar kecintaannya terhadap apa yang dilakukannya saat ini. Apapun yang terjadi di masa depan, Ibu Putri akan tetap mendukungnya, walaupun mungkin ketertarikan Dewa akan berubah seiring waktu. Beliau mendoakan yang terbaik untuk kesuksesan sang anak dan juga mendoakan kami untuk kesuksesan di masa depan.
Layaknya seorang ibu pada umumnya, ia memberikan pesan kepada generasi muda saat ini dengan aksen medhok Jawa yang kental, “Jangan sampai melupakan budaya peninggalan nenek moyang kita, mbak. Ini perlu dilanjutin. Dimanapun kita berada, dari mana kita berasal, yo harus tetap mengerti bahasa yo budaya masing-masing,” ucap Ibu Putri sebagai penutup percakapan kami pada siang hari itu.
- Penulis: Amanda Clarisa Avila, Putu Ayu Arundhati Gitanjali, Vina Jauharotun Nisa — Mahasiswa Fakultas Humaniora President University