MENULISKAN kisah diri, tentulah juga menyangkut masa lalu. Meminjam kalimat Dewi Lestari dalam sebuah novelnya: “Seperti masuk ke dalam septic tank sendiri”. Ada kotoran, “sampah-sampah emosi” di sana. Terlebih jika kita diketahui sebagai penyintas sebuah penyakit mental yang dianggap berat dan “gawat”: SKIZOFRENIA.
Psikomemoar bukan memoar biasa, perlu kekuatan untuk menulisnya. Sama halnya dengan korban tragedi politik—berat untuk menuliskan kesedihan, trauma, bahkan air mata. Namun itu perlu. Pembaca bisa belajar dari apa yang mereka alami.
“Ternyata Aku Bukan Presiden” adalah buku masa depan yang sedang saya rancang. Pada Februari 2024 usia saya 40 tahun. Setelah itu saya baru akan menulisnya. Perlu riset, wawancara kepada mereka yang mengenal saya dengan baik. Memoar—biasanya—banyak yang “terlalu asyik” bercerita sendiri. Mirip monolog dengan banyak kata dan kalimat yang tidak punya relevansi dengan pembaca. Terasa membosankan.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa skizofrenia itu BIASA-BIASA SAJA. Reaksi atau “cara kita menghadapinya” yang kadang berlebihan. Di masa depan, mungkin masyarakat akan menganggapnya sama dengan penyakit biasa—diabetes, sakit jantung, hipertensi, bahkan flu atau pilek. Sekarang, belum. Stigma perlu terus dilawan; banyak ODGJ dan ODS yang mulai speak up—ini bagus, orang lain akan tahu dari pelaku dan penyintas sendiri—bukan lagi “kata orang”, menurut “ini/itu”, dan lain sebagainya.
Mengapa ada kata PRESIDEN? Ini tentang waham—dalam pengertian klinis disebut sebagai “keyakinan keliru yang dirasakan orang dengan skizofrenia, tidak bisa dibantah, padahal itu jauh dari kenyataan atau realita”. Boleh saja, namanya juga teori. Saya akan berusaha berimbang nantinya dalam menulis “teori saya” juga, dari banyak hal yang saya alami dan pelajari.
Waham—kini saya menganggapnya sebagai ‘negasi’ dan ‘potensi’. Bantahan terhadap apa yang ODS rasakan ketika ‘saat ini’; terutama ketika mereka—oleh beberapa pemicu yang ada—mengalami kekambuhan atau relapse. Negasi penting, agar mereka kembali pada pola pikir yang logis dan realistis. Kembali pada “kedirian”.
Waham juga bisa menjadi potensi, keinginan bawah sadar manusia ketika misalnya melihat kondisi di sekitarnya yang bagi dia “rusak”, ‘perlu diperbaiki’, dengan cara–seperti dalam kalimat obrolan di warung kopi: “Bagaimana jika aku saja ya, yang jadi presiden?”–lalu tawa berderai. Kawan-kawan tersenyum—dan itu semua dianggap lucu, candaan, wajar adanya. Tak ada yang aneh dari itu semua.
Potensi yang sama ketika saat TK dulu, misalnya, saat di depan kelas, dalam ingatan yang masih segar dalam benak saya:
“Angga, kamu mau menjadi apa saat besar nanti?” tanya seorang guru.
“Presiden!” jawab anak keci itu mantap, sembari tersenyum.
Cita-cita. Potensi. Kemungkinan yang bisa saja terjadi di masa depan—pola-pola dalam masa kini yang bisa ‘dibentuk’, ‘dikerjakan’ untuk memujudkan kemungkinan itu bisa menjadi ‘kenyataan’, dengan potensi-potensi diri yang ada dan tentu adalah nyata.
Psikiater boleh saja memakai teori psikoanalisa—menggali melalui metode wawancara—tentang masa lalu “pasien”-nya. Masa lalu (yang) hanya dalam kehidupan saat ini (sekarang) saja.
Bagi mereka yang meyakini adanya reinkarnasi—“masa lalu” bisa dari ‘banyak kehidupan’ sebelum sekarang. Ingatan itu bisa saja muncul dalam kondisi tertentu. Ingatan tentang misalnya pada masa lalu seseorang pernah menjadi raja atau petinggi kerajaan.
Itu waham? Perlu dialektika mendalam soal ini. Terlebih ternyata terlalu banyak ilmu pengetahuan kita hanya diadopsi dari dominasi pemikiran “kebudayaan” dan “peradaban” terrtentu. Kita lupa kembali kepada mutiara pemikiran kita sendiri. Begitulah kira-kira.[T]
Denpasar, 26 Agustus 2023, 05:38 WITA.