Ledakan angka kesakitan akibat virus SARS-CoV-2 di pertengahan tahun 2021 sebenarnya bukanlah hal yang di luar prediksi. Saat awal kemunculannya, telah diketahui bahwa sifat alamiah dari virus ini adalah penyebarannya yang sangat cepat melalui udara. Lebih tepatnya, persebaran penyakit akan mudah terjadi jika ada pertemuan manusia secara langsung, dengan jarak yang relatif dekat, dan tanpa menggunakan masker.
Disiplin dalam mencuci tangan atau menggunakan hand sanitizer juga adalah hal yang tidak bisa ditinggalkan. Pada perjalanannya, penyebaran virus yang diharapkan terkontrol, pada akhirnya seperti jauh panggang dari api. Tentu saja, hal tersebut berkaitan dengan perilaku memutus rantai penularan yang tidak kompak dilakukan oleh masyarakat.
Aturan mengenai protokol kesehatan dan larangan untuk berkumpul pada fase awal ternyata dapat sedikit mengontrol rantai penularan. Walaupun demikian, lonjakan kasus sempat beberapa kali terjadi pada beberapa musim liburan dan hari raya besar keagamaan. Larangan untuk mudik dan upacara adat dan keagamaan–contohnya–memang diberlakukan.
Tetapi, sesaat setelah larangan tersebut dicabut, arus mobilitas manusia tetap saja berjalan. Larangan hanya berfungsi untuk menunda waktu penyebaran penyakit, bukan menghentikannya. Realita dan kemungkinan buruk yang bisa terjadi seolah dianggap tidak ada oleh beberapa kalangan masyarakat.
Tidak sedikit yang menyangkal fakta pandemi yang terjadi. “Covid tidak ada” atau “Ini hanya konspirasi kalangan atas” adalah hal yang paling sering terdengar. Beberapa orang–tidak dapat mewakili seluruh populasi–yang ditanyai mengenai alasan dari pernyataan tersebut ternyata merasa tertekan dengan kondisi yang terjadi dan memilih untuk tidak percaya dengan fakta.
Saat argumentasinya dibantah dengan data dan fakta yang valid, beberapa dari mereka tetap mempertahankan argumentasinya yang tidak berdasar–sisanya menyerah dan mau mengakui realita.
Tekanan ekonomi dan tidak terbiasa melakukan kebiasaan baru memang hal yang nyata. Terlepas dari tekanan yang ada, apa yang membuat pandangan yang salah mengenai realita tersebut terjadi? Banyak argumentasi yang bisa dipakai untuk menjabarkannya. Salah satunya dengan menggunakan teori tahap perkembangan kognitif Piaget.
Tahap perkembangan kognitif ini melibatkan proses terjadinya pemahaman manusia terhadap sesuatu yang beranjak dari pemahaman induktif ke deduktif. Dari mengerti hanya jika sesuatu dapat dirasakan oleh panca indera sampai ke tahap mengerti hanya dari runtutan logika dari data dan fakta yang ada di saat ini untuk memrediksi masa depan.
Menurut Piaget, tahap perkembangan kognitif manusia sudah dimulai sejak awal dilahirkan hingga berusia 2 tahun. Pada tahap itu–disebut tahap sensori motor–manusia memahami dunia hanya melalui apa yang dapat dirasakan oleh panca indera. Semesta yang dipahami manusia hanya sebatas segala sesuatu yang benar-benar dapat dirasakannya: sangat induktif.
Contoh praktis dari hal ini adalah seorang anak hanya paham bahwa ibunya benar – benar ada saat ia dapat mendengar suara, menyentuh, atau melihat langsung ibunya di saat itu. Saat ibu pergi meninggalkannya walaupun hanya sekedar pergi ke pasar untuk membeli sayur, manusia pada tahap itu akan menganggap ibunya tidak ada sama sekali di dunia ini.
Pada tahap selanjutnya di usia 2 tahun sampai 7 tahun dan disebut tahap pra operasional, manusia mulai dapat memahami bahwa segala hal tidak hanya terletak pada objek yang dapat dipersepsikan oleh indera. Pemahaman terhadap premis – premis dan penggabungannya menuju silogisme juga sudah mulai dipahami pada fase ini. Ibu yang sedang pergi ke pasar dan tidak berada di sisi anak tidak lagi diartikan sebagai ketiadaan ibu. Perkembangan yang terjadi belum sempurna betul pada tahap ini. Silogisme yang dibuat sering kali masih bolong, tidak lengkap, dan kurang sempurna.
Ketidaksempurnaan dari silogisme yang dibuat dan tidak sesuai dengan kenyataan akan dilengkapi dengan menggunakan imajinasi dan fantasi. Mengatakan seseorang yang meninggal dengan kalimat “Orang itu tidur untuk selamanya” adalah salah satu pendekatan yang perlu dilakukan pada tahap ini. Pada tahap ini pun manusia belum dapat memahami sudut pandang dari orang lain: egosentris dan menang sendiri masih sangat terlihat.
Setelah itu, pada usia 7 tahun sampai 12 tahun, secara normal manusia mulai dapat mengalisis secara lebih dalam mengenai realita yang terjadi di saat ini. Sebab yang mengakibatkan realita di saat ini sudah dapat dipahami. Walaupun demikian, kemampuan untuk melakukan prediksi di masa depan yang akan terjadi belum dapat dilakukan secara sempurna.
Di titik puncak, perkembangan kognitif manusia mulai terlihat di usia 12 tahun ke atas. Manusia pada usia ini sudah dapat memberikan prediksi dari masa depan. Tentu saja, dari segala data dan fakta yang dimiliki di saat ini. Persentase dari berapa besar hal yang akan terjadi dan apa yang tidak akan terjadi sudah dapat dilakukan: cara berpikir deduktif mulai muncul secara sempurna.
Keseluruhan tahap perkembangan kognitif tersebut secara normal memang terjadi pada manusia. Walaupun demikian, sering kali usia tidak menjamin seseorang berpikir sesuai dengan kenormalan yang sewajarnya terjadi. Beberapa kali ditemui adanya oknum dengan usia dewasa–bahkan tua–yang masih menggunakan cara berpikir tahap pertama: hanya percaya dengan sesuatu yang benar – benar sudah ia rasakan secara langsung. Seperti seorang anak kecil yang tidak paham akan panasnya api dan baru menyesal saat tangannya hangus terbakar, beberapa orang baru paham betapa mengerikannya pandemi saat ada keluarga dekatnya yang sakit atau bahkan meninggal karena penyakit ini.
Sejalan dengan itu, Kahn–sebagai perwakilan dari filsafat rasionalitas–melakukan kritik dan sindiran terhadap pandangan empirisme Hume–yang menekankan bahwa kebenaran hanya ada pada segala sesuatu yang dapat dicerap oleh indera. Kahn mengatakan bahwa manusia tidak berbeda dengan binatang jika hanya menggantungkan pengetahuan hanya pada sesuatu yang bisa dirasakan indera. Rasionalitas adalah pembeda manusia dengan binatang. [T]