— Cerpen oleh Talapatra
Ada sebuah sungai bernama Banyuraras. Ketika hujan Banyuraras beraliran besar dan keruh, dan ketika kemarau beraliran pelan dan jernih. Pada muaranya tumbuh pohon-pohon pandan. Rimbun bergerombol menikmati sejuk air payau yang menggenangi muara. Banyuraras bermuara di pesisir pantai Bali Utara yang berpasir hitam.
Rumahku tidak jauh dari sana. Di muara Banyuraras masa kecilku banyak kuhabiskan melihat senja. Pasir hitam lembut yang terhampar menjadi tempatku duduk bersila dan rebahan yang nyaman. Di hamparan pasir hitam, di bawah pohon pandan, muara Banyuraras, titik baikku memandang mentari tenggelam, membaca buku, atau sekedar duduk hening sendiri sampai menunggu senja bersilih malam.
Ketika usiaku menginjak 19 tahun, ada kebahagian kecil yang membuatku rajin ke kampus: Aku punya 2 kartu perpustakaan kampus! Perpustakaan universitas dan perpustakaan fakultas. Sebuah kemewahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya bisa duduk bebas menghabiskan hari-hari di gedung besar dipenuhi buku-buku tua. Terbayar sudah penyesalanku lahir di kampung yang jauh dari bacaan. Terbayar dengan 2 kartu perpustakaan. Sempurnalah muara Banyuraras dengan segala pinjaman buku-buku.
Semenjak punya kartu perpustakaan kampus, semua waktu libur kuhabiskan di muara Banyuraras bersama buku pinjaman. Senja adalah waktu terbaik di sana. Suatu hari kubaca buku kumpulan pidato Swami Vivekananda di Parliament of the World’s Religions (1893) di Chicago. Halaman-halaman buku dipenuhi pasir, karena seperti biasa aku duduk di bawah dan buku yang kubaca kuletakkan di atas pasir hitam yang berkilau.
Aku sangat heran, kenapa ada sebuah buku asing, baru kubaca, tiba-tiba semua isinya begitu cepat kupahami dan rasanya pernah aku baca? Aku terkejut, kenapa bisa sebuah buku yang baru pertama kubaca sudah terasa ada isinya di dalam memoriku? Semacam ada ingatan yang menunggu dibangkitkan kembali.
Dalam beberapa halaman membuat hentakan, aku teringat kembali pada sesuatu yang jauh di masa lalu. Seperti perasaan pernah membaca sebuah novel dan terlupakan. Karena sudah lama berlalu, tetapi begitu novel yang sama kembali kubaca, pelan-pelan ingatan kembali terjaga. Isinya kembali kuingat. Aku mempunyai pengalaman seperti itu ketika membaca kumpulan pidato Swami Vivekananda (1893). Tiba-tiba seluruh perasaanku dipenuhi perasaan aku mengenal sosok Swami Vivekananda. “Aku kenal”, bisiku dalam hati, “Apakah kukenal dekat secara pribadi dalam kehidupanku sebelumnya?”
Senja menjelang gelap itu aku berjalan dari muara Banyuraras dengan perasaan dipenuhi ingatan yang hampir membuatku tersesak. Diriku dipenuhi berbagai ingatan.
Semenjak itu aku berserius mengejar buku-buku India kuno yang tersimpan di perpustakaan fakutas. Di perpusatakaan itu hatiku bergolak. Semua tokoh-tokoh di sekitar kehidupan Swami Vivekananda aku cari. Rasa penasaranku sangat aneh. Kupikir diriku, “Jangan-jangan aku reinkarnasi Swami Vivekananda?” Tapi ditolak batinku sendiri: “Aku kenal dia, tapi aku bukan dia.”
Entah karma atau apa, perpustakaan fakultasku ini luar biasa istimewa, membuatku kenyang dari laparku yang aneh-aneh. Di sini ada koleksi buku-buku terkait tokoh-tokoh penting di sekitar kehidupan Swami Vivekananda. Dalam perpustakaan yang raknya berdebu, kurang dirawat dan tak dihirau ini, aku menemukan koleksi buku-buku berbahasa Inggeris dari penulis besar India dan Belanda. Karya tulis dan biografi tokoh-tokoh terbaik India ada di sini. Semua riset sejarah Bali yang dikerjakan peneliti-peneliti terbaik Belanda ada di sini.
Aku dulu heran kenapa bisa perpustakaan ini begitu istimewa? Perpustakaan ini didirikan oleh tokoh-tokoh bonafid negeri ini: Prof. Dr. Poerbatjaraka dan Dr. R. Goris, kemudian ditambah kedatangan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Prof. Dr. Swami Ajarananda, dan kemudian Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta. Perpustakaan ini menjadi jantung dan cikal-bakal embrio berdirinya kampus pertama di Bali. Awalnya dibentuk fakultas sastra di bawah payung Universits Airlangga, tanggal 29 September 1958, dibuka oleh Presiden Soekarno, dipimpin oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka. Pantas saja koleksinya kelas wahid.
Aku selalu menenangkan diri di perpustakaan fakultasku. Kadang tidak makan dan berpuasa, karena kehabisan uang bulanan, kuisi waktuku hanya membaca seharian. Begitulah kuhabiskan berulang-ulang masa kuliah bukan di kelas, tapi di perpustakaan kampus dan fakultas. Semua seperti dipatik dari sebuah titik duduk baca di pantai muara Banyuraras.
Suatu hari aku merenung di perpustakaan. Di antara koleksi bacaan kiri tokoh-tokoh Rusia aku terdiam. Terasa berputar kepalaku. Semua peristiwa masa kecilku kembali terbayang:
Aku selalu merasa diriku orang tua yang terjebak dalam tubuh kecilku. Perasaan terjebak di tubuh kecilku pertama kurasakan ketika aku baru fasih membaca, kelas 2 SD, ketika membaca kisah Prabu Gundala. Usai membaca cerita itu aku merasa punya kehidupan sebelum kelahiran sekarang. Aku menjadi lebih banyak diam dan bengong. Aku merasa dilempar ke tempat yang jauh di masa silam. Bacaan-bacaan agama Hindu membuatku semakin yakin aku berasal dari masa kerajaan di masa lalu.
Ada memori lain yang bekerja di kepalaku. Tidak bisa kutolak. Kelas 3 SD aku begitu bersemangat mempelajari sistem kalender Śaka dan wariga. Seperti aku paham itu semua dari jauh sebelum kelahiranku. Kelas 4 SD aku baca tuntas Bhagawad Gita dan mengalami perasaan dejavu: Kitab ini pernah kubaca? Aku paham dan membuatku mengalami pengalaman melayang-layang sepanjang malam, tidak bisa tertidur sampai dini hari.
Kelas 6 SD aku terobsesi kata ‘moksa’ dan selalu merenung di dalam diriku ada jiwa tua yang paham kata itu. Lalu aku mengajukan pertanyaan ‘Apa itu moksa?’ ke Kepala Sekolah SD. Nama beliau I Gusti Nyoman Winata.
Beliau menjelaskan dengan sangat baik. Seorang guru yang punya pengetahuan baik, keras dan dikenal tegas, tapi menjelaskan dan menjawab pertanyaanku dengan antusias. Kelas 3 SMP aku membaca kisah kelahiran kembali para biksu Tibet, kubaca di perpustakaan SMP yang tidak begitu luas. Perpustakaan itu menjadi tempatku sembunyi untuk membaca ketika jam istirahat. Letaknya persis di sebelah kelasku. Di situ aku merasa menemukan tempat menjauh dari kerumunan anak-anak remaja.
Aku menghindari kerumunan teman-teman sebayaku karena aku merasa sangat tua dibandingkan mereka. Selama SMA kegiatanku yang paling serius kujalani bukan pelajaran di kelas tapi membaca buku-buku sains di perpusatakaan, dan berlatih meditasi bergaul dengan orang-orang tua dan banyak pemangku. Sering berkumpul dengan mereka sampai larut malam dan menginap di pantai bermeditasi, atau ke rumah guru yang membimbingku.
Ya, Swami Vivekananda, aku kenal dia di masa laluku.
Ketika kubaca sebuah buku kumpulan wejangan dari Swami Ramakrishna, aku tertegun membacanya. Aku merasa mengenalinya. Dalam pencarianku akhirnya aku paham kalau Swami Ramakrishna adalah guru rohani yang menginisiasi Swami Vivekananda. Pikiranku terhenti, langsung teringat dan mengenali: “Oh guru rohaninya adalah guru rohaniku juga”.
Semenjak itu aku seperti masuk perangkap.
Usia 23 tahun aku mengalami situasi jatuh bangun dalam perasaanku. Tidak bisa lagi membedakan mana pengalaman kehidupan sekarang dengan ingatan masa kehidupan sebelumnya. Kepalaku seperti terbagi dua kompartemen memori yang digerakkan sebuah prosesor. Kalau searching file di kompartemen kehidupan sekarang, muncul memori isi dari komparteman ingatan kehidupan masa sebelumnya. Ada banyak. Aku pun tidak begitu paham bagaimana mekanismenya memori lain, yang lampau-lampau itu, masuk dalam kompartemen memori tubuh sekarang?
Pernah ada masa dimana punya perasaan mendalam sekali dan meyakinkan kalau bertemu dengan seseorang kukenali sebagai “orang-orang dari kehidupan sebelumnya”. Teman perempuan satu sekolah tiba-tiba kurasakan sebagai ibuku di masa kehidupan sebelumnya. Jadi aku harus menjaganya sekarang. Begitu kata kompartemen ingatan lampau. Ada punya sosok perempuan yang kadang menangis kalau diajak bicara, dan ia tidak tahu sebabnya, tapi kulihat dia adalah “orang dari kehidupan sebelumnya” yang kutinggalkan terlantar dan mengalami kesedihan tidak terhingga.
Beranjak dari “ingatan kompartemen kehidupan sebelumnya” adalah sebuah pengalaman yang tidak bisa diabaikan.
Usia 23 adalah usia dimana aku terhenti bertumbuh. Aku telah memasuki perasaan tertuaku. Bertubuh muda, tapi berperasaan dan punya pandangan seperti orang tua. Orang tua dari masa silam. Satu-satunya cara adalah menerima dan melakukan riset atas kepribadian diri sendiri. Harus kulakukan analisa atas memori, ingatan, dan halayan, serta lamunan, termasuk mimpi-mimpi yang kualami. Agar aku tidak berpikir diriku gila dan bisa menganalisa keperibadianku maka kubaca buku-buku psikolgi perkembangan diri. Aku tekuni rumusan libido Sigmund Freud, penjelasan detail bawah sadar Carl Gustav Jung. Aku tidak bisa terima Freud, tapi aku merasa diselamatkan Jung.
Dari Carl Gustav Jung aku bergerak ke Karl Popper. Dari Karl Popper aku bergerak Karl Jaspers. Dari Karl Jaspers aku membaca Kant — memang Karl Jaspers dikenal sebagai “penganut teori Kant yang pertama dan terakhir”. Usia 23 sampai 25 tahun aku merasa Carl Gustav Jung dan Karl Jaspers adalah penyelamatku. Di masa itu Carl Gustav Jung adalah nabi yang menyelamatkanku dari jebakan bawah sadarku yang banyak tampil dan membawa narasi-narasi masa silam yang tak terpecahkan.
Masa-masa serius riset mencari kehidupan “kehidupan sebelumnya” dengan membaca buku-buku kuno pernah terhenti oleh kegemaranku membaca sederetan buku-buku filsafat eksistensialisme.
Kembali ke “kehidupan sebelumnya”, apa hubungannya dengan membaca buku-buku kuno? Kalau ada masa lalu yang bisa diingat oleh manusia lewat reinkarnasi, aku yakin di masa silam aku pasti pembaca yang serius. Kegemaranku membaca tidak bisa kuhentikan. Kalaupun itu bukan bawaan “dari masa silam”, sekarang setidaknya akan berjumpa dengan ajaran klasik yang membuatku “merasa pulang”.
Apakah pulangku itu berdamai kembali ke bacaan kuno? Manusia punya jalan berdamai dengan dirinya masing-masing, dengan caranya masing-masing. Kulihat teman-teman sepermainanku tiada henti bermain layang-layang. Mungkin temanku bisa berdamai dengan dirinya dengan menaikkan layang-layang setiap hari, sementara aku, berdamai dengan diriku dengan membaca buku-buku kuno.
Swami Vivekananda, sekali lagi, semakin kutelurusi. Akhirnya aku berjumpa dengan Ramakrishna Mission. Brahma Samaj dan Arya Samaj. Aku lalu membaca Rabindranath Tagore, yang ayah dan keluarganya juga tokoh Brahmo Samaj. Pada titik itu aku merasa ada “perasaan pulang”.
Dunia pergerakan India di masa Brahmo Samaj kubaca dari berbagai aspek. Aku berkeliling jejak kesejarahan India, dari sejarah pergerakan India modern sebelum kemerdekaan, sampai periode Upanisad dan Mohenjodaro. Aku membaca-baca kembali dan mengikuti percakapan guru batin Swami Ramakrishana. Kubaca kembali buku kompilasi wejangannya. Aku baca sejarah Brahmo.
Brahmo Samaj, yang berarti “masyarakat Brahmana”, kadang dieja Brahmo, juga Brahma, merupakan gerakan teistik agama Hindu yang cikal bakalnya didirikan di Kalkuta atau Kolkata tahun 1828 oleh Ram Mohun Roy. Brahmo Samaj mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia semua adalah “brahmana”, kita semua sama di depan keilahian tertinggi. Secara spiritual semua manusia setara.
Brahmo Samaj tidak menerima secara buta otoritas Weda, tidak memiliki keyakinan pada avatar (inkarnasi) dari Tuhan, dan tidak bersikeras pada keyakinan pada karma (efek kausal dari perbuatan masa lalu) atau samsara (proses kematian dan kelahiran kembali). Brahmo Samaj memilih membuang kompleksitas ritual Hindu dan mengadopsi beberapa praktik praktis peibadatan gaya Kristen. Kelompok ini mengkritisi secara tajam polytheism, menolak penyembahan foto atau pengarcaan, dan total menolak sistem varna telah tergelincir menjadi kasta yang menyumbangkan kontribusi tidak sehat terhadap sejarah kemanusian India.
Ingatan pernah terlahir menjadi orang India itu begitu merasukiku. Aku merasa ingin terhempas bebas dari pikiran itu.
Kadang kompartemen ingatan berayun dari periode itu ke periode kecil dan masa remaja di muara Banyuraras. Ditambah terobsesi dengan sejarah kuno Nusantara dan Bali, lengkap semuanya berayun-ayun seperti mainan anak-anak pedesaan yang diikat-gantung di bawah pohon sawo yang rindang, berayun dari satu kompartemen ingatan dan bacaan, silah berganti. Ketika ayunan berayun-ayun, dahan pohon sawo ikut rehuyun. Helai-helai pikiranku kadang seperti tebaran daun-daun yang diterbangkan angin beliung, ribuan helai yang berputaran memutar bersama, lalu ketika angin berhenti, terhempas dan berjatuhan menyatu dengan tanah.
Ya, aku harus berdamai. Sekalipun aku menolak dan tidak mau percaya, kenyataannya, mau tidak mau aku terbebani sebuah ingatan yang tiba-tiba teredap di kompartemen ingatanku. Hadir jelas di dalam benakku sepenggal ingatan dari kehidupan seseorang yang dulu hidup di India, hidupnya bergulat dalam sebuah gerakan teistik Hinduisme bernama Brahmo Samaj.
Ada lagi yang sering muncul dalam mimpi dan lamunan adalah aku berjalan di sebuah jembatan dan gedung tua memakai scally cap. Kulihat diriku melakukan perjalanan keliling Inggeris. Sebuah perjalanan yang sangat padat, penuh kunjungan dan diskusi. Kulihat diriku pemakai topi abu dan warna tanah, berjalan di antara gedung tua ke utara London, dan terus berjalan jauh ke utara. Aku berjaket bahan wol abu, bertopi scally cap kotak-kotak — lebih dikenal sebagai flat cap. Aku ingat warna-bentuk dan perasaan memakai scally cap itu dengan sangat jernih.
Topi scally cap dengan motif kotak-kotak berwarna paduan abu dan coklat tanah melindungi kepalaku dari cuaca dingin pedesaan Inggeris. Aku berjalan di antara gedung tua seperti seorang tokoh lelaki dalam film The Name of The Rose, sebuah film yang dibuat dari novel Umberto Eco dengan judul yang sama. Kalau teringat topi itu, kepalaku dipenuhi kata-kata yang terangkai dalam bahasa Inggeris, deretan kalimat yang minta kupidatokan. Dalam lamunanku aku kadang rindu memakai scally cap, sebuah topi yang konon muasalnya dari The British Isles, pulau-pulau di Utara Atlantik di lepas pantai utara-barat dari benua Eropa.
Masa kecilku penuh igauan dan omongan di kepala yang tidak kupahami, yang kadang kusampaikan dalam bahasa Inggeris. Hidup di masa remajaku sehari-hari seperti persiapan lomba pidato. Tiba-tiba ingin bicara dan mengeja kata demi kata yang ada berpencar dalam kompartemen ingatan yang entah ada di mana. Di masa sekolah ada masa dimana radio memutar lagu-lagu Julio Iglesias. Aku mengenali itu bukan akses Inggeris. Mendengar Phil Collins yang membuatku nyaman, kudengar ia beraksen Inggeris. Ingatan topi scally cap menghantarku gemar mendengar BBC, kadang ada suara lucu dan aksen aneh orang-orang Inggeris Utara dan kepulauan sekitarnya, semuanya seperti mengembalikan ingatanku pada sebuah perjalanan yang padat di masa silam, berkeliling Inggeris.
Bagiku mendengar obrolan orang Inggeris yang beraksen pedesaan yang masih kental adalah perayaan ingatan. Sampai kini aku gemar mendengarkan siaran BBC Oxford dini hari yang isinya berbagi resep masakan. Mereka berbagai resep lewat telepun dengan obrolan beraksen kampung-kampung Inggeris Utara. Kelakar mereka berakses itu mungkin akan membuat telinga orang Amerika kalangkabut . Semua aksen aneh mereka itu menghibur dan membuatku tersenyum. Rasanya seperti kembali mengenakan topi scally cap.
Aku pernah bertanya dalam diri, tentunya pertanyaan yang aneh: “Jangan-jangan aku reinkarnasi Raja Ram Mohan Roy?” Ia adalah pendiri Brahmo Samaj yang berangkat ke Inggeris untuk berpidato dan berjumpa dengan dunia barat. Ia sangat sibuk di Inggeris, kemudian tidak pernah kembali ke India. Ia berpulang dan dimakamkan di Inggeris… Makam Raja Ram Mohan Roy kini berdiri gagah megah di Arnos Vale, Briston, menjadi salah satu tempat berkunjung kehormatan bagi pemaham Brahmo Samaj. Di dalam hatiku kujanjikan diriku untuk ke sana jika aku kembali ke Inggeris. Aku juga ingin melihat patung Raja Ram Mohan Roy yang fotonya kulihat berdiri gagah di College Green, Bristol. “
Tapi, aku batinku jelas-jelas menolak: “Aku bukan reinkarnasi Raja Ram Mohan Roy”. Aku masuk Bramo Samaj ketika Raja Ram Mohan Roy sudah berpulang. Ingatanku hampir tidak ada tentangnya. Raja Ram Mohan Roy kupelajari: Ia terlahir 22 Mei 1772 dan berpulang 27 September 1833. Ia adalah tokoh penting India yang ternama, satu pendiri Brahmo Sabha, pendahulu dari Brahmo Samaj. Brahmo Sabha menjadi sebuah gerakan reformasi sosial-agama yang sangat berpengaruh di seluruh penjuru benua India. Berpengaruh di bidang politik, administrasi publik, pendidikan dan agama. Raja Ram Mohan Roy dikenal jasanya sebagai tokoh penting yang berjuang untuk menghapus praktik sati — hukum ikut mati bagi perempuan yang ditinggal suaminya — dan menentang pernikahan anak. Raja Ram Mohan Roy dikenal sebagai “Bapak Renaisans Bengal”.
Ya, aku lahir setelah beliau berpulang. Ya aku tidak berjumpa denganya dalam kehidupanku sebelumnya.
Ada sebuah mimpi yang kualami menghentak membuatku terjaga. Mimpi yang sangat tidak menyenangkan. Tidak kusangka, dalam mimpiku aku ternyata seorang lelaki kontraversial yang membawa perpecahan organisasi Brahmo Samaj. Aku ribut dengan Debendranath Tagore, ayah Rabindranath Tagore, yang tidak lain pemimpin Brahmo Samaj. Aku bertikai lalu mendirikan kelompok sempalan sendiri. Mimpi ini membuatku terjaga dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Aku merasa dalam diriku ada lelaki yang pemarah dari masa silam Brahmo Samaj.
Setelah mimpi pertikaian itu kompartemen ingatan lampauku makin terbuka. Dengan data bacaan semakin dalam dan dekat dengan kelompok Brahmo, aku mendapati ternyata Swami Vivekananda memang kukenal baik. Aku ingat bagaimana perjumpaanku dengan Narendranath Datta. Aku yang mengenalkan dan mengajaknya masuk gerakan Brahmo, dan mengantarnya bertemu guru suci Swami Ramakrishna, yang akhirnya menginisiasinya menjadi Swami Vivekananda.
Narendranath Datta adalah sosok yang sangat menyenangkan. Siapapun yang memandang matanya dari dekat pasti akan dibuat tersadar bahwa kita sedang menghadapi sosok agung yang bersahaja. Di wajahnya tidak ada pertentangan. Semua bisa terdamaikan kalau berjumpa dengannya. Di masa mudanya ia seperti telur burung elang yang perlu induk pengeram untuk menjadikannya terlahir jadi elang, untuk terbang mengepakkan sayap-sayapnya ke angkasa tak terbatas. Sosok guru suci Swami Ramakrishana adalah jawabannya. Beliau kemudian, lewat perjumpaan pertamanya, dan perjumpaan-perjumpaan selanjutnya yang tidak kuikuti, Swami Ramakrishana menginisiasi Naren, “membuka cangkang telur elang” itu dan menjadikannya elang yang bisa terbang tanpa batas. Mengenal dan bersahabat dekat dengan sosok agung Swami Vivekananda (Narendranath Datta) adalah berkah. Berkah tiada terhingga berjumpa dengan sosok guru suci Swami Ramakrishna. Menjadi pengalaman batin yang tidak terlupakan, terbawa kembali ke kelahiranku sekarang, pernah berada di antara dua sosok agung yang memberiku banyak ketenangan hati.
Setelah kualami banyak ingatan masa lalu yang entah dari mana datangnya, aku bertanya dalam diri: Apakah ingatan itu beban atau berkah? Benarkah membebani? Maka kuputuskan berhenti menebak-nebak siapa diriku di masa aku. Aku berhenti merasa terbebani. Tidak penting lagi bagiku siapa aku di kompartemen ingatanku dari masa lalu. Semuanya kugunakan sebagai “kemewahan” untuk mengatur jam tubuhku masuk ke masa lalu. Aku masuki masa lalu yang jauh, masuk ke dalam percakapan Upanisad-Upanisad Utama. Usia 19 sampai 20 tahun, selama 9 bulan penuh, aku menghabiskan 2 jilid tebal Upanisad-Upanisad Utama. Bṛhadāraṇyaka Upaniṣad dan Chāndogyopaniṣad menjadi sahabat tidurku dan tuntunan terdalam batinku.
Kugunakan imajinasi, atau ingatan, atau obsesi, atau lamunan yang entah rekaan bawah sadar atau memang demikian adanya, yang tersimpan di bawah sadar atau terselip di kompartemen tambahan yang seperti tiba-tiba tersambung dengan kepalaku; semua kutunggangi sebagai kemewahan memasuki kitab-kitab kuno dan sastra. Membaca Tagore kunikmati layaknya membaca karya orang yang pernah kukenal baik keluarganya. Membaca sejarah gotra dan sampradaya India, kunikmati sebagai perjalanan kembali ke masa silamku yang jauh. Bukankah sebuah kemewahan jika membicarakan Rabindranath Tagore di dalam diri aku berbisik: “Ah Rabindra, kukenal keluargamu”.
Jikapun semua masa kecil dan semua masa mudaku mirip lamunan, dan pikiranku ingin menolak semuanya, aku tidak sepenuhnya mampu menyisihkannya. Bagiku semua yang aku alami hanya perlu kudamaikan. Antara kompartemen yang suka melamun, dan kompartemen yang penasaran. Dengan tarikan dan ketertarikan dua kompartemen itu, aku merasa punya dua ekor kuda yang bertenaga. Satu mengajak berlari kencang ke masa lalu, satu mengajakku berlari menikmati padang rumput bacaan yang terbentang menghampar sampai ke kaki langit. Kedua kuda ini kupakai menarik kereta melewati waktu dan ruang yang kuperlukan, melintasi lintasan hidup dan kehidupan. Aku kadang bergumam: “Berlarilah kalian, aku ikatkan keretaku di tubuhmu.”
Dulu kusimpan semua pengalamanku seorang diri. Hanya pohon-pohon pandan di muara Banyuraras dan katang-katang di pesisir Bali Utara yang mengenaliku. Sampai akhirnya aku yakin bisa menunggangi dua kuda ini, dan benar-benar telah jinak, lalu bisa kupekerjakan sesuai kepentinganku di masa kini, baru aku perlahan bercerita. Dengan kuda yang menarikku ke masa Brahmo Samaj di India, aku tunggangi dan jelajahi alam pikir India. Dengan kuda masa laluku, kujelajah tepian-tepian pinggir dan ujung alam āraṇyaka. Dengan itu kupetik keluasan sejarah pikir India kuno dan sebaran kunonya yang menyebar ke Asia Tenggara.
Dengan bayang ingatan flat cap atau scally cap itu kujelajahi di alam alam pikir kolonial Inggeris Raya. Kubaca berbagai buku tentang Inggeris abad 19, yang punya kaitan mendalam dengan dunia kolonial Inggeris di India. Kubaca serba-serbi keterlibatan Inggeris dalam pengaturan wilayah tanah Jawa. Sebenarnya, semua itu mungkin tidak penting-penting amat dan relevan dengan dunia kerjaku hari ini, tapi ada tarikan yang memanggilku untuk mempelajarinya. Mungkin itu semacam gejala rindu orang rantau pada tanah airnya, yang sedikit terobati dengan membaca koran kiriman dari tanah airnya.
Kemunculan kisah-kisah masa silam yang muncul di kepalaku adalah undangan perjalanan ke masa silam. Ataukah aku sosok masa lalu yang sedang menyeberang dunia waktu seberang yang mengajaku ke masa kini? Apakah aku sedang merantau mengenang masa lalu, ataukah aku sedang merantau ke masa depan?
Yang kusebut ingatan dalam kompartemen memori — jika kuingat kembali bagaimana menjadi seorang anak kecil yang terpukau diajak naik truk pengangkut pasir melintasi tepian sungai dan laut — panorama aliran sungai dan laut yang kulihat dari atas truk pasir bukanlah aku. Laut yang terlewati dan gambarannya tersimpan di kompartemen ingatanku hanyalah obyek luar yang kulewati dan kupantau, yang sama sekali bukan aku. Aku abadi sebagai penonton pengalaman tubuh, pikiran dan imajinasiku. Di dalam kompartemen ingatanku mungkin ada aliran sungai dan muara Banyuraras, kisah Swami Vivekananda, scally cap, Prabu Gundala, wejangan Bṛhadāraṇyaka dan Chāndogyopaniṣad, tapi aku abadi sang pemantau terdalam yang tak tersentuh dengan apa yang kupantau. [T]