Kota Singaraja yang bermaskot “Patung Singa Ambara Raja” genap berulang tahun yang ke-417 pada 30 Maret 2021. Tema yang diangkat: “Disiplin Diri Bangkit Pertiwi”. Sehubungan itu, dicoba untuk menengok sekilas riwayat kehadiran dan pelestarian arsitektur kota Singaraja, khususnya. Singaraja merupakan Ibukota dari Kabupaten Buleleng. Sebagai kabupaten paling utara di pulau Bali. Pernah berkedudukan sebagai Ibukota Sunda Kecil dan Bali (sejak setelah kemerdekaan sampai tahun 1958). Boleh dikata sebagai kota terbesar kedua di Bali setelah kota Denpasar. Kota Singaraja juga dikatakan sebagai kota pendidikan. Di kota ini ada pula sejumlah tempat wisata menarik serta sejumlah peninggalan bangunan kolonial dan bersejarah.
Tiada sedikit berdiri peninggalan bangunan kolonial Belanda. Arsitektur yang diwariskan ini berupa kantor, sekolah, rumah tinggal, gereja, Pura, Puri, dll. Ada pula jembatan tua peninggalan kolonial, masih kokoh berdiri sampai kini. Terletak di wilayah Kampung Tinggi, Singaraja. Arsitektur kolonialnya bisa dijumpai di lingkungan Sukasada, Liligundi, di Jl. Ngurah Rai, Jl. Gajah Mada, pelabuhan Buleleng, Jl. Surapati dll. Beberapa peninggalan arsitektur kolonial ini masih tampak bertahan dan utuh. Namun, tak sedikit sudah mengalami perubahan bentuk. Atau menggunakan material berbeda dari keadaan semula.
Bangunan bersejarah lainnya: Arsitektur Pur, adalah Puri Agung Singaraja dan Puri Kanginan. Jika diamati dari luar, Puri Puri Agung Singaraja ini terkesan sederhana… Tembok penyengker Puri tidak tinggi sebagaimana layaknya Puri-Puri lainnya di Bali. Gerbang masuk ke areal utama merupakan bangunan kuno. Bentuk pintu gerbang itu masih tetap asli, dipertahankan seperti semula. Memasuki areal utama, akan ditemukan unit-unit bangunan khas Puri Singaraja yang unik. Ornamen-ornamennya berciri, merupakan perpaduan antara pola ukiran Belanda, Cina dan Bali.
Tak jauh dari pantai, berdiri arsitektur Kong Tjo atau Kelenteng. Dinamakan tempat ibadat Tri Dharma “Ling Gwan Kiong”. Dalam rancangan ini, konsep dan fisik arsitekturnya tmenyiratkan konsep ruang sebagai tempat peribadatan. Didominasi unsur-unsur rancangan dalam kandungan filosofi tradisi Cina (etnis Tionghoa). Sangat sedikit menggunakan ornamen dari pengaruh kolonial. Arsitektur kelenteng ini biasanya banyak dikunjungi jemaat kalangan Tionghoa saat merayakan tradisi masyarakat Tionghoa, seperti Tahun Baru Imlek, King Thie Kong, Cap Go Meh, dll.
Rekaman Sejarah
Peninggalan karya arsitektur kolonial Belanda merupakan sebagai salah satu rekaman sejarah dalam bentuk nyata. Menyuguhkan sisi kehidupan masyarakat di masa itu. Sebagai bukti historis yang bisa dikenang anak cucu. Dalam laju perkembangan teknologi, informasi, dan serbuan budaya luar, keberadaan bangunan bersejarah kolonial Belanda patut dipertahankan/dilestarikan. Yang akan memberikan keunikan dan otentitas tersendiri di dalam sebuah kota Singaraja.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia dan Bali umumnya, serta kota Singaraja khususnya pernah mengalami pengaruh occidental (Barat) di zaman penjajahan Belanda dahulu. Dalam berbagai aspek kehidupan. Kendati demikian, para perancang arsitektur kolonial di saat itu telah memadukan konsep lokal Nusantara dalam merancang arsitekturnya. Contohnya, Puri Agung Singaraja, Buleleng yang wujud tampilannya menunjukkan hasil dari pertautan konsep itu.
Sejalan dengan itu, eksistensi arsitektur peninggalan kolonial Belanda bersejarah ini dapat mencerminkan kisah historis tentang tatacara hidup, serta peradaban komunitas masyarakatnya ketika itu. Adanya akulturasi dalam arsitektur antara penjajah dan kultur Bali menyebabkan arsitektur kolonial di sini memiliki tampilan yang cukup “simpatik” beradaptasi di tengah-tengah lingkungan, dan arsitektur Bali masa kini.
Upaya Pelestarian
Pelestarian yang dilakukan arsitektur Kota Singaraja berupaya menjaga warisan sejarah dan citra visual kotanya. Dengan harapan kelak bisa memperkuat identitas dan ciri khas kota. Maka, guna lebih mendekatkan realisasi upaya konservasi tersebut, perlu diupayakan langkah-langkah secara holistik dan kontekstual.. Generasi mendatang tentu membutuhkan “ruang” dan peluang untuk bisa melihat, menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah serta kekayaan kultur di masa lalu.
Pelestarian arsitektur kolonial di sini dapat memperkaya khasanah wajah lingkungan kota Singaraja. Begitu pula tentang arsitektur Puri, jembatan peninggalan kolonial, rumah-rumah, kantor, dll,nya. Dalam mewujudkan pelestarian arsitektur kotanya,. salah satu persyaratran utamanya adalah: “hubungan dengan masa lampau”. Banyak karya arsitektur bermutu belajar dari arsitektur terdahulu. Yang dapat memberikan inspirasi kepada para arsitek di dalam mengembangkan kreativitasnya.
Ada sejumlah kriteria dalam upaya menata dan mengatur pelestarian arsitektur kota. Sebagaimana ditulis dalam buku “Historic Preservation, on Introduction to Urban Planning” karya Wayne O. Attoe (1979). (1) kesejarahan bagi bangunan/arsitektur dapat memberikan arti simbolis tertentu bagi peristiwa kota di masa lalu, (2) keistimewaan bangunan/arsitektur seperti bangunan tertua, pertama, terbesar, hingga terkecil, (3) kelangkaan karena terbatasnya peninggalan yang masih tersisa, (4) kejamakan/tipikal, dimana bangunan tersebut dapat diwakili atau sebagai contoh jenis bangunan tertentu, dan (5) estetika, seperti menunjukkan langgam/gaya, struktur dan konstruksi, tampilan visual tertentu dan aksentuasi untuk memperkuat/menonjolkan arsitektur atau lingkungan sekitarnya.
Guna penetapan kawasan / lingkungan yang hendak dilestarikan, perlu digunakan beberapa acuan yang berupa standar dan kriteria pelestarian, klasifikasi dan jenis pelestarian, sebagai implementasi langkah-langkah pelestarian arsitektur kota Singaraja. Begitu pula perlu dilakukan inventarisasi terhadap arsitektur-arsitektur peninggalan bersejarah yang ada di Singaraja. Lantas dikompilasikan dalam bentuk daftar. Kelak merupakan daftar aset-aset yang harus dilestarikan sebagai lampiran dari peraturan daerah setempat.
Makalah bertajuk “The Meaning of Preservation in Town Planning” pada seminar “Change and Heritage in Indonesian Cities” (1988) tulisan M. Danisworo, IAI, IAP, bisa dipakai pula sebagai acuan. Dalam upaya mengklasifikasi pelestarian sebagai langkah implementasi pelestarian arsitektur Kota Singaraja. Antara lain meliputi: (a) konservasi, (b) gentrifikasi, (c) rehabilitasi, (d) renovasi, (e) restorasi, dan (f) rekonstruksi.
Di antara pembangunan gedung-gedung baru di kota ini, masyarakat patut tetap menjaga, memelihara, dan melestarikan arsitektur kolonial Belanda. Sebagai slah satu unsur penunjang karakter kota lama. Sekaligus guna dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan arsitektur yang memiliki nilai seni, arsitektonis dan historis. Konservasi dan pembangunan bisa diibaratkan sebagai dua sisi dari keping uang yang sama. Keduanya merupakan satu kesatuan utuh, sama-sama dibutuhkan untuk mewujudkan arsitektur dan lingkungan kota yang berpribadi dan berjati diri.
Upaya pelestarian warisan (arsitektur) kota tentu berimplikasi pula terhadap nilai historis, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Kesadaran akan makna visi dan misi dari eksistensi warisan arsitektur kota Singaraja perlu dibangun di tengah-tengah masyarakat, yakni partisipasinya di dalam upaya pelestarian. Termasuk menjamin keseimbangan lingkungan serta keberlanjutan kehidupan.
Sebagai salah satu wujud praktik partisipasi di dalam penataan ruang, selain upaya pelestarian dan partisipasi masyarakat, perlu dilakukan pendokumentasian warisan arsitektur kota Singaraja. Penataan ruang itu sendiri bermakna sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal ini penekanan diprioritaskan pada citra arsitektur historic core atau inti sejarah Kota Singaraja. Axis-nya bisa memanjang dari selatan (kawasan pasar Liligundi, puri, Pura Desa, deretan peninggalan arsitektur kolonial/kuno) sampai ke utara (kawasan pertokoan lama/tua, Pura Segara dan pelabuhan Buleleng).
Senyatanya, tata ruang kota bersifat dinamis. Karenanya, kegiatan dalam konteks penataan ruang (termasuk di dalamnya pelestarian dan pendokumentasian arsitektur Kota Singaraja maupun aset-aset non fisik lainnya), perlu senantiasa diupayakan agar responsif terhadap situasi tata ruang yang berkelanjutan. Arsitektur kota Singaraja – asal mulanya – boleh dikata merupakan sebagai akulturasi dari beberapa etnis dan bangsa-bangsa lain. Sebut saja seperti pengaruh India/Siwa Budha (arsitektur peribadatan), Belanda (arsitektur peninggalan kolonial, jembatan, sampai pelabuhan Pabean), Cina (bangunan Kelenteng/Kong Tjo, pertokoan pacinan), eksistensi kerajaan Buleleng (peninggalan arsitektur puri), bahkan juga Islam (adanya perkampungan Bugis). Makna historis ini juga menjiwai tampilan ragam hias dalam arsitekturnya.
Kekhasan yang dimiliki kota Singaraja itu tak menutup kemungkinan untuk dieksplorasi makna rekreatifnya. Sehingga bisa mendongkrak program kunjungan wisatawan. Misalnya, dengan merestorasi kawasan pasar-pasar tradisionalnya (sebagaimana Pasar Banyuasri yang akan diresmikan). Penataan dan pengembangan kawasan di sekitarnya. Selain kawasan wisata baharinya juga merestorasi dan mereservasi bangunan-bangunan di pelabuhan Buleleng. Serta melakukan proteksi terhadap kawasan Pura dan Puri yang ada di kota Singaraja. Semoga ulasan terbatas di atas ada manfaatnya. Dengan harapan realisasinya senantiasa bisa berjalan secara berkelanjutan. Dirgahayu Kota Singaraja ke-417. “Disiplin Diri Bangkit Pertiwi”.. [T]