Tiga tahun belakangan saya kerap kali membeli buku-buku seni berbahasa Inggris, bukan karena kerennya gambar yang disajikan akan tetapi ingin dapat membaca dan mengerti meskipun sampai sekarang kemampuan dalam bidang bahasa Inggris saya dapat dikatakan tidak berkembang (sial sekali, punya otak ibarat memasak batu).
Selain membeli saya juga dapat pinjaman buku-buku tentang seni rupa barat dan tentu saja harus memfotokopinya, dan yang paling enak adalah bertandang ke studio seniman yang senior, selain dapat kopi dan mengobrol tentu saja dapat membuka-buka koleksi buku-buku seni rupa di ruang studionya sekaligus membuat catatan kecil. Hahaha.
Meskipun hanya membaca dari buku setidaknya saya dapat mengetahui alur pemikiran bagaimana terminologi dan dikotomi seni itu lahir, apa yang melandasi alur berfikirnya, gagasan apa yang ingin ditunjukan kepada dunia melalui seni, pergulatan pemikiran macam apa yang melandasi lahirnya gerakan atau mazhab seni rupa dunia, permasalahan apa yang terjadi kemudian memicu suatu daya pemikiran gagasan yang berujung pada diciptakannya sebuah karya seni.
Dari membaca buku-buku tersebut juga kemudian yang melatarbelakangi ide tentang riset visual saya terhadap karya-karya I Ketut Gede Singaraja yang tengah dipamerkan di Danes Art Veranda pada akhir oktober sampai nopember 2019. Mengapa harus study (riset)? Jawabannya sederhana saja, agar saya mempunyai pijakan dari ranah pemikiran untuk mengukur standar melukis. Di dalamnya adalah bagian dari memahami bagaimana unsur lukisan itu bekerja, bagaimana dimensi mempengaruhi mood dan gagasan untuk menaruh visual ke dalam bidang kanvas, dll. Intinya agar mempunyai dasar.
Karena saya pikir, persoalan seniman itu bukan dari apa yang ia tengah atau pernah ciptakan tapi apa yang ia temukan dan kembangkan. Terminologi artists atau seniman di dunia Barat menjadi eksklusif ketika pada bukunya Graeme Sullivan dengan judul “Art Practice as Research: Inquiry in the Visual Art” terbitan tahun 2005 menampilkan tulisan “Artists Are Found, Not Made”.
Sullivan, tengah menyodorkan tugas utama seorang seniman adalah menemukan (sesuatu dari riset atau pemikiran seniman yang katanya terus gelisah), boleh jadi terminologi “not made” tersebut kemudian mempertegas arti pokoknya sehingga yang disebut seniman adalah orang yang menemukan, mungkin kalau hanya membuat disebut tukang kali ya? Hahaha.
Seniman menemukan, bukan membuat. Dari tulisannya Sullivan yang lebih banyak membahas tentang bagaimana riset dan metode penelitian dalam dunia seni rupa adalah dilakukan dengan ideal, baik itu pembahasan atau pengkajian visual maupun isi atau konten. Sangat terstruktur sekali saya rasa. Dan di sini kemudian pikiran saya disadarkan bahwa tradisi berpikir ala Barat dalam konteks dunia seni rupa selalu menjadi atau merumuskan sampai sesuatu itu terwujud, sedangkan tradisi kita (di Bali) hanya menerima dan menggubah.
Tentu saja kalimat sederhana nan penuh arti ini menjadi bahan refleksi saya memandang diri saya sendiri pun demikian dunia seni rupa Bali yang menjelang penutupan tahun digeber event-event skala besar maupun kecil dan wacana-wacana yang didengungkan menyentuh sisi-sisi kreatif hingga meledak-ledak. Lantas apa yang sudah kita temukan?
Tentu saja kembali lagi saya tegaskan bahwa dalam konteks ini saya tidak mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan akan tetapi lebih kepada kembali mengetengahkan persoalan. Hahaa, mari ngopi. [T]