17 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menjadi Dewasa itu Melelahkan dan Lupa Cara Bahagia

Widi HermawanbyWidi Hermawan
June 17, 2019
inEsai
Menjadi Dewasa itu Melelahkan dan Lupa Cara Bahagia

Foto ilustrasi: Mursal Buyung

36
SHARES

Menjadi dewasa ternyata tidak sebercanda itu. Menjadi dewasa itu melelahkan.

Lahir di penghujung tahun 1996 membuat usia saya kini hampir menginjak angka 23. Di sebuah warung kopi kecil sepi di pinggiran Kota Solo, tetiba lamunan membawa saya yang saat itu tengah duduk sendiri ke masa belasan tahun silam ketika saya masih berseragam merah putih.

Semasa masih SD, saya sering membayangkan betapa menyenangkannya menjadi orang dewasa. Dalam pikiran saya kala itu, orang dewasa adalah orang yang merdeka. Dia berhak atas semua hal tentangnya, dia berhak atas segala keputusan tentang hidupnya.

Betapa bahagia dan menyenangkannya menjadi orang dewasa yang punya uang sendiri, bebas pulang malam, boleh merokok, boleh pacaran, dan boleh mengumpat dengan kata-kata kasar. Sebab sejak kecil, karena hidup di desa membuat norma-norma yang berlaku di keluarga saya begitu tradisional dan cenderung naif.

Saya hampir tidak pernah bermain lebih jauh dari lingkup RT, meski saya adalah anak laki-laki. Saya kerap tidak bisa masuk rumah, karena ketika azan Maghrib berkumandang saya masih asyik bermain di lapangan kampung.

Saya pernah menjadi bulan-bulanan ibu dan kakek saya karena nilai harian matematika saya hanya 60, alih-alih seratus. Meski sangat jarang bahkan hampir tidak pernah melakukan kekerasan fisik, namun kata-kata mereka begitu pedas untuk anak seusia saya kala itu.

Saya pernah tak mendapat jatah makan malam, karena kedapatan mengumpat “Asu” oleh ibu saya. Ya, saat itu saya memang sedang gencar-gencarnya mencari jati diri. Karena teman bermain saya kebanyakan jauh lebih tua dari saya, sedikit banyak saya terbawa kultur mereka.

Merokok adalah hal tabu dalam pikiran saya saat itu, meski bapak saya adalah perokok yang sangat aktif. Di tengah rasa penasaran yang sangat tinggi, saya mengubur dalam-dalam keinginan untuk merokok. Stigma yang dibangun saat itu, puncak kenakalan seorang anak adalah merokok. Dan saya tidak mau dicap sebagai anak nakal.

Saya belum mengenal istilah alkohol, arak, tuak, ciu, ganja, ngomik, ngelem, narkoba, apa lagi hamil di luar nikah. Ya, seperti itulah kultur yang dibangun di dalam keluarga, juga kampung saya. Meski saat itu masih menjadi anak tunggal (saya memiliki adik ketika usia 12 tahun), saya sama sekali tidak berani meminta apapun yang berupa materi kepada orangtua. Jauh berbeda dengan anak-anak sekarang, apa lagi anak tunggal yang terkenal begitu dimanjakan dan dipenuhi semua permintaannya.

Bukan karena orangtua tidak mampu, tapi karena saya benar-benar takut permintaan saya akan membebani mereka. Apabila saya menginginkan sesuatu, saya lebih memilih menabung selama berbulan-bulan, memotong uang saku yang tidak seberapa supaya barang tersebut bisa saya beli daripada harus meminta ke orangtua.

Bahkan untuk urusan uang saku pun saya tidak berani meminta. Karena saking sibuknya, ibu kerap lupa memberi uang saku, sehingga siang hari saya hanya menghabiskan waktu di dalam kelas saat istirahat sembari pura-pura sibuk membaca buku atau mengerjakan tugas. Sebab di luar kelas hampir semua anak tengah menikmati jajan mereka masing-masing.

Pernah ketika saya baru saja disunat (bagi anak laki-laki, sunat atau khiran merupakan hajatan terbesar baginya sebelum mengenal pernikahan) saya ditanya, “mau minta apa?” sebagai hadiah karena saya sudah berani disunat. Ketika anak-anak seusia saya kebanyakan meminta handphone, sepeda baru, atau sepeda motor setelah sunatan, saya justru meminta bola. Ya, bola, yang bentuknya bulat dan ditendang-tendang itu.

Naif? Betul! Kendati demikian, saya termasuk anak yang beruntung karena orangtua saya, khususnya ibu merupakan orang yang sangat pengertian. Mereka akan membelikan kebutuhan saya seperti sepatu, tas, baju, buku, dan sebagainya tanpa saya harus meminta dulu.

Dari kultur yang terbangun sejak kecil seperti itu, membuat saya membayangkan, betapa bahagianya menjadi orang dewasa yang bisa mencari uang sendiri dan bisa membeli apapun yang dia inginkan.

Dari kultur itu juga, selama bertahun-tahun, saya hidup menjadi anak rumahan, bahkan saat saya sudah duduk di bangku STM. Meski menjadi anak STM, saya tidak akrab dengan tawuran pelajar seperti yang banyak dikisahkan oleh banyak orang. Saya bahkan lebih sering nongkrong di masjid agung bersama beberapa teman yang jumlahnya tak seberapa. Beruntung, saat itu belum menjamur kajian-kajian radikal dan tren hijrah ngehe seperti sekarang.

Pandangan saya terkait norma-norma kehidupan di atas perlahan mulai bergeser, bahkan berbalik ketika saya mulai kuliah di Yogyakarta. Mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi jika saya tidak tersesat di pers mahasiswa dan kebanyakan bergaul dengan anak mapala.

Saya yang sejak kecil tak pernah suka membaca buku, kecuali buku pelajaran, akhirnya dipaksa membaca berbagai buku yang penulisnya benar-benar asing di telinga saya. Di mulai dari Pramoedya, kemudian naik membaca tulisan-tulisan Soe Hok Gie, Tan Malaka, Mahatma Gandhi, Lenin, Karl Marx, Neitzsche, Sigmund Freud, dan tokoh-tokoh lain yang benar-benar tidak pernah saya dengar sebelumnya.

Saya mulai terbiasa dengan umpatan demi umpatan, dengan teman-teman sekitar saya yang kebanyakan merokok, minum-minuman keras, dan sebagainya yang akhirnya membuat saya sadar, saya sudah mulai dewasa. Masa kuliah seperti membalik hidup saya 180 derajat.

Memasuki tahun kedua kuliah saya mulaijarang pulang kos. Saya lebih banyak menghabiskan waktu dan bermalam di kampus, atau diskusi dari hal-hal remeh temeh sampai ke tema-tema yang membuat pikiran terkuras di warung-warung kopi sampai subuh. Bahkan tidak jarang saya tidak pulang ke kos selama berhari-hari.

Saat itu saya seperti merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, diskusi dengan teman-teman di warung kopi, angkringan, atau manapun sampai tubuh benar-benar tak kuat lagi mengikuti kemauan otak.

Tapi ternyata itu bukan kebahagiaan yang kekal, karena menginjak semester tua, satu per satu teman mulai lulus, teman ngopi berkurang, dan kebanyakan teman diskusi saya sudah berganti menjadi adik tingkat saya. Teman-teman saya mulai fokus menata masa depan, menghadapi sebuah fase kehidupan baru yang kata banyak orang adalah “hidup yang sesungguhnya, real life”.

Hingga akhirnya giliran saya yang harus meninggalkan romantisme dunia perkuliahan. Saya kini harus memasuki fase baru seperti yang telah dihadapi teman-teman yang lain. Dan saya sadar, saya semakin dewasa!

Pasca lulus sejak November 2018 silam, beberapa kali saya sudah menjajal beberapa profesi. Mulai dari mengajar di STM, menjadi content writer, menjadi penulis lepas di beberapa media, wartawan lapangan, sampai wartawan kantoran sudah saya jajal, di tengah derasnya desakan untuk menjadi PNS dari keluarga besar.

Lima tahun tinggal di Yogyakarta memang telah mengubah pandangan saya terhadap PNS, dan akhirnya saya memutuskan PNS adalah jalan terakhir kehidupan saya. Memasuki dunia kerja membuat saya merasa semakin dewasa, juga tua. Pikiran saya tentang indahnya menjadi orang dewasa ketika masa SD dulu terbantahkan dengan sendirinya seiring realita yang saya hadapi.

Pulang malam bagi orang dewasa ternyata bukan karena keinginannya untuk bersenang-senang, melainkan tuntutan pekerjaan agar dia bisa tetap makan. Merokok ternyata bukan keinginan orang dewasa, melainkan kebutuhan, karena menjadi dewasa itu berat, dan nikotin adalah pelipur yang tepat. Umpatan yang kerap dilontarkan orang dewasa ternyata juga bukan untuk gaya-gaya-an, tapi memang mereka butuh melakukan itu supaya rasa dongkol di dalam hati terhadap kehidupan sedikit berkurang.

Menjadi orang dewasa memang sudah bisa mencari uang. Tapi kebutuhan orang dewasa bukan hanya mobil-mobilan, bola plastik, sepeda, kaos AHHA, atau smartphone keluaran terbaru supaya bisa main Mobile Legend bersama teman-teman. Pacaran? Ah, pikirkan dulu caranya membahagiakan orangtua dan menyekolahkan adik-adik.

Hingga akhirnya saya mafhum, bahwa menjadi dewasa ternyata tidak sebercanda itu. Menjadi dewasa itu melelahkan. Maka tidak heran ketika banyak orang-orang tua sekarang justru bertingkah kekanak-kanakan.

Satu lagi alasan kenapa menjadi dewasa itu melelahkan, yaitu harus merasakan jatuh cinta dankemudian patah hati. [T]

Tags: anak-anakdewasagaya hidupkemanusiaan
Previous Post

Dari Flores Mengejar Bayang-Bayang Surga di Pulau Dewata

Next Post

Bendo Gerit & Kebebasan Soekarno

Widi Hermawan

Widi Hermawan

Jurnalis, tinggal di Solo, Jawa Tengah

Next Post
Bendo Gerit & Kebebasan Soekarno

Bendo Gerit & Kebebasan Soekarno

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mencari Bali Menemukan Diri — Ulasan Buku “Dari Sudut Bali” Karya Abdul Karim Abraham

by Gading Ganesha
May 17, 2025
0
Mencari Bali Menemukan Diri — Ulasan Buku “Dari Sudut Bali” Karya Abdul Karim Abraham

PULAU Bali milik siapa? Apa syarat disebut orang Bali? Semakin saya pikirkan, semakin ragu. Di tengah era yang begitu terbuka,...

Read more

‘Narasi Naïve Visual’ Ni Komang Atmi Kristia Dewi

by Hartanto
May 16, 2025
0
‘Narasi Naïve Visual’ Ni Komang Atmi Kristia Dewi

KARYA instalasi Ni Komang Atmi Kristia Dewi yang bertajuk ; ‘Neomesolitikum’.  menggunakan beberapa bahan, seperti  gerabah, cermin, batu pantai, dan...

Read more

Suatu Kajian Sumber-Sumber PAD Menurut UU No. 1 Tahun 2022

by Suradi Al Karim
May 16, 2025
0
Ramadhan Sepanjang Masa

TULISAN ini akan menarasikan tentang pentingnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Karena  PAD adalah...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar
Panggung

Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar

AMFLITEATER Mall Living World, Denpasar, ramai dipenuhi pengunjung. Sabtu, 10 Mei 2025 pukul 17.40, Tempat duduk amfliteater yang bertingkat itu...

by Hizkia Adi Wicaksnono
May 16, 2025
Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa 
Kuliner

Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa

ADA beberapa buah tangan yang bisa kalian bawa pulang untuk dijadikan oleh-oleh saat berkunjung ke Singaraja Bali. Salah satunya adalah...

by I Gede Teddy Setiadi
May 16, 2025
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co