ORANG-orang duduk berbaris. Ada yang berbaju batik, ada pula yang mengenakan pakaian adat Bali—kain, selendang, dan udeng tertata rapi. Hari itu Kamis, 8 Mei 2025. Seperti Kamis lainnya di Bali, adat dan budaya melekat bahkan di tengah forum kesehatan.
Pagi belum tinggi saat ruang pertemuan Hotel Le Méridien Jimbaran, Bali, mulai terisi. Udara terasa padat, bukan oleh formalitas atau seremonial, melainkan oleh percakapan yang menyentuh batas-batas paling rapuh dari hidup manusia—antara detak jantung dan senyap. Di tengah jeda acara, dalam sesi doorstop yang singkat, dr. I Wayan Sudana, Direktur Utama RSUP Prof. Ngoerah, menyampaikan sebuah refleksi:
“Stroke ini bisa dicegah. Tapi yang menentukan adalah kecepatan dan ketepatan. Kita menyebutnya golden period, waktu emas: empat setengah jam. Setelah itu…”
Setelah itu, nyawa bisa lepas. Atau hidup berlanjut dalam kondisi pincang, tergagap, atau beku. Dalam urusan stroke, waktu bukan lagi uang, melainkan tubuh. Waktu adalah wibawa manusia sebagai makhluk yang ingin tetap utuh.
Dan mungkin jika waktu itu datang, tak semua rumah sakit bisa menaklukkannya.

Acara Bali Stroke Care di Hotel Le Méridien Jimbaran, Bali, Kamis, 8 Mei 2025
Acara Bali Stroke Care hari itu bukan sekadar pertemuan. Hadir Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, seluruh direktur RSUD kabupaten/kota se-Bali, hingga rumah sakit vertikal seperti RS Universitas Udayana dan RS Bhayangkara. Dari pusat hingga daerah, dari regulator hingga pelaksana, berkumpul dengan semangat sama: menyusun sistem yang mampu menangani stroke secara terpadu.
Menurut dr. I Nyoman Gede Anom, Kepala Dinas Kesehatan Bali, stroke adalah penyakit pembunuh nomor dua setelah jantung. “Kalau orang yang mestinya produktif lumpuh di usia muda, bayangkan dampaknya pada keluarga dan negara,” ucapnya.
Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali menunjukkan, tahun 2024 jumlah kasus stroke di Bali mencapai 1.200 kasus, meningkat dari 1.050 kasus pada tahun sebelumnya. Kabupaten Badung dan Kota Denpasar mencatatkan angka tertinggi, masing-masing dengan 300 dan 280 kasus.
Secara nasional, menurut Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023, prevalensi stroke di Indonesia mencapai 8,3 per 1.000 penduduk.
Karena itu, sistem harus dibangun. Bukan hanya protokol, tapi juga jaringan rumah sakit yang saling terhubung. Rumah sakit mana yang bisa CT scan, mana yang mampu lakukan trombolisis, dan mana yang punya DSA—semua harus tahu perannya.
“Pak Gubernur bilang, ini harus didukung dengan IT. Harus ada sistem digital,” kata dr. Sudana.
dr. Affan Priyambodo, Direktur Pelayanan Medik dan Penunjang, menjelaskan bahwa penanganan stroke dibagi dua: pra-rumah sakit dan intra-rumah sakit. Edukasi gejala menjadi kunci. “Bicara nggak nyambung, wajah mencong, suara tidak keluar—itu sudah tanda stroke. Tapi banyak yang tidak sadar.”
Saat seseorang kena stroke di Tabanan, misalnya, ia harus tahu rumah sakit mana yang bisa menanganinya. Bukan ke klinik ibu dan anak. Sistem akan membagi rumah sakit ke dalam strata pelayanan: dari mampu CT Scan hingga kateterisasi.
dr. Witari, dokter spesialis saraf di RSUP Prof. Ngoerah, menambahkan bahwa di Bali sudah ada 150 dokter spesialis saraf. Namun masih ada tantangan: delay di dalam rumah sakit. “Kita kejar target Oktober, saat World Stroke Day. Kami ingin tidak ada lagi pasien stroke yang tidak tertolong hanya karena sistem lambat.”

Acara Bali Stroke Care di Hotel Le Méridien Jimbaran, Bali, Kamis, 8 Mei 2025
Acara ini juga menandai dimulainya Bali Stroke Awareness Campaign. Dalam waktu enam bulan ke depan, sistem akan diuji: apakah mampu menjembatani detik-detik krusial, apakah mampu mengatasi kesenjangan pelayanan. RSUP Prof. Ngoerah sebagai rumah sakit pengampu regional bekerja sama erat dengan Dinas Kesehatan Bali, merancang tahapan implementasi: dari sosialisasi, simulasi, hingga pelatihan terpadu.
Harapan dari forum ini jelas: sistem bukan hanya dibicarakan, tapi dijalankan.
Dan harapan itu tidak kecil.
Ia berangkat dari kesadaran bahwa tubuh manusia hanya butuh empat setengah jam untuk berpindah dari sehat ke lumpuh. Dan bahwa dalam setiap detik itu, kita tidak boleh membiarkan seseorang berjalan sendirian menuju kematian.
Jika sistem ini berhasil, Bali akan menjadi provinsi percontohan. Tapi lebih dari itu, Bali akan menjadi tempat di mana waktu tidak lagi menjadi musuh, melainkan sekutu dalam menyelamatkan hidup. [T]
Reporter/Penulis: Pranita Dewi
Editor: Budarsana