SEBAGAI Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA di Kabupaten Badung, saya diundang oleh Kepala Canggu Community School Rus Martini dalam kegiatan Roadshow Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK)di lima kota yang diawali dari Bali.Lima kota sasaran Roadshow SPK Tahun 2025 adalah Bali, Surabaya, Bekasi, Medan, dan Cirebon.
Acara Roadshow dihadiri perwakilan SPK dari berbagai daerah dengan narasumber Dirjen PAUD Dikdasmen, Gogot Suharwoto, S.Pd., M.Ed., Ph.D. Imelda Triana Sahelangi dari Perkumpulan Sekolah SPK, Andri Nurcahyani dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikdan Dasar dan Menengah (BAN – PDM ) Pusat, dan Dr. Murdiani dari Ketua BAN Provinsi Bali. Hadir pula dalam acara Roadshow Kepala BPMP Bali, Alit Dwitama dan perwakilan dari Dinas Pendidikan Provinsi Bali.
Bali menjadi sasaran pertama Roadshow SPK dengan dua alasan menarik. Pertama, Bali daerah Pariwisata, siapa sih tak ingin ke Bali setelah libur lebaran. “Ke Bali belajar sekaligus berlibur”, kata Imelda Triana Sahelangi Ketua Perkumpulan SPK Tingkat Nasional yang membawahi 481 sekolah yang berafiliasi ke SPK. Kedua, dunia Pendidikan di Bali menjadi magnet positip yang dapat menginspirasi penyelenggara SPK di luar Bali. Semangatnya inklusif, integral, dan kohesif dalam merawat mutu bersama dengan pendekatan budaya merupakan daya tarik tersendiri yang ditawarkan SPK di Bali.
SPK adalah sekolah model kerja sama lintas negara untuk menjawab tantangan global dengan pijakan nasional yang kuat. Siswa dan gurunya pun lintas negara. Kurikulumnnya ada dua model, yaitu SPK dengan Kurikulum Nasional dan SPK dengan Kurikulum Luar Negeri (umumnya Kurikulum Cambridge). Kedua SPK ini wajib memberikan mata pelajaran Pendidikan Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Kajian Indonesia.
Muatan Kurikulum wajib itu dimaksudkan untuk menguatkan karakter kebangsaan di tengah percaturan global. Jika mereka adalah siswa WNI, ia tetap mencintai negerinya sambil menyerap kebudayaan global yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Jika mereka adalah siswa WNA, pembelajaran muatan Indonesia dipandang sebagai tambahan wawasan tentang Indonesia sesuai dengan semangat “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Sebab, Pendidikan sejati selalu berakar di hati masyarakat sehingga pembauran global tidak meninggalkan kearifan lokal dan nasional.
Dalam presentasinya, Dirjen PAUD Dikdasmen, Gogot Suharwoto, menjelaskan Pendidikan Bermutu untuk Semua Menuju Indonesia Emas 2045. Kata kunci untuk meningkatkan taraf hidup adalah Pendidikan dengan menggunakan China sebagai contoh. China dengan penduduk terbesar di dunia, memandang SDM sebagai asset yang perlu diberdayakan dan dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup. Indonesia telah lama menyadari hal itu, hingga melahirkan petuah, “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China”.
Pesan itu memberikan petunjuk bahwa China pusat peradaban besar dunia. Peradaban itu hanya dimungkinkan oleh kebudayaan dengan akar literasi yang kuat. Akar literasi bermula dari aksara dengan huruf China. Huruf China dirawat dan diwariskan sampai ke Bali dalam bentuk pis bolong, uang kepeng. Uang kepeng bukan sekadar alat transaksi pada zamannya, tetapi juga mengandung pesan budaya ritual dan spiritual. Hubungan mutualistik antarbudaya yang saling memengaruhi dan saling menguatkan. Hingga kini, hubungan itu mengakar dari tingkat lokal sampai nasional.
Jawaban atas persoalan segala bangsa adalah pendidikan. Nelson Mandela mengatakan, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia”. Untuk mengubah dunia ke arah yang lebih baik, Pendidikan seyogyanya independen dari bisingnya wacana politik yang berjangka pendek karena Pendidikan adalah tabungan jangka panjang untuk masa depan bagi anak. Tambah Nelson Mandela, “Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis”. Kepahitan itu dirasakan selama puluhan tahun di penjara tetapi tidak ada dendam setelah ia bebas. Pendidikan itu tidak lalah tabia, begitu digigit langsung terasa pedasnya, sebagaimana dunia politik praktis.

Suasana belajar serangkaian Roadshow SPK di Bali | Foto : Rus Martini
Walaupun Dirjen PAUD Dikdasmen tidak menyinggung politik kekuasaan, paparan yang disampaikan adalah produk politik. Baginya, Pendidikan bermutu buat semua harus memenuhi tiga syarat : inklusif, integral, dan kohesif. Pendidikan inklusif prinsifnya adalah pemerataan dan peningkatan mutu, keberagaman, kebermaknaan, keberlanjutan, dan keterlibatan.
Pendidikan integral adalah memadukan kemampuan intelektual, moral, dan spiritual. Inilah yang disebut manusia Indonesia seutuhnya terbangun jiwa raganya, sesuai dengan semangat Indonesia Raya. Pendidikan kohesif adalah Pendidikan yang meneguhkan hubungan persaudaraan universal, kesetaraan, keadilan sosial dengan landasan Ketuhanan Yang Maha Esa (Mustanah, 2022).
Tiga syarat Pendidikan bermutu itu berlaku untuk semua Lembaga Pendidikan, baik Pendidikan regular maupun Pendidikan Kerja Sama (SPK). Secara berkelakar, Alit Dwitama Kepala BPMP Bali, menyebut Pendidikan regular itu “sekolah rakyat”, sedangkan SPK sebagai “sekolah ningrat”. Pendidikan regular diperuntukkan bagi rakyat secara umum dengan biaya terjangkau bahkan pada tahap tertentu “gratis”.
Sebagai catatan, sesungguhnya tidak ada Pendidikan yang benar-benar gratis, apalagi kita menganut filosofi belajar seumur hidup. Semua itu perlu biaya. Sementara itu, SPK hanya bisa dijangkau oleh kaum berpunya dengan siswanya tanpa dana BOS dan gurunya tidak boleh menerima TPG. SPK diniatkan mandiri dalam segala pembiayaan, bahkan mempunyai dana CSR bantuan kemanusiaan seperti disampaikan Imelda membantu korban banir di Cirebon.
Terkait isu terkini, Kemendikdasmen akan menerapkan pendekatan pembelajaran mendalam (deef learning) yang memuliakan agar tercipta suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran (mind full), bermakna (meaning full), dan menggembirakan (joyfull). Pembelajaran demikian harus mengoptimalkan olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah raga untuk mewujudkan 8 profil lulusan.
Kedelapan profil lulusan itu adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kewargaan, kreativitas, kemandirian, komunikasi, kesehatan, kolaborasi, dan penalaran kritis. Kedelapan profil lulusan ini tidak jauh berbeda dengan 6 Profil Pelajar Pancasila yang digagas Nadiem Makarim dengan pilot projek Program Sekolah Penggerak. Profil Pelajar Pancasila bila ditarik ke masa lalu, zaman Orde Baru identik dengan semangat P-4 dengan 36 butir Pancasila. Begitulah zaman berubah, rezim berganti. Ibarat masakan, lain koki lain masakan lain rasanya walaupun bahan yang diolah sama.

Suasana belajar serangkaian Roadshow SPK di Bali | Foto : Rus Martini
Dalam kondisi demikianlah, Gogot Suharwoto mengajak guru menjadi aktivator, kolaborator, dan pengembang budaya belajar. Sebagai aktivator, guru dituntut mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan murid untuk menentukan strategi pembelajaran yang berterima dan berhasil guna. Sebagai kolaborator, guru di bawah Kepala Satuan Pendidikan seyogyanya mengembangkan kerjasama baik secara internal maupun eksternal sekolah untuk memberikan layanan Pendidikan bermutu.
Secara internal, guru dapat mengoptimalkan SDM sekolah untuk meningkatkan kemajuan hasil belajar siswa. Secara eksternal, sekolah dapat mendatangkan guru tamu dengan skema kerja sama baik dengan Lembaga Pendidikan maupun dengan praktisi yang inspiratif. Sebagai pengembang budaya belajar, guru seyogyanya menjadi teladan dalam belajar seumur hidup. Walaupun guru sudah bersertifikasi dan berijazah dengan banyak STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) yang dimiliki, ia mesti menerjemahkan STTB dengan Surat Tanda Terus Belajar yang mengilhaminya sebagai pembelajar seumur hidup. Sebab, murid bergantung pada guru.
Pada bagian lain dari sesi Roadshow SPK juga diisi dengan materi Akreditasi SPK oleh Andri Nurcahyani dari BAN – PDM Kemendikdasmen dan Dr. Murdiani dari Ketua BAN Provinsi Bali. Keduanya menyampaikan akibat efisiensi anggaran, jangkauan Akreditasi secara umum menurun. Dari 22.000 sekolah pada 2024 menjadi 2.000 sekolah pada 2025.
Sekolah yang menjadi prioritas akreditasi 2025 adalah sekolah yang belum terakreditasi dan segera menamatkan. Sementara sekolah yang masa berlaku akreditasinya sudah jatuh tempo, dipertimbangkan dengan otomatisasi atau visitasi dengan melihat capaian hasil rapor Pendidikan. Persoalannya, bila Asesemen Nasional (AN) dihapus sebagai data base Rapor Pendidikan, apa yang dipakai acuan? Wacananya, November 2025, AN akan berubah menjadi Tes Kompetensi Akademik (TKA) SMA yang diproyeksikan untuk membekali murid menuju Perguruan Tinggi idaman.
Namun, apa pun kebijakan para punggawa Pendidikan di Kemendikdasmen bagi semua sekolah (regular, SPK) di bawahnya hanyalah melaksanakan titah. Titah yang tidak bisa ditawar senantiasa dalam konteks mencerdaskan bangsa dengan memerkuat nilai kebangsaan dalam pergaulan global. Hasil didikan manusia Indonesia pada akhirnya juga menjadi warga dunia yang humanis berkepribadian Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT