Karya seni instalasi ini menyuguhkan serangkaian obyek berupa linggis, gunting dan kotak kayu berwarna putih. Vanitas dipilih sebagai judul kekaryaan I Ketut Putrayasa.
Vanitas, karya Ketut Putraasa itu, adalah salah satu karya yang dipamerkan pada pameran bersama Militant Arts Exhibition dengan tajuk 5 Dimensions of Changes di Nuanu Labyrinth Pantai Nyanyi Tabanan, yang dibuka 22 Maret 2025.
Vanitas adalah satu karya yang menarik perhatian pengunjung pameran. Secara etimologis Vanitas berasal dari bahasa Latin yang bermakna “ketidakberartian” atau “kesia-siaan”.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa
Sebilah linggis digunting, patah menjadi beberapa bagian, adalah penggambaran peristiwa visual yang absurd.
Absurditas karya ini dibangun lewat penjajaran yang aneh dan narasi yang tidak logis : jukstaposisi dua obyek berupa linggis dan gunting, yang sesungguhnya tidak memiliki relevansi dan tidak ada koherensi tapi ditempatkan secara bersamaan.
Dua objek yang terjalin dalam satu komposisi visual itu menghadirkan kemustahilan : bagaimana mungkin linggis bisa digunting ?
Begitulah absurditas menemukan bentuknya manakala terjadi pengingkaran logika dan penyangkalan terhadap kenyataan (realitas).
Berdiri di hadapan karya Vanitas, kita seakan berada dalam kamar operasi.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa
Gunting bedah standar lurus, salah satu jenis gunting yang lazim digunakan dalam praktik kedokteran ini, tampak sedang memotong linggis yang dibuat sedemikian hingga berasosiasi sebagai pembuluh darah.
Kita merasakan lazimnya peristiwa mutilasi yang dingin, mencekam dan ngeri.
Lebih jauh, jalinan makna karya ini menghadirkan metafora tentang pelik modernitas yang melemparkan manusia ke dalam situasi absurd.
Sebuah potret perihal kompleksitas kehidupan yang tampak muskil.
Cerminan dari irasionalitas yang bersembunyi di balik rasionalitas instrumental masyarakat modern.
Sebagaimana urat nadi, linggis itu akan terus mengalirkan darah yang dipompa oleh jantung modernisme yang cacat.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa
Kehidupan modern yang diyakini sebagai titik balik kemajuan antroposentris, akhirnya menyimpan sisi paradoksnya sendiri : ketika semangat pencerahan dielu-elukan, pada saat itu pula daya destruksi dirayakan di mana-mana.
Berbagai bentuk penindasan manusia atas manusia dan eksploitasi manusia atas alam secara berlebihan merupakan kenyataan yang menjadi bagian dari sisi gelap manusia hari ini.
Absurditas adalah ironi yang menyelinap dalam tubuh masyarakat modern.
Tentang kesia-siaan manusia dalam menemukan makna hidup di tengah kesibukan dunia yang dihuninya.
Absurditas menggiring manusia pada tikungan nihilisme : kehidupan tanpa acuan makna, alasan, tujuan dan nilai.
Konsekuensinya, manusia terjebak dalam kubangan dehumanisasi.
Mendiami dunia yang membuatnya asing dan ironis.

Vanitas, karya Ketut Putrayasa
Dalam terpaan kemajuan peradaban yang kian kompleks, berbagai krisis eksistensial masyarakat modern seolah merupakan hukuman atau konsekuensi permanen yang tak terhindarkan.
Sekeras apa pun manusia berusaha, pada akhirnya peradaban modern adalah sejenis durhaka.
Manusia modern hidup dalam tragedi : dilumat oleh sistem yang ia ciptakan sendiri.
Begitulah, karya ini dapat dilihat sebagai simbol gerak arus modernisasi yang tidak terkendali.
Linggis patah dan berdarah seakan mencerminkan bagaimana daya rusak modernisasi sungguh begitu kuat.
Di situlah manusia mendapatkan dirinya nestapa, retak dan hancur oleh kemegahan dunia yang dibangunnya.
Demi modernisasi, sang tuan hendak menggali kubur bagi kematiannya.
Di hadapan kita, linggis itu kehilangan kekuatannya.
Tergeletak tak berdaya.
Patah berkali-kali dan berdarah setiap kalinya.
Lalu, dunia berada dalam ketidakberartian. [T]
Penulis: Tatang B.Sp.
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: