
[Dalem Siddhakarya karya Ida Padanda Made Sidemen, milik keluarga Jero Mangku Mayun, Batubulan | Foto: IGA Darma Putra][i]
BERBANDING terbalik dengan melimpahnya seniman yang terampil menarikan topeng Siddhakarya, bukti tekstual yang mewacanakan figur beliau dalam jagat pernaskahan justru cenderung langka. Teks kanon sastra sejarah Bali seperti Babad Dalem dan Kidung Pamancangah tidak memuat perjalanan hidup Dalem Siddhakarya. Padahal, kehadiran beliau diyakini pada masa pemerintahan yang sama dengan Dalem Waturenggong (1520-1558 M).
Sampai saat ini, setidaknya hanya ditemukan dua teks otoritatif yang memuat salampah laku Ida Dalem Siddhakarya. Dua teks itu adalah Babad Bebali Dalem Siddhakarya[ii] yang ditulis oleh kawi wiku Ida Padanda Gde Nyoman Gunung dari Gria Gunung Biau Muncan-Karangasem dan satu lagi berjudul Babad Brahmana Keling yang ditulis oleh Ida Padanda Pamaron dari Gria Mandara-Munggu Badung[iii]. Bersumber dari ‘dua mata air sastra’ inilah aliran inspirasi masuk ke dalam ceruk-ceruk batin pengarang Bali untuk menciptakan aneka kreasi sastra anyar seperti Geguritan Brahmana Keling, Geguritan Dalem Sidakarya, dan yang lainnya.
Teks-teks yang relatif tidak tua ini kemungkinan besar diproduksi oleh para intelektual-spiritual Bali untuk memecah kebuntuan literasi tentang Dalem Siddhakarya. Haus pengetahuan tentang masa lalu figur penting dalam berbagai ritus di Bali ini pasti bukan hanya kebutuhan masyarakat yang hidup saat ini. Akan tetapi juga periode sebelumnya. Sehimpun pertanyaan yang kita miliki tentang Dalem Siddhakarya seperti rambut beliau yang terurai, gigi yang nganjuh, dan mata beliau yang sipit, barangkali juga menjadi daftar pertanyaan generasi sebelumnya. Maka, dengan berbagai usaha yang dilakukan baik berguru maupun aktivitas memohon wahyu, pengetahuan yang didapatkan para leluhur lalu diawetkan dalam tulisan. Oleh sebab itu, dengan berbagai keterbatasan cakrawala pengetahuan, teks-teks itu masih menyisakan misteri tentang Ida Dalem Siddhakarya yang penting untuk dipecahkan.
Proses penafsiran untuk menghasilkan pengetahuan mengenai berbagai dimensi Dalem Siddhakarya tentu adalah hak setiap orang, apalagi seniman. Namun demikian, proses interpretasi yang dilakukan tanpa sandaran sastra, potensial menyebabkan terjadinya pergeseran dalam panggung pementasan (pergelaran). Kreativitas yang ‘berlebihan’ di lanskap sakral dapat dinilai kontraproduktif dan dikritisi justru oleh lingkar seniman itu sendiri apabila tidak dilandasi oleh basis pengetahuan yang mengakar pada sastra.
Masih segar dalam ingatan, ketika media sosial memviralkan sasolahan lima topeng Siddhakarya dengan pancawarna di suatu upacara, banyak direspon oleh warganet mengenai dasar pengetahuan di balik pergelaran itu karena ketidaklazimannya. Demikian pula ketika beredar video sasolahan Dalem Siddhakarya yang menunjukkan gerakan penari serupa karakter raksasa, hujan komentar negatif masyarakat tak dapat dielakkan. Ini artinya, tafsir yang dinilai ‘tak berdasar’ oleh masyarakat, akan dikritisi oleh masyarakat itu sendiri.
Yang menarik tentu tak hanya warta di media sosial. Dalam praktiknya pun bebali Siddhakarya kerap digelar hanya karena modal kegairahan pengabdian (ngayah). Meski, apabila dicermati lebih jauh, berbagai sarana upacara, dan pendeta pamuput-nya tidak relevan.
Sandaran Sastra: Kesaksian Dua Teks
Menyadari situasi di atas, agaknya penting bagi kita untuk membaca sumber sastra sebagai landasan penafsiran sekaligus panduan nyolahang Dalem Siddhakarya agar sampai pada penjiwaan yang mendalam. Dari dua teks yang telah disebutkan di atas, secara garis besar kedua teks ini mewacanakan hal yang sama, termasuk juga sejumlah perbedaan kecil di dalamnya.
Persamaan dan perbedaan adalah keniscayaan dalam dunia pernaskahan sebagai akibat proses transmisi pengetahuan dari hulu masa lalu ke berbagai zaman kemudian. Terlebih, suatu peristiwa telah terjadi dalam rentang waktu yang jauh dengan penulisannya. Semakin jauh peristiwa dari waktu penulisan, aspek mitologis akan menjadi lebih kental. Sebaliknya, apabila peristiwa dan penulisannya semakin dekat, maka aspek historis (sejarah) akan menjadi lebih pekat.
Termasuk pula dalam hal kisah Dalem Siddhakarya. Berdasarkan dua teks yang dijadikan sumber dalam tulisan ini, Ida Dalem Siddhakarya ternyata memiliki banyak sebutan seperti Brahmana Wala Sakya, Ida Bagus Wala Sakya, Bagus Sidakarya, dan Brahmana Keling. Beliau yang berasrama di Gunung Bromo-Jawa ini mempraktikkan ajaran Sakya dengan ayah yang bernama Mpu Kayu Manis dan ibu dari keturunan Shiwa Bandhu.
Teks Babad Bebali Dalem Siddhakrya menyebutkan motif beliau ke Bali adalah untuk menyempurnakan ajaran Buddha yang dimilikinya dengan cara berguru kepada Dang Hyang Nirartha yang melakoni ajaran Siwa. Tugas itu diberikan oleh ayahnya yang bernama Mpu Kayu Manis. Pendeta yang disebutkan terakhir pernah menyucikan Dalem Ketut Kresna Kapakisan ketika hendak menjadi raja utusan Majapahit di Bali. Sementara itu, teks Babad Brahmana Keling menyebutkan bahwa motif Ida Dalem Siddhakrya ke Bali disebabkan karena sabda dari Hyang Utasana. Dewata yang berstana di Gunung Bromo itu memerintahkan beliau untuk membantu Dalem Waturenggong yang sedang ditimpa musibah berupa paceklik, kekeringan, dan wabah.
Dalam perjalanan menuju Bali, Ida Dalem Siddhakarya tiba di Gelgel. Namun sayang, baik Dang Hyang Nirartha maupun Ida Dalem Waturenggong yang menjadi tujuan utama pencariannya sedang tidak berada di istana. Beliau berdua tengah mempersiapkan upacara besar nangluk mrana (bertepatan dengan Posya (Desember-Januari) di Pura Besakih. Dengan mengikuti warga biasa yang sedang membawa sarana upacara (salaran), Ida Dalem Siddhakarya akhirnya sampai di tujuan.
Teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya menyebutkan kala berada di Besakih, beliau terlibat perdebatan dengan juru sapuh yang bertugas di sekitar Pura Meru Surya Candra tentang makna arca kuda ditunggangi pendeta yang ada di pura itu. Setelah terjadi keriuhan, akhirnya Ida Dalem Siddhakarya mengakui dirinya hendak mencari sang guru yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya, yaitu Dang Hyang Nirartha. Masyarakat yang melihat penampilan Ida Dalem Siddhakarya seperti orang tak waras lalu melaporkan kejadian ini kepada Dalem Waturenggong. Oleh sebab itu, Dalem kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengusir Ida Dalem Siddhakarya. Meski dalam keadaan direbut pasukan dan diseret ke luar pura, ia tetap tenang.
Di sisi lain, teks Babad Brahmana Keling menyebutkan bahwa ketika Ida Dalem Siddhakarya tiba di Besakih, ia meminta masyarakat untuk melaporkan kepada Dalem Waturenggong bahwa saudaranya telah datang. Mengetahui hal itu, Dalem Waturenggong memerintahkan Patih Mode untuk menjemputnya. Tak sesuai harapan, kala patih Kerajaan Bali itu bertemu dengan sang brahmana, ia terkejut karena penampilan sang brahmana yang kotor dan seperti orang gila. Maka, setelah ia kembali menghadap Dalem Waturenggong, sang raja sadar kedatangan orang dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan patihnya akan mencemari pelaksanaan upacaranya. Meski, saat itu dirinya belum bertemu langsung dengan brahmana yang mengaku menjadi saudaranya. Dengan pertimbangan menjaga kesucian pura dan upacara, ia memerintahkan patihnya untuk mengusir orang itu. Sang Patih menyeret sang brahmana tak ubahnya seperti sedang mengusir anjing terluka.
Usai peristiwa pengusiran ini, Ida Dalem Siddhakarya mengutuk agar upacara yang sedang digelar oleh Dalem Waturenggong gagal. Maka, tak berselang lama seluruh sarana upacara menjadi layu, kekeringan semakin meluas, dan wabah kian parah. Situasi genting ini akhirnya diketahui Dang Hyang Nirartha. Melalui suatu yoga samadhi, brahmana yang menjadi penasihat Dalem Waturenggong itu akhirnya tahu bahwa hal itu disebabkan atas peristiwa pengusiran Dalem Siddhakarya.
Teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya menyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha menyikapi keadaan ini dengan berkata kepada semua penduduk desa, bahwa Dalem Siddhakarya adalah saudaranya. Ia patut dipercayai sebagai penyebab keberhasilan suatu upacara (panyidakarya)hingga di masa depan. Dang Hyang Nirartha juga menyuruh masyarakat untuk mengadakan babali, papajegan, babali sinayut sidakarya. Dengan cara itu,sapi, kerbau, dan binatang peliharaan pulih kembali seperti sedia kala. Sementara itu, teks Babad Brahamana Keling menjelaskan bahwa Dang Hyang Nirartha meminta Dalem Waturenggong untuk meminta maaf dan mengakui Dalem Siddhakarya sebagai keluarga. Beliau lalu diminta untuk membantu Dang Hyang Nirartha untuk menyelesaikan upacara nangluk mrana di Besakih sehingga semua penyakit sirna, pepohonan menjadi subur, binatang ternak sehat, umat manusia mendapatkan kesehatan, dan berumur panjang.
Di Balik Topeng Siddhakarya: Kelindan Ajaran Buddha dan Siwa Pasupata
Demikianlah dua teks yang menarasikan figur Ida Dalem Siddhakarya. Keduanya menyatakan bahwa pendeta yang mempraktikkan ajaran Sakya atau Buddhaini datang ke Bali pada masa Dalem Waturenggong[iv].
Meskipun motif kedatangan Ida Dalem Siddhakarya bervariasi menurut dua teks itu, bagian akhirnya tetap sama yaitu puja yang dilakukannya bersama Dang Hyang Nirartha di Pura Besakih untuk memohon kebahagiaan dunia. Secara tidak langsung, teks ini menegaskan ‘koalisi’ Siwa-Buddha dalam hal upacara yang telah lama berlangsung di Nusantara. Teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya bahkan sejak awal telah menjelaskan bahwa Dalem Siddhakarya adalah putra dari Mpu Kayumanis yang menganut ajaran Sakya (Buddha) dengan ibu yang berasal dari keturunan Siwa Bandhu. Secara biologis, Dalem Siddhakarya diyakini berasal dari orang tua yang bergenetika ajaran Buddha dan Siwa.

Foto Ida Dalem Siddhakarya ditarikan oleh Pak Kadek Capung di Acara Dharma Panuntun Puri Kauhan Ubud | Foto Guna Yasa
Ajaran Buddha yang dipraktikkan oleh Ida Dalem Siddhakarya tampaknya tidak tunggal, tetapi berkelindan dengan ajaran Shiwa. Oleh sebab itu, menurut teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya, beliau diperintahkan oleh ayahnya untuk menyempurnakan lagi ajaran Shiwanya dengan berguru kepada Dan Hyang Nirartha. Pada bagian lain, disebutkan beliau sebagai brahmana Siwa yang berbusana Buddha (śiwa abhawa bhuda).
Hal ini juga nantinya berhubungan dengan keterangan teks Babad Brahmana Keling yang menyebutkan beliau sebagai brahmana yang berpakaian kotor dan dekil sehingga ditolak oleh Patih Mode untuk bertemu dengan Dalem Waturenggong. Yang tidak kalah pentingnya adalah kesaksian kedua teks yang berkali-kali menyebutkan bahwa Ida Dalem Siddhakarya seperti orang yang tak waras atau gila. Tak hanya di Gelgel, teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya bahkan sudah menyebutkan penilaian masyarakat awam kepada beliau sebagai figur yang gila (kataha edan) ketika masih di Jawa. Kesan ini muncul karena kebiasaannya yang berkeliling dari satu desa ke desa yang lain untuk menyebarkan ajaran sembari menari dan menyanyi. Bisa dibayangkan, paras seorang brahmana yang berambut terurai, berpakaian kotor, sembari menari dan bernyanyi di jalan untuk menyebarkan ajaran, maka citra masyarakat awam akan cenderung menilai beliau sebagai orang yang tak waras.
Penjelasan kedua teks yang menyatakan karakteristik fisik dan psikis Dalem Siddhakarya seperti di atas membuat kita terpantik untuk menafsir lebih jauh ajaran yang barangkali sedang beliau praktikkan.
Dari citra yang ditampakkan di luar itu, adakah figur Dalem Siddhakarya sejatinya juga sedang mengamalkan brata ajaran Shiwa Pasupata, khususnya Wimala (Alepaka) di kedalaman? Secara fisik, penampilan beliau yang kotor boleh jadi disebabkan oleh aktivitas brata bhasma śayīta ‘berbaring di abu’, bahkan mandi abu ‘bhasmasnāna’. Dalam arti biasa, mandi abu merupakan cara menyentuhkan zat abu dengan tubuh (bhasma-drvya-gātra-samyojana) sehingga minyak, lemak, kekotoran, dan bau kulit hilang. Akan tetapi, dalam arti yang sebenarnya (paramārthatas), mandi dan berbaring di abu bagi penganut Paśupata berarti penyucian jiwa (ātma śauca)[v].
Sementara itu, secara psikis Ida Dalem Siddhakarya juga dinilai oleh orang awam sebagai figur yang tak waras atau gila (unmatta) sehingga mengundang ejekan, penghinaan, dan penistaan. Praktik yang kelewat batas, termasuk mengembara sendirian, berbaring di abu, berjalan telanjang, berbuat tidak senonoh, dan lain-lain ini dimaksudkan untuk menimbulkan kesan gila (unmatta) oleh kaum Pāśupata. Pāśupataśūtra menyebutkan: unmatto mūḍa ity evaṁ manyate itare janāḥ ‘maka orang lain akan berpikir: dia [sang empu] adalah orang gila yang bodoh. Tujuan dari laku berpura-pura ini adalah untuk memancing keriuhan dan hinaan orang-orang. Teknik ini diterapkan sebagai sarana untuk memindahkan pahala orang lain (yang mengejek menghina, dsb.) ke praktisi Paśupata yang hanya berakting melakukan kekonyolan. Padahal, pada kenyataannya dia adalah seorang brahmana baik dan dituduh secara tidak adil. Tuduhan palsu itu dianggap sebagai bagian dari cara untuk menyucikan diri dan mendapatkan pahala dari penuduh[vi]
Mungkinkah karena mempraktikkan brata Pāśupata yang unmatto ‘berpura-pura gila’ di atas perwujudan Ida Dalem Siddhakarya dirupakan oleh seniman topeng dengan gigi yang nganjuh, mulut terbuka, mata yang sipit, dan rambut terurai? Tampaknya kemungkinan ke arah itu ada. Terlebih ketika memperhatikan topeng Siddhakarya karya Ida Padanda Made Sidemen di atas. Dalam karya walatanda tersebut, beliau tampak tidak bertaring seperti perwujudan topeng Siddhakarya yang juga dibuat oleh para seniman lain. Topeng Siddhakarya karya Ida Padanda Made Sidemen terkesan memang sedang menunjukkan seseorang yang tengah tertawa dengan mata sipit ketika menertawai suka dan duka dunia. Beliau tampak telah mencapai icccha nispriya ‘bahagia tanpa sebab’ seperti yang disampaikan dalam Dharma Shunya.
Dugaan bahwa praktik ini dijalankan oleh Ida Dalem Siddhakarya juga diperkuat oleh keberadaan aliran Pāśupata Wimala yang diduga memiliki nama lokal Alepaka seperti yang telah disebut dalam teks-teks Jawa Kuno seperti Rāmāyaṇa, Wr̥haspati Tattwa, Śiwaśāna, dan Brahmokta Widhi Śāstra. Dalam konteks Ida Dalem Siddhakarya, beliau berhasil menepis citra masyarakat awam yang hanya melihatnya sebagai brahmana ‘kotor dan gila’, setelah mengembalikan sarana upacara seperti sedia kala, tanaman dan binatang ternak sehat, termasuk menghalau wabah yang terjadi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Karena kasiddhiannya itulah beliau dikenal dan dikenang sebagai Siddhakarya. [T]
Paris, 22 Maret 2025
[i] Foto ini diambil ketika ngiring Ratu Aji IBG Agastia dalam menelusuri dan menginventaris karya-karya Walatanda Ida Padanda Made Sidemen di seluruh Bali.
[ii] Naskah yang kini disungsung di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya ini telah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh Tim Unit Lontar Universitas Udayana pada tahun 2024 yang lalu dengan tim Putu Eka Guna Yasa, Ida Bagus Anom Wisnu Pujana, I Nyoman Suwana, dan I Made Agus Atseriawayan HS.
[iii] Naskah ini kini disimpan di Gedong Kirtya Singharaja dan telah diterjemahkan oleh Ratu Aji IB Oka Manobhawa. Parama suksma dihaturkan kepada Ratu Aji atas perkenan beliau memberikan terjemahan atas lontar ini.
[iv] Apabila kesaksian ini benar, maka pada masa Dalem Waturenggong ada dua brahmana Buddha yang datang ke Bali, yaitu Ida Dalem Siddhakarya dan Dang Hyang Astapaka. Mungkinkah beliau berdua adalah figur yang sama? Dan Hyang Astapaka boleh jadi adalah figur historis, sedangkan Dalem Siddhakrya adalah figur beliau secara alegoris. Kita simpan pertanyaan dan jawaban sementara ini sebagai benih pengetahuan yang kita suburkan dalam pengembaraan di belantara sastra.
[v] Penjelasan mendalam tentang hal ini telah dilakukan Acri (2021) dalam tulisannya yang berjudul Sekta Vimala Pāśupata: Data Baru dari Sumber Jawa Kuno (terbit dalam buku “dari Siwaisme Jawa ke Agama Hindu Bali). Kutipan Sanskerta dalam tulisan ini diambil dari karya beliau termasuk tafsirnya yang kuat tentang eksistensi Alepaka dalam teks Jawa Kuno dan Bali menginspirasi tulisan ini. Kekurangan di dalamnya tentu disebabkan oleh saya sendiri.
[vi] Lihat Acri, 2021: 43; Hara, 2002: 126-136).
Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA