17 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

DI BALIK TOPENG DALEM SIDDHAKARYA

Putu Eka Guna YasabyPutu Eka Guna Yasa
March 23, 2025
inEsai
DI BALIK TOPENG DALEM SIDDHAKARYA

Foto Ida Dalem Siddhakarya ditarikan oleh Pak Kadek Capung di Acara Dharma Panuntun Puri Kauhan Ubud | Foto Guna Yasa

[Dalem Siddhakarya karya Ida Padanda Made Sidemen, milik keluarga Jero Mangku Mayun, Batubulan | Foto: IGA Darma Putra][i]

BERBANDING terbalik dengan melimpahnya seniman yang terampil menarikan topeng Siddhakarya, bukti tekstual yang mewacanakan figur beliau dalam jagat pernaskahan justru cenderung langka. Teks kanon sastra sejarah Bali seperti Babad Dalem dan Kidung Pamancangah tidak memuat perjalanan hidup Dalem Siddhakarya. Padahal, kehadiran beliau diyakini pada masa pemerintahan yang sama dengan Dalem Waturenggong (1520-1558 M).

Sampai saat ini, setidaknya hanya ditemukan dua teks otoritatif yang memuat salampah laku Ida Dalem Siddhakarya. Dua teks itu adalah Babad Bebali Dalem Siddhakarya[ii]  yang ditulis oleh kawi wiku Ida Padanda Gde Nyoman Gunung dari Gria Gunung Biau Muncan-Karangasem dan satu lagi berjudul Babad Brahmana Keling yang ditulis oleh Ida Padanda Pamaron dari Gria Mandara-Munggu Badung[iii]. Bersumber dari ‘dua mata air sastra’ inilah aliran inspirasi masuk ke dalam ceruk-ceruk batin pengarang Bali untuk menciptakan aneka kreasi sastra anyar seperti Geguritan Brahmana Keling, Geguritan Dalem Sidakarya, dan yang lainnya.

Teks-teks yang relatif tidak tua ini kemungkinan besar diproduksi oleh para intelektual-spiritual Bali untuk memecah kebuntuan literasi tentang Dalem Siddhakarya. Haus pengetahuan tentang masa lalu figur penting dalam berbagai ritus di Bali ini pasti bukan hanya kebutuhan masyarakat yang hidup saat ini. Akan tetapi juga periode sebelumnya. Sehimpun pertanyaan yang kita miliki tentang Dalem Siddhakarya seperti rambut beliau yang terurai, gigi yang nganjuh, dan mata beliau yang sipit, barangkali juga menjadi daftar pertanyaan generasi sebelumnya. Maka, dengan berbagai usaha yang dilakukan baik berguru maupun aktivitas memohon wahyu, pengetahuan yang didapatkan para leluhur lalu diawetkan dalam tulisan. Oleh sebab itu, dengan berbagai keterbatasan cakrawala pengetahuan, teks-teks itu masih menyisakan misteri tentang Ida Dalem Siddhakarya yang penting untuk dipecahkan.

Proses penafsiran untuk menghasilkan pengetahuan mengenai berbagai dimensi Dalem Siddhakarya tentu adalah hak setiap orang, apalagi seniman. Namun demikian, proses interpretasi yang dilakukan tanpa sandaran sastra, potensial menyebabkan terjadinya pergeseran dalam panggung pementasan (pergelaran). Kreativitas yang ‘berlebihan’ di lanskap sakral dapat dinilai kontraproduktif dan dikritisi justru oleh lingkar seniman itu sendiri apabila tidak dilandasi oleh basis pengetahuan yang mengakar pada sastra.

Masih segar dalam ingatan, ketika media sosial memviralkan sasolahan lima topeng Siddhakarya dengan pancawarna di suatu upacara, banyak direspon oleh warganet mengenai dasar pengetahuan di balik pergelaran itu karena ketidaklazimannya. Demikian pula ketika beredar video sasolahan Dalem Siddhakarya yang menunjukkan gerakan penari serupa karakter raksasa, hujan komentar negatif masyarakat tak dapat dielakkan. Ini artinya, tafsir yang dinilai ‘tak berdasar’ oleh masyarakat, akan dikritisi oleh masyarakat itu sendiri.

Yang menarik tentu tak hanya warta di media sosial. Dalam praktiknya pun bebali Siddhakarya kerap digelar hanya karena modal kegairahan pengabdian (ngayah). Meski, apabila dicermati lebih jauh, berbagai sarana upacara, dan pendeta pamuput-nya tidak relevan.

Sandaran Sastra: Kesaksian Dua Teks

Menyadari situasi di atas, agaknya penting bagi kita untuk membaca sumber sastra sebagai landasan penafsiran sekaligus panduan nyolahang Dalem Siddhakarya agar sampai pada penjiwaan yang mendalam. Dari dua teks yang telah disebutkan di atas, secara garis besar kedua teks ini mewacanakan hal yang sama, termasuk juga sejumlah perbedaan kecil di dalamnya.

Persamaan dan perbedaan adalah keniscayaan dalam dunia pernaskahan sebagai akibat proses transmisi pengetahuan dari hulu masa lalu ke berbagai zaman kemudian. Terlebih, suatu peristiwa telah terjadi dalam rentang waktu yang jauh dengan penulisannya. Semakin jauh peristiwa dari waktu penulisan, aspek mitologis akan menjadi lebih kental. Sebaliknya, apabila peristiwa dan penulisannya semakin dekat, maka aspek historis (sejarah) akan menjadi lebih pekat.

Termasuk pula dalam hal kisah Dalem Siddhakarya. Berdasarkan dua teks yang dijadikan sumber dalam tulisan ini, Ida Dalem Siddhakarya ternyata memiliki banyak sebutan seperti Brahmana Wala Sakya, Ida Bagus Wala Sakya, Bagus Sidakarya, dan Brahmana Keling. Beliau yang berasrama di Gunung Bromo-Jawa ini mempraktikkan ajaran Sakya dengan ayah yang bernama Mpu Kayu Manis dan ibu dari keturunan Shiwa Bandhu.

Teks Babad Bebali Dalem Siddhakrya menyebutkan motif beliau ke Bali adalah untuk menyempurnakan ajaran Buddha yang dimilikinya dengan cara berguru kepada Dang Hyang Nirartha yang melakoni ajaran Siwa. Tugas itu diberikan oleh ayahnya yang bernama Mpu Kayu Manis. Pendeta yang disebutkan terakhir pernah menyucikan Dalem Ketut Kresna Kapakisan ketika hendak menjadi raja utusan Majapahit di Bali. Sementara itu, teks Babad Brahmana Keling menyebutkan bahwa motif Ida Dalem Siddhakrya ke Bali disebabkan karena sabda dari Hyang Utasana. Dewata yang berstana di Gunung Bromo itu memerintahkan beliau untuk membantu Dalem Waturenggong yang sedang ditimpa musibah berupa paceklik, kekeringan, dan wabah.

Dalam perjalanan menuju Bali, Ida Dalem Siddhakarya tiba di Gelgel. Namun sayang, baik Dang Hyang Nirartha maupun Ida Dalem Waturenggong yang menjadi tujuan utama pencariannya sedang tidak berada di istana. Beliau berdua tengah mempersiapkan upacara besar nangluk mrana (bertepatan dengan Posya (Desember-Januari) di Pura Besakih. Dengan mengikuti warga biasa yang sedang membawa sarana upacara (salaran), Ida Dalem Siddhakarya akhirnya sampai di tujuan.

Teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya menyebutkan kala berada di Besakih, beliau terlibat perdebatan dengan juru sapuh yang bertugas di sekitar Pura Meru Surya Candra tentang makna arca kuda ditunggangi pendeta yang ada di pura itu. Setelah terjadi keriuhan, akhirnya Ida Dalem Siddhakarya mengakui dirinya hendak mencari sang guru yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya, yaitu Dang Hyang Nirartha. Masyarakat yang melihat penampilan Ida Dalem Siddhakarya seperti orang tak waras lalu melaporkan kejadian ini kepada Dalem Waturenggong. Oleh sebab itu, Dalem kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengusir Ida Dalem Siddhakarya. Meski dalam keadaan direbut pasukan dan diseret ke luar pura, ia tetap tenang.

Di sisi lain, teks Babad Brahmana Keling menyebutkan bahwa ketika Ida Dalem Siddhakarya tiba di Besakih, ia meminta masyarakat untuk melaporkan kepada Dalem Waturenggong bahwa saudaranya telah datang. Mengetahui hal itu, Dalem Waturenggong memerintahkan Patih Mode untuk menjemputnya. Tak sesuai harapan, kala patih Kerajaan Bali itu bertemu dengan sang brahmana, ia terkejut karena penampilan sang brahmana yang kotor dan seperti orang gila. Maka, setelah ia kembali menghadap Dalem Waturenggong, sang raja sadar kedatangan orang dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan patihnya akan mencemari pelaksanaan upacaranya. Meski, saat itu dirinya belum bertemu langsung dengan brahmana yang mengaku menjadi saudaranya. Dengan pertimbangan menjaga kesucian pura dan upacara, ia memerintahkan patihnya untuk mengusir orang itu. Sang Patih menyeret sang brahmana tak ubahnya seperti sedang mengusir anjing terluka.

Usai peristiwa pengusiran ini, Ida Dalem Siddhakarya mengutuk agar upacara yang sedang digelar oleh Dalem Waturenggong gagal. Maka, tak berselang lama seluruh sarana upacara menjadi layu, kekeringan semakin meluas, dan wabah kian parah. Situasi genting ini akhirnya diketahui Dang Hyang Nirartha. Melalui suatu yoga samadhi, brahmana yang menjadi penasihat Dalem Waturenggong itu akhirnya tahu bahwa hal itu disebabkan atas peristiwa pengusiran Dalem Siddhakarya.

Teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya menyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha menyikapi keadaan ini dengan berkata kepada semua penduduk desa, bahwa Dalem Siddhakarya adalah saudaranya. Ia patut dipercayai sebagai penyebab keberhasilan suatu upacara (panyidakarya)hingga di masa depan. Dang Hyang Nirartha juga menyuruh masyarakat untuk mengadakan babali, papajegan, babali sinayut sidakarya. Dengan cara itu,sapi, kerbau, dan binatang peliharaan pulih kembali seperti sedia kala. Sementara itu, teks Babad Brahamana Keling menjelaskan bahwa Dang Hyang Nirartha meminta Dalem Waturenggong untuk meminta maaf dan mengakui Dalem Siddhakarya sebagai keluarga. Beliau lalu diminta untuk membantu Dang Hyang Nirartha untuk menyelesaikan upacara nangluk mrana di Besakih sehingga semua penyakit sirna, pepohonan menjadi subur, binatang ternak sehat, umat manusia mendapatkan kesehatan, dan berumur panjang.  

Di Balik Topeng Siddhakarya: Kelindan Ajaran Buddha dan Siwa Pasupata

Demikianlah dua teks yang menarasikan figur Ida Dalem Siddhakarya. Keduanya menyatakan bahwa pendeta yang mempraktikkan ajaran Sakya atau Buddhaini datang ke Bali pada masa Dalem Waturenggong[iv].

Meskipun motif kedatangan Ida Dalem Siddhakarya bervariasi menurut dua teks itu, bagian akhirnya tetap sama yaitu puja yang dilakukannya bersama Dang Hyang Nirartha di Pura Besakih untuk memohon kebahagiaan dunia. Secara tidak langsung, teks ini menegaskan ‘koalisi’ Siwa-Buddha dalam hal upacara yang telah lama berlangsung di Nusantara. Teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya bahkan sejak awal telah menjelaskan bahwa Dalem Siddhakarya adalah putra dari Mpu Kayumanis yang menganut ajaran Sakya (Buddha) dengan ibu yang berasal dari keturunan Siwa Bandhu. Secara biologis, Dalem Siddhakarya diyakini berasal dari orang tua yang bergenetika ajaran Buddha dan Siwa.  

Foto Ida Dalem Siddhakarya ditarikan oleh Pak Kadek Capung di Acara Dharma Panuntun Puri Kauhan Ubud | Foto Guna Yasa

Ajaran Buddha yang dipraktikkan oleh Ida Dalem Siddhakarya tampaknya tidak tunggal, tetapi berkelindan dengan ajaran Shiwa. Oleh sebab itu, menurut teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya, beliau diperintahkan oleh ayahnya untuk menyempurnakan lagi ajaran Shiwanya dengan berguru kepada Dan Hyang Nirartha. Pada bagian lain, disebutkan beliau sebagai brahmana Siwa yang berbusana Buddha (śiwa abhawa bhuda).

Hal ini juga nantinya berhubungan dengan keterangan teks Babad Brahmana Keling yang menyebutkan beliau sebagai brahmana yang berpakaian kotor dan dekil sehingga ditolak oleh Patih Mode untuk bertemu dengan Dalem Waturenggong. Yang tidak kalah pentingnya adalah kesaksian kedua teks yang berkali-kali menyebutkan bahwa Ida Dalem Siddhakarya seperti orang yang tak waras atau gila. Tak hanya di Gelgel, teks Babad Bebali Dalem Siddhakarya bahkan sudah menyebutkan penilaian masyarakat awam kepada beliau sebagai figur yang gila (kataha edan) ketika masih di Jawa. Kesan ini muncul karena kebiasaannya yang berkeliling dari satu desa ke desa yang lain untuk menyebarkan ajaran sembari menari dan menyanyi. Bisa dibayangkan, paras seorang brahmana yang berambut terurai, berpakaian kotor, sembari menari dan bernyanyi di jalan untuk menyebarkan ajaran, maka citra masyarakat awam akan cenderung menilai beliau sebagai orang yang tak waras.

Penjelasan kedua teks yang menyatakan karakteristik fisik dan psikis Dalem Siddhakarya seperti di atas membuat kita terpantik untuk menafsir lebih jauh ajaran yang barangkali sedang beliau praktikkan.

Dari citra yang ditampakkan di luar itu, adakah figur Dalem Siddhakarya sejatinya juga sedang mengamalkan brata ajaran Shiwa Pasupata, khususnya Wimala (Alepaka) di kedalaman? Secara fisik, penampilan beliau yang kotor boleh jadi disebabkan oleh aktivitas brata bhasma śayīta ‘berbaring di abu’, bahkan mandi abu ‘bhasmasnāna’. Dalam arti biasa, mandi abu merupakan cara menyentuhkan zat abu dengan tubuh (bhasma-drvya-gātra-samyojana) sehingga minyak, lemak, kekotoran, dan bau kulit hilang. Akan tetapi, dalam arti yang sebenarnya (paramārthatas), mandi dan berbaring di abu bagi penganut Paśupata berarti penyucian jiwa (ātma śauca)[v].     

Sementara itu, secara psikis Ida Dalem Siddhakarya juga dinilai oleh orang awam sebagai figur yang tak waras atau gila (unmatta) sehingga mengundang ejekan, penghinaan, dan penistaan. Praktik yang kelewat batas, termasuk mengembara sendirian, berbaring di abu, berjalan telanjang, berbuat tidak senonoh, dan lain-lain ini dimaksudkan untuk menimbulkan kesan gila (unmatta) oleh kaum Pāśupata. Pāśupataśūtra menyebutkan: unmatto mūḍa ity evaṁ manyate itare janāḥ ‘maka orang lain akan berpikir: dia [sang empu] adalah orang gila yang bodoh. Tujuan dari laku berpura-pura ini adalah untuk memancing keriuhan dan hinaan orang-orang. Teknik ini diterapkan sebagai sarana untuk memindahkan pahala orang lain (yang mengejek menghina, dsb.) ke praktisi Paśupata yang hanya berakting melakukan kekonyolan. Padahal, pada kenyataannya dia adalah seorang brahmana baik dan dituduh secara tidak adil. Tuduhan palsu itu dianggap sebagai bagian dari cara untuk menyucikan diri dan mendapatkan pahala dari penuduh[vi]

Mungkinkah karena mempraktikkan brata Pāśupata yang unmatto ‘berpura-pura gila’ di atas perwujudan Ida Dalem Siddhakarya dirupakan oleh seniman topeng dengan gigi yang nganjuh, mulut terbuka, mata yang sipit, dan rambut terurai? Tampaknya kemungkinan ke arah itu ada. Terlebih ketika memperhatikan topeng Siddhakarya karya Ida Padanda Made Sidemen di atas. Dalam karya walatanda tersebut, beliau tampak tidak bertaring seperti perwujudan topeng Siddhakarya yang juga dibuat oleh para seniman lain. Topeng Siddhakarya karya Ida Padanda Made Sidemen terkesan memang sedang menunjukkan seseorang yang tengah tertawa dengan mata sipit ketika menertawai suka dan duka dunia. Beliau tampak telah mencapai icccha nispriya ‘bahagia tanpa sebab’ seperti yang disampaikan dalam Dharma Shunya.  

Dugaan bahwa praktik ini dijalankan oleh Ida Dalem Siddhakarya juga diperkuat oleh keberadaan aliran Pāśupata Wimala yang diduga memiliki nama lokal Alepaka seperti yang telah disebut dalam teks-teks Jawa Kuno seperti Rāmāyaṇa, Wr̥haspati Tattwa, Śiwaśāna, dan Brahmokta Widhi Śāstra. Dalam konteks Ida Dalem Siddhakarya, beliau berhasil menepis citra masyarakat awam yang hanya melihatnya sebagai brahmana ‘kotor dan gila’, setelah mengembalikan sarana upacara seperti sedia kala, tanaman dan binatang ternak sehat, termasuk menghalau wabah yang terjadi pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Karena kasiddhiannya itulah beliau dikenal dan dikenang sebagai Siddhakarya.  [T]

Paris, 22 Maret 2025


[i] Foto ini diambil ketika ngiring Ratu Aji IBG Agastia dalam menelusuri dan menginventaris karya-karya Walatanda Ida Padanda Made Sidemen di seluruh Bali.

[ii] Naskah yang kini disungsung di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya ini telah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh Tim Unit Lontar Universitas Udayana pada tahun 2024 yang lalu dengan tim Putu Eka Guna Yasa, Ida Bagus Anom Wisnu Pujana, I Nyoman Suwana, dan I Made Agus Atseriawayan HS.

[iii] Naskah ini  kini disimpan di Gedong Kirtya Singharaja dan telah diterjemahkan oleh Ratu Aji IB Oka Manobhawa. Parama suksma dihaturkan kepada Ratu Aji atas perkenan beliau memberikan terjemahan atas lontar ini.

[iv] Apabila kesaksian ini benar, maka pada masa Dalem Waturenggong ada dua brahmana Buddha yang datang ke Bali, yaitu Ida Dalem Siddhakarya dan Dang Hyang Astapaka. Mungkinkah beliau berdua adalah figur yang sama? Dan Hyang Astapaka boleh jadi adalah figur historis, sedangkan Dalem Siddhakrya adalah figur beliau secara alegoris. Kita simpan pertanyaan dan jawaban sementara ini sebagai benih pengetahuan yang kita suburkan dalam pengembaraan di belantara sastra.

[v] Penjelasan mendalam tentang hal ini telah dilakukan Acri (2021) dalam tulisannya yang berjudul Sekta Vimala Pāśupata: Data Baru dari Sumber Jawa Kuno (terbit dalam buku “dari Siwaisme Jawa ke Agama Hindu Bali).  Kutipan Sanskerta dalam tulisan ini diambil dari karya beliau termasuk tafsirnya yang kuat tentang eksistensi Alepaka dalam teks Jawa Kuno dan Bali menginspirasi tulisan ini. Kekurangan di dalamnya tentu disebabkan oleh saya sendiri.

[vi] Lihat Acri, 2021: 43; Hara, 2002: 126-136).

Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole

  • BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA
YONINÉ GENTOSIN: Mengubah Kualitas Kelahiran Perspektif Ida Padanda Made Sidemen
TRI KARANA SWARŪPA : Temuan Ida Wayan Oka Granoka untuk Menjawab Tantangan Zaman
“Warabhoga”: Refleksi Makanan Bergizi untuk Pelajar-Pertapa dalam Sastra Kawi
Tags: sastrasastra bali klasikSiddhakaryatopeng
Previous Post

Ogoh-Ogoh, Nyepi, dan Idulfitri

Next Post

Minimalkan Sampah, Ini 5 “Pangeling-eling” untuk Umat saat “Ngusaba Kadasa” di Pura Batur

Putu Eka Guna Yasa

Putu Eka Guna Yasa

Pembaca lontar, dosen FIB Unud, aktivitis BASAbali Wiki

Next Post
Minimalkan Sampah, Ini 5 “Pangeling-eling” untuk Umat saat “Ngusaba Kadasa” di Pura Batur

Minimalkan Sampah, Ini 5 “Pangeling-eling” untuk Umat saat “Ngusaba Kadasa” di Pura Batur

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Manusia Tikus”, Gen Z yang Terjebak di Kolong Kasur

by Petrus Imam Prawoto Jati
June 17, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

ADA satu istilah yang lagi rame di China sana, shǔ rén alias “manusia tikus”. Bagi sidang pembaca yang belum tahu,...

Read more

Kriteria dan Syarat Sosok Pemimpin di Suku Baduy

by Asep Kurnia
June 17, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

KRISIS kualitas kepemimpinan nasional sedang terjadi dan melanda secara dahsyat, moralitas dan tingkat keamanahan seorang pemimpin yang terpilih menunjukan kurva...

Read more

Han Kang dan Kolase Enigmatik Novel Vegetarian

by Lintang Pramudia Swara
June 16, 2025
0
Han Kang dan Kolase Enigmatik Novel Vegetarian

BEGITU enigmatik dan diabolis, saya rasa Han Kang memberi tawaran segar di kancah sastra dunia. Sejak diumumkan sebagai pemenang Nobel...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan 

Piagam Gumi Delod Ceking untuk Pariwisata Berkelanjutan

June 16, 2025
Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

Pesta Perilisan Buku “(Se-)Putar Musik” dari Beatriff: Ruang Produksi Pengetahuan yang Lebih Inklusif

June 15, 2025
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng
Khas

Bicara-bicara Atas Nama Air di Desa Panji Buleleng

MENJAGA hutan desa, tidak cukup dengan hanya berkoar—atau mengajak sesama mari menjaga hutan dan air; untuk hidup yang sedang berlangsung,...

by Sonhaji Abdullah
June 17, 2025
Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025
Khas

Tidak Ada Petruk dalam Drama Gong Lawas Banyuning Singaraja di Pesta Kesenian Bali 2025

TIDAK ada Petruk dalam Drama Gong Banyuning, Singaraja, yang bakal pentas di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025. Tentu saja. Yang...

by Komang Puja Savitri
June 16, 2025
Yan Mintaraga, Seniman Pinggir Taman Kota Singaraja
Persona

Yan Mintaraga, Seniman Pinggir Taman Kota Singaraja

SETIAP Minggu pagi, Taman Kota Singaraja menjelma menjadi panggung kecil bagi berbagai aktivitas. Ada anak-anak berlarian, ibu-ibu berbincang sambil menemani...

by Arix Wahyudhi Jana Putra
June 16, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

Teman Sepanjang Perjalanan | Cerpen Putu Gede Pradipta

June 15, 2025
Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

Sajak-Sajak Angga Wijaya | Radio Tidak Kumatikan

June 15, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co