TULISAN ini mungkin sudah kehilangan kontekstualitasnya karena isu meningkatnya harga lahan yang menyebabkan orang Bali tidak akan mampu membeli lahan di atas pulaunya sendiri ini sudah muncul beberapa bulan yang lalu. Meski demikian, saya merasa kita perlu untuk menggali akar masalah dan penyebab kenapa fenomena ini terjadi.
Di dalam tulisan ini, saya akan menguraikan kondisi prooerty di Bali dengan meminjam pendekatan dari teori neoliberalisme-nya David Harvey dan sebagai penyanding juga meninjaunya dari buku tebal karya Thomas Piketty yang berjudul Capital in the 21st Century.
Saya, yang mengenyam pendidikan di bidang arsitektur dan urban desain serta menekuni profesi sebagai dosen, mungkin tidak cukup piawai dalam mengaitkan teori-teori ekonomi dan geografi global dengan kondisi property di Bali. Tetapi, tidak ada salahnya kita coba.
Ramainya agen property internasional yang beroperasi di Bali saat ini merupakan gejala kuat bahwa pasar jual beli lahan dan bangunan di pulau resort ini sangat menguntungkan. Jika kita mengetik kata ‘How to invest in Bali’ di mesin pencari internet, maka segera muncul ribuan entry dan dalam beberapa saat laman social media kita akan menyajikan tawaran-tawaran property di Bali.
Indonesia saat ini memang sangat gencar mengundang investasi swasta internasional untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Banyak langkah yang telah diambil di antaranya deregulasi keuangan, privatisasi layanan publik, serta liberalisasi perdagangan global yang mengarah pada pengurangan peran negara dalam mengatur pasar. Harvey berargumen bahwa kondisi ini adalah bagian dari proyek politik-ekonomi glonal di mana negara dibuat bergantung kepada kekuatan kapital global dengan memfasilitasi akumulasi kapital di tangan sekelompok elit global.
Kuasa neoliberalisme dan kapitalisme dalam ekonomi global
Dalam bukunya yang terbit tahun 2012 berjudul Rebel Cities, Harvey menyebutkan bahwa paham neoliberalisme ekonomi ini menggiring property, terutama rumah tinggal, tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan primer melainkan sebagai instrument untuk menggelembungkan keuntungan para pemilik modal. Akibatnya, lahan-lahan yang awalnya dikelola untuk kesejahteraan publik oleh negara saat ini diperlakukan sebagai asset finansial. Ia bersalin rupa sebagai saham atau obligasi di pasar global.
Lahan-lahan, apartment, villa, atau jenis property lainnya dimiliki bukan untuk tujuan dihuni tetapi untuk menyimpan uang, menahannya beberapa waktu, dan menjualnya kembali saat harga sudah melambung tinggi. Di mana salahnya? Sepertinya hal ini biasa saja tetapi justru di balik cara kerja sederhana ini terkandung potensi bahaya di mana pasar lahan difokuskan untuk melayani kapital besar di pasar global dan tidak ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar masayarakat. Ini menyebabkan ketimpangan perumahan yang tinggi.
Kekuatan kapital property global ini bisa menyebabkan terjadinya penyingkiran masyarakat lokal atau yang umum disebut sebagai gentrifikasi. Dengan kemampuannya yang tidak mampu ditandingi oleh orang biasa, ia bisa mengambilalih lahan-lahan yang awalnya milik penduduk. Dalam beberapa kasus, ia bahkan bisa ’memaksa’ pemerintah untuk memberi ruang bagi beroperasinya bisnis propertynya.
Kita mungkin belum lupa dengan kasus pagar laut di beberapa wilayah di Indonesia termasuk yang ada di Pulau Serangan yang menyebabkan masyarakat nelayan ‘terusir’ dari tempat biasanya mencari ikan.
Thomas Piketty berargumen bahwa di bawah kapitalisme, ketimpangan kekayaan dan kesejahteraan akan selalu naik. Kelompok pemodal akan terus menumpuk kekayaannya sementara yang miskin akan semakin tertekan. Ini terjadi karena return on investment (ROI), di mana kelompok pemodal berkuasa, selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (G), di mana kesejahteraan penduduk berada.
Dalam kasus property, para pemilik modal akan terus menggunakannya sebagai mesin akumulasi kekayaan. Di sini, uang mereka berkembang jauh lebih cepat daripada pendapatan mayoritas orang yang hanya mengandalkan kerja.
Return on Investment vs Pertumbuhan Ekonomi di Bali
Jika kita menggunakan pandangan Harvey dan Piketty dalam pasar property di Bali, maka akan terlihat jelas alasan kenapa muncul keluahan soal orang Bali yang tidak mampu memiliki lahan di Bali.
Daya tarik Bali tak bisa dipungkiri lagi bersumber dari bisnis pariwisata. Sejak mulai diromantisasi pada awal tahun 1930-an, Bali dikenal sebagai tempat eksotis di dunia. Pembukaannya bagi investor global sendiri dimulai sejak masa orde baru dengan disusunnya Bali Tourism Masterplan. Beberapa kali mengalami guncangan, pariwisata bukannya melemah tetapi justru kini menjadi semakin kuat. Kebangkitannya yang sangat cepat pasca pandemi Covid-19 membuktikan bahwa pariwisata memiliki daya lenting yang luar biasa.
Bisnis property menjadi salah satu yang paling bergairah dengan Tingkat pengembalian modal tahunan bagi property yang bekerja secara harian, menurut beberapa situs jual beli property, sebesar 14%-25%. Sementara untuk property yang bekerja dalam jangka waktu yang lebih Panjang memiliki ROI tahunan antara 6% dan 10%. Kedua angka ini di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Bali belum pernah menyentuh angka 6%. Pertumbuhan tertinggi ada di angka 5,98%.
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa property merupakan instrumen pengembali modal yang handal di Bali. Tingginya ROI ini nyatanya didorong oleh terus meningkatnya permintaan pasar pariwisata. Dari sini kita bisa meraba-raba alasan kenapa angka kunjungan pariwisata harus terus dijaga naik untuk mempertahankan ROI tadi. Karena, semakin banyak kunjungan akan membutuhkan semakin banyak property dalam berbagai fungsi untuk melayani para pelancong tersebut. David Harvey menyebutnya sebagai ‚spatial fix, atau usaha untuk terus memodifikasi geografi ekonomi kapitalisme.
Angka-angka ROI yang terus berada di atas angka pertumbuhan ekonomi, jumlah kunjungan yang terus dijaga agar meningkat bisa jadi dimaksudkan untuk menjaga sentimen pasar global.
Penurunan jumlah kunjungan bisa membuat investor global memindahkan modalnya ke daerah yang berada di negara lain. Disini, pendapat bahwa Bali sudah mengalami overtourism selalu dimentahkan. Argumen-argumen baru yang dibangun adalah bahwa fenomena yang terjadi adalah over-concentration dan dilanjutkan dengan argumen perlunya penyebaran atau perluasan jangkauan wisatawan. Ini memberi peluang semakin jauhnya kapital global milik segelintir elit untuk masuk ke ruang-ruang masyarakat melalui pembelian lahan-lahan milik penduduk. Accumulation by dispossession dimana lahan-lahan milik negara, masyarakat termasuk lahan adat bisa dikuasai melalui skema hukum tertentu, tekanan ekonomi atau privatisasi.
Di tangan penguasa-penguasa lahan baru ini, ekonomi Bali bisa jadi akan tumbuh positif. Tetapi pertumbuhan ini juga akan mendorong peningkatan ROI yang membuat lahan-lahan di Bali semakin menarik untuk investor asing. Alih kepemilikan akan terjadi, awalnya dari masyarakat lokal kepada investor lalu dilanjutkan dari investor ke investor lain saat harga sudah semakin meningkat.
Beberapa akibat yang bisa muncul dari fenomena ini tentu saja adalah semakin tersingkirnya masyarakat lokal dari lahan-lahan di Bali. Mereka yang sudah menjual lahannya tidak akan mampu membeli kembali karena penguasaan ada di tangan pemodal yang sangat kuat. Di sinilah muncul kekhawatiran seperti yang diungkapkan oleh judul tulisan ini.
Selain ketidakmampuan generasi muda untuk membeli lahan, seberapa keraspun ia bekerja, ada hal lain yang juga bisa terjadi. Erosi kedaulatan adat adaah salah satunya yang bisa terjadi terutama jika lahan-lahan adat dialihfungsikan dengan cara dijual atau disewakan kepada investor. Tanah-tanah garapan yang semestinya bisa dikerjakan secara mandiri kini dimiliki dan dikelola oleh orang luar. Sebagian masyarakat mungkin memperoleh pekerjaan dari para investor tetapi mereka tidak lagi berdaulat malah hidupnya tergantung dari kebaikhatian para pemilik modal yang mempekerjakan mereka.
Dari sisi pengelolaan ruang tentu terjadi pergeseran. Kawasan-kawasan pertanian beralih fungsi dari awalnya memproduksi beras dan komoditas pertanian lainnya untuk kebutuhan masyarakat lokal kini berganti fasilitas yang berfungsi untuk melayani masyarakat global. Ini menciptakan ketimpangan aset. Ketimpangan ini tercipta setelah property beralih kepemilikan.
Kepastian jaminan hukum dan peralihan kepemilikan property
Derasnya alih kepemilikan yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini, jika kita sedikit lebih jeli melihat, ada kemungkinan disebabkan juga oleh program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Program ini sebenarnya memiliki niat baik agar masyarakat mempunyai kepastian hukum atas lahan yang dikuasainya. Dalam praktiknya, PTSL menjadi percepatan sertifikasi tanah di seluruh Indonesia dan diharapkan bisa mengurangi konflik agraria.
Akan tetapi, di sisi lain, kepastian hukum ini membuat sertifikat legal yang dimiliki bisa dijadikan jaminan untuk meminjam uang. Yang paling besar pengaruhnya adalah jaminan hukum yang muncul dari sertifikasi lahan ini memudahkan investor untuk masuk dan membeli lahan. Ini terjadi karena dengan status hukum yang jelas, maka tanah bisa menjadi instrumen investasi yang lebih aman dan bebas sengketa keluarga atau adat.
Godaan besar yang muncul untuk menjual lahan setelah terbitnya sertifikat sulit dihindari terutama saat tekanan ekonomi semakin berat. Harga tinggi yang ditawarkan oleh developer mungkin tidak pernah terbayangkan sebelum lahan tersebut memperoleh kepastian hukum. Kemudahan alih kepemilikan ini seringkali tidak mempertimbangkan fungsi budaya atau ekologi dari lahan. Kondisi ini memberi keuntungan jangka Panjang bagi pemilik baru sementara pemilik lama hanya memperoleh keuntungan jangka pendek.
Kepastian hukum yang muncul setelah program PTSL membuat lahan-lahan di Bali menjadi semakin likuid dan mudah untuk dikuasai. Kepastian hukum dari sertifikat menjadi ruang-ruang baru bagi bekerjanya sirkuit kapital. Lama kelamaan, aset-aset produktif akan semakin terkonsentrasi pada sekelompok orang yang bukan penduduk lokal. Ini semakin memperkuat posisi pemodal sekaligus melemahkan posisi masyarakat umum termasuk lembaga-lembaga adat yang menaungi mereka.
Apa tindakan yang bisa dilakukan? Jika para pemilik modal bekerja dengan cara mengakuisisi kepemilikan, maka hal ini harus dihambat. Caranya adalah dengan pembatasan ketat terhadap konversi lahan produktif. Kejadian ditutupnya ParQ di Ubud bisa menjadi titik balik yang baik dimana investor yang melanggar zona perlindungan lapan pertanian berkelanjutan ditindak tegas. Penindakan tegas inilah kata kuncinya. Ini merupakan bentuk intervensi negara untuk menahan konsentrasi kapital di tangan segelintir orang demi membela kepantingan yang lebih besar.
Tapi seberapa kuat negara menghadapi kekuatan global ini? Jawabannya adalah harus kuat karena negara menjadi harapan satu-satunya saat ini. Berikutnya, di level komunal, misalnya desa adat, yang memiliki kekuatan untuk mengimbangi kapital juga perlu melakukan tindakan misalnya pembuatan awig-awig dengan perarem yang menjamin setiap warganya mendapatkan hak atas lahan. Berikutnya, di level perseorangan, terbitnya kepastian hukum harus disyukuri sebagai bagian dari upaya negara melindungi hak warga tetapi jangan sampai hal ini disalahguakan untuk kepentingan memperoleh keuntungan jangka pendek. Jika tidak, maka judul tulisan ini akan menjadi kenyataan. [T]
Penulis: Gede Maha Putra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel tentang ARSITEKTUR atau artikel lain dari penulis GEDE MAHA PUTRA