SUDAH genap empat bulan saya tinggal di Pulau Bali. Selama empat bulan juga saya membuktikan kekuatan magis yang membuat begitu banyak orang ingin datang, kembali lagi, bahkan menetap disini. Pengalaman ini cukup otentik, berhubung saya tinggal di Bali Utara, tepatnya di Kabupaten Buleleng, tempat yang jauh dari ekspektasi umum tentang Pulau Dewata. Banyak saya mendengar bahwa di tempat inilah kita bisa menemekan Bali yang sebenarnya, yang belum banyak dipengaruhi industri pariwisata.
Selama empat bulan pula saya mengamati dan mempelajari apa pun yang ada di sekitar, hal yang lumrah dilakukan oleh pendatang sebagai upaya beradaptasi dengan lingkungan baru. Saya juga belajar dari pengamatan, analisa, dan penelitian tentang Bali yang telah dilakukan oleh begitu banyak dari mereka yang mencintai pulau ini. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah penelitian tentang perempuan Bali dalam konteks global oleh Irina Savu Cristea, kandidat Doktor dari Freie Universität Berlin, Jerman.
Data penelitian selama enam tahun yang mencapai 2000 halaman ia rangkum dan paparkan dalam ruang diskusi yang disediakan oleh Komunitas Mahima di Singaraja, Senin malam, 3 Maret 2025.

Irina Savu Cristea saat menyampaikan hasil penelitiannya dalam diskusi di Komunitas Mahima, Singaraja | Foto: tatkala.co/Rusdy
Saya adalah satu dari sejumlah orang yang begitu serius bergabung dalam diskusi itu. Sejak awal diskusi, saya merasa bahwa saya dan Irina punya kesamaan latar belakang pemikiran, meskipun hanya disimpulkan dari sticker semangka yang menempel pada gawainya. Sticker yang sama menempel juga pada botol minumsaya.
Irina menggunakan pendekatan feminisme dalam penelitian dan analisanya. Pendekatan ini melelahkan karena harus dilakukan dengan penuh kesadaran diri akan emosi yang terlibat dalam penelitian.
Selain itu, dalam penelitian-penelitian antropologi, peneliti tidak bisa memilih untuk tidak ikut emosional terhadap apa yang dialami para kolaborator penelitian (sebutan baru untuk informan atau narasumber penelitian). Apalagi dengan pilihan metode sampai topik penelitian yang seringkali melawan status quo, pendekatan feminisme semakin banyak menguras energi peneliti.
Seperti itulah yang terjadi pada Irina. Penelitiannya mengungkapkan kenyataan yang tidak disadari, atau mungkin dihindari karena bisa mengganggu kenyamanan di dalam sistem yang sedang berlangsung.
Gabungan antara pengamatan terbatas dan data penelitian Irina mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa di balik eksotisme Pulau Bali, ada perempuan-perempuan yang bekerja keras menopang adat, tradisi, serta budaya. Tapi Irina juga dengan cermat mengingatkan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi pada perempuan Bali saja. Pemerintahan Orde Baru menormalisasi hal serupa melalui ideologi pembangunan yang meletakkan tanggung jawab pembentukan bangsa pada pundak perempuan Indonesia.
Perempuan ideal adalah perempuan yang menjaga keharmonisan keluarga, menjadi pendamping yang baik untuk suaminya, mendidik anak-anaknya—bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara. Khususnya di Bali, perempuan juga bertanggung jawab atas keberlangsungan adat, tradisi, juga budaya.
Dari penelitiannya, Irina menemukan bahwa perempuan memiliki pekerjaan emosional yang tinggi, tanpa jaminan libur atau cuti. Ketika perempuan Bali menjadi seorang istri, komitmen sepenuhnya adalah pada hal-hal lain di luar diri.

Saya (penulis) saat bertanya kepada Irina dalam diskusi di Komunitas Mahima | Foto: tatkala.co/Rusdy
Sebagai perempuan—sejak kecil, kemudian remaja, lalu dewasa—seseorang harus melatih diri untuk mengemban tugas yang telah ditentukan berdasarkan jenis kelaminnya bahkan sejak saat sebelum ia lahir. Tugas utama sekaligus penyempurna bagi perempuan adalah menjadi seorang istri dan ibu. Kemudian, sebagai seorang istri (dan ibu), perempuan harus peka terhadap kebutuhan dan perasaan semua orang.
Lalu bagaimana dengan perasaan mereka sendiri? Apa yang terjadi ketika perempuan tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan batinnya karena terlalu sibuk menjaga keharmonisan keluarga?
Ketika kebutuhan batin tidak terpenuhi, seseorang akan menderita karena kesepian. Padahal, menurut Erich Fromm dalam buku fenomenalnya The Art of Loving (re: Seni Mencintai), manusia paling takut dengan keterasingan yang menyebabkan kesepian. Oleh karena itu, sejak dulu manusia selalu berusaha mengatasinya. Salah satu cara untuk melampaui kehidupan individual adalah dengan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Namun, Fromm juga mengingatkan bahwa manusia tetap butuh menjaga keutuhan diri. Menjadi satu bukan berarti harus sama dalam segala aspek. Ada motivasi, aspirasi, dan emosi yang unik di dalam diri setiap individu.
Tidak adanya sarana mengekspresikan diri membuat seseorang tetap terasing dan merasa kesepian. Di sisi lain, tidak ada mata pelajaran, apalagi mata kuliah, untuk mengatasi keterasingan. Akhirnya, banyak yang terjebak pada keyakinan bahwa solusinya adalah menjadi sama dengan yang lain.
Dalam konteks masyarakat modern, mengikuti tren dan berperilaku konsumptif adalah jalan tol menjadi bagian dari sesuatu yang lebih dari diri sendiri. Mengikuti tren menjadi solusi cepat mengisi kekosongan hati, serta memenuhi kebutuhan untuk menyalurkan motivasi, aspirasi, dan emosi yang tidak diberikan ruang dalam konstruksi sosial yang ada. Apapun yang terjadi, perempuan harus selalu kuat dan tersenyum, harus menaruh prioritas pada kebaikan bersama—kebaikan keluarga, masyarakat, dan bahkan negara.
Saya kemudian teringat pada fenomena unik yang saya saksikan di Bali: dimana tren begitu lekat pada keseharian perempuan. Saya melihat ini, pertama, dari keseragaman gaya berbusana perempuan muda di Singaraja. Saking seragamnya, saya menduga hampir semua (kalau bukan semua) perempuan muda di Bali punya paling tidak satu atasan croptop warna abu atau coklat mudadi dalam lemarinya. Selain warnanya, padu padan celana, tas, dan alas kaki yang juga seragam.
Fenomena ini bisa juga kita saksikan di jalanan yang telah ramai dilalui motor keluaran terbaru Yamaha tipe Filano. Hanya dalam waktu 4 bulan, jumlah motor Yamaha Filano dengan warna-warna pastel lembut meningkat drastis—pengendaranya mayoritas perempuan. Selain itu, pada tubuhnya pun perempuan mengamalkan tren; yaitu dengan penggunaan filter kamera. Filter-filter ini biasanya memberikan efek lebih cerah, halus, dan glowing, dengan warna nuansa warna pastel atau soft tone. Mengikuti tren menjadi jalan pintas mengaktualisasikan diri dan merasa percaya diri.

Diskusi yang hangat di Komunitas Mahima | Foto: tatkala.co/Rusdy
Sebenarnya, keterasingan akibat tuntutan peran berbasis gender bukan pengalaman eksklusif perempuan Bali saja. Hal yang sama dialami oleh hampir semua perempuan di dunia—tanpa batasan ras, etnis, apalagi agama. Hidup perempuan dipenuhi dengan perjuangan melawan penekanan terhadap eksistensinya sebagai seorang manusia yang unik, yang punya jati diri. Perempuan harus kuat apapun yang terjadi. Sehingga dalam rangka menjaga kewarasan, perempuan mengisi kekosongan hati dengan mengikuti tren.
Di era over production dan over consumption ini, tren berganti secara cepat. Mengikutinya hanya akan menjebak kita dalam lingkaran keterasingan tanpa henti. Sebab, tren adalah sesuatu yang berada di luar diri. Mencapai tujuan yang berasal dari luar membuat seseorang lupa akan motivasi yang ada dalam dirinya, sehingga sulit untuk merasa cukup.
Oleh karena itu, mengikuti tren hanya akan menjadi solusi yang semu. Perempuan akan terus merasa terasing, mengingat sumber dari rasa keterasingan itu tetap ada, dan berdiri kokoh. Pertama, perempuan diberikan tugas yang jauh lebih berat dari laki-laki. Kedua, perempuan tidak punya kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Ketiga, perempuan tidak mendapatkan hak dan akses ekspresi di ruang publik. Ini merupakan permasalahan sistemik dan tidak ada solusi instan dalam penyelesaiannya.
Bagi golongan tertindas di mana pun, pendidikan adalah jalan pembebasan. Pendidikan mampu membuka imajinasi perempuan tentang kemungkinan-kemungkinan lain dalam hidup, ketika nasib telah lebih dulu ditentukan oleh semua yang berada di luar dirinya.
Pendidikan memberikan jalan bagi perempuan untuk meraih kuasa penuh terhadap tubuhnya. Pendidikan juga yang mampu menstimulus kreatifitas dalam menemukan cara-cara berekspresi; sehingga percaya diri dan aktualisasi diri tidak perlu diraih dengan cara ikut-ikutan. [T]
Penulis: J. Savitri
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: