MUNGKIN judul artikel ini terkesan terlalu berlebihan dan mengumbar sebuah utopia belaka. Namun bagi penulis upaya untuk merawat harapan menjadi penting ketika kita tahu tak ada pilihan yang lebih baik dari hanya sekedar berpasrah pada keadaan.
Melihat seni rupa Bali ke belakang akan tampak satu tantangan tersendiri, ketika kita merunut kompleksitas dan carut-marut tegangan antara tradisi dan modernitas. Dan, itu adalah PR yang tidak bisa dikerjakan dalam semalam.

Karya Valasara pada pemran seni rupa REFLEXIVITY : Post Tradition In Balinese Contemporary Art di Lanö Contemporary Art Gallery
Ketika berbicara mengenai sejarah modern seni rupa Indonesia kita tak bisa melepaskan peran Yogyakarta dan Bandung, maupun Jakarta, sebagai pusat pemerintahan, dalam membentuk batu kontruksi untuk menasionalkan beberapa gerakan serta pemikiran yang hadir dalam satu abad terakhir. Dari Raden Saleh dan Mooi Indie, Seni Kerakyatan milik persagi dan lalu disambut Gerakan Seni Rupa Baru pada dekade 70-an, secara runut memberikan gambaran bagaimana seni lukis Indonesia dapat terbentuk.
Lalu, di manakah posisi Bali, dalam konteks ini sebagai satu bagian dari pembacaan seni rupa Indonesia?
Kita tahu ada Sanggar Dewata Indonesia yang getol memproduksi seniman-seniman papan atas sekelas Made Wianta, Nyoman Gunarsa ataupun Wayan Sika. Namun bisa dilihat fragmentasi SDI tidak kurang sebagai wadah seniman Bali yang merantau dan mencari oase ke-senirupa-an di Yogyakarta, tak cukup untuk memberi ruang yang jelas bagi Bali agar bisa terbaca sebagai ekosistem mandiri yang terkoneksi dengan seni rupa Indonesia juga.
Bali seakan menjadi anomali yang bergerak dan memiliki sejarah seni rupanya sendiri, seakan kompleksitas pemikiran dan suara artistik yang Bali punyai tak cukup terbaca dan dibahas bagaimana keberperanannya dalam skena seni rupa Indonesia.
Post tradisi sebenarnya sudah cukup lama digaungkan sebagai sebuah bentuk pemikiran namun dalam konteks Bali, hal itu kemudian digunakan kembali untuk melihat bagaimana hubungan kondisional antara modernitas yang di pengaruhi oleh tradisi mapun sebaliknya, menjadi peristiwa yang saling tarik menarik baik di Bali ataupun tempat lain di Indonesia.
Hal itulah yang coba dipantik melalui diskusi dan project panjang yang dilakukan oleh Lanö Art Project yang kini tengah membuka ruang baru bernama Lanö Contemporary Art Gallery.


Suasana diskusi Post Tradii serangkaian pameran seni rupa bertajuk REFLEXIVITY : Post Tradition In Balinese Contemporary Art di Lanö Contemporary Art Gallery
Diskusi dilakukan 23 Februari 2025 serangkaian pameran seni rupa bertajuk REFLEXIVITY : Post Tradition In Balinese Contemporary Art di Lanö Contemporary Art Gallery. Pameran berlangsung hingga 25 Maret 2025.
Diskusi yang hangat dan cukup cair diadakan dalam rangka opening pertama gallery ini. Dengan mengangkat post tradisi sebagai wacana utama, diskusi ini mengundang beberapa pihak juga yang cukup penting dalam perannya mewartakan seni rupa bali.
Beberapa pembicara yang dimaksud tak lain kurator serta penulis Seriyoga Parta yang mewakili Gurat Institute, lalu Asmudjo Jono Irianto selaku kurator pameran, serta Kemalezedine sebagai seniman yang mewakili Lanö Gallery.
Pembahasan yang saling tumpang tindih masih bisa terlihat di sini, namun dalam artian positif sebagai sebuah kesadaran bahwa pendefenisian terkait post tradisi masih sangat terbuka untuk dimaknai ulang, dan bersifat open ending, memberi berbagai kemungkinan untuk melengkapi celah-celah kosong yang ditinggalkan.




Dari atas ke bawah: karya Nyoman Arisana, Kadek Dwi Darmawan, I Wayan Upadana, dan Kemalezedine pada pameran seni rupa bertajuk REFLEXIVITY : Post Tradition In Balinese Contemporary Art di Lanö Contemporary Art Gallery
Di tengah kerumunan pengunjung diskusi, kurator beken Farah Wardani memberikan tanggapan yang cukup kritis untuk mencoba menengahkan dan mengajak kita untuk berpikir ulang bagaimana post tradisi ini tidak hanya akan menjadi trend belaka saja—yang kemudian akan lenyap tersapu waktu. Namun lebih bagaimana wacana post tradisi yang coba digaungkan ini bisa tetap ajeg sebagai sebuah diskursus publik yang bisa diakses dan berjangka waktu panjang.
Sehingga buah pemikiran dari wacana tersebut akan menjadi matang dengan banyaknya masukan dan diskusi yang sehat. Tak hanya berakhir sebagai sebuah trend yang pada akhirnya hanya berimplikasi pada pasar saja.
Mendefinisikan wacana post tradisi mungkin bukan pekerjaan yang akan selesai dalam satu atau dua tahun, namun setidaknya, penulis dapat melihat titik balik untuk Bali bisa di perhitungkan dalam pembacaan peta seni rupa Indonesia. Bukan pekerjaan Lanö ataupun Gurat saja namun pekerjaan kita bersama sebagai lapisan ekosistem seni yang ada di Bali.
Panjang umur seni rupa…. [T]
Penulis: Made Chandra
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA