SAYA tiba-tiba teringat A. Rafiq, penyanyi dangdut yang, bagi saya, legendaris itu. Ia memang sudah meninggal, namun saya masih mengingatnya dengan lekat karena lirik lagu-lagunya yang hits pada masanya.
Kematiannya yang tiba-tiba, membuat khalayak pecinta dangdut seperti saya menggali liang duka. Masih tergiang-ngiang di telinga, alunan tabla dengan beberapa bait lirik manis miliknya yang lahir pada era musik dangdut setelah 1970-an.
Musik dangdut yang merupakan kesenian kontemporer di Indonesia berkembang dan terus berkembang. Di jaman 1960-an, banyak unsur mulai dari gambus, degung, keroncong, dan langgam yang mempengaruhi musik Melayu sehingga terkenal dengan sebutan musik dangdut.
Sebutan musik dangdut pun sebenarnya merupakan onomatapea yang dihasilkan dari alat musik tabla atau gendang. Irama dangdut yang selanjutnya identik dengan seni musik kalangan kelas bawah membuat aliran musik dangdut ini menjadi cerminan aspirasi dari kalangan masyarakat kelas bawah itu sendiri yang mempunyai ciri khas berupa kelugasan dan kesederhanaan.
Begitu pun lirik dalam musik danngdut mengalami perkembangan. Si pencipta lirik memahami betul cara menempatkan rima untuk memperkuat rancang-bangun keseluruhan karya musiknya. Satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa Lirik dangdut di jaman A Rafiq ditulis dengan menaati aturan bahasa indonesia yang dianggap baik dan benar (baku). Kata-katanya formal dan cenderung “dewasa” serta mengajak merenung, seperti kata-kata dalam puisi.
Misalnya,
Jangan-jangan samakan, dia dengan yang lain
Bibirnya yang merah, dan senyum yang menawan
Rambutnya terurai hitam dan bergelombang
Dia lah milikku, tempat berkasih sayang
Milikku seorang
Dalam lirik itu, terlihat ada upaya untuk “memperindah”, melalui bahasa, apa yang dalam kenyataannya sudah indah.
Berbeda dengan lirik dangdut jaman sekarang yang cenderung mengadopsi bahasa kolokial atau bahasa percakapan sehari-hari, sehingga terkesan informal, cenderung berkompromi dengan bahasa dan tema yang sedang populer, dan mengajak bersenang-senang.
Dengan lirik semacam itu, dangdut jaman dulu mungkin dapat dianggap sebagai bagian dari nation building, pembangunan wawasan kebangsaan, melalui pengolahan bahasa dalam lirik-liriknya. Jadi, layak dikatakan bahwa dangdut adalah bagian penting dalam pembentukan budaya indonesia.
Dengan sifatnya (di jaman dulu) yang semacam itu pula, dangdut memperlihatkan gejala yang sama dengan upaya-upaya nation building yang lain seperti pengajaran sastra dan kesenian di sekolah, atau ajakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dengan demikian, dangdut mungkin juga dapat dikatakan sebagai sebuah upaya intelektual, tidak berhenti semata-mata sebagai objek kesenangan atau hiburan (entertainment). Karya dangdut yang baik dari segi musikal dan lirik mempengaruhi alam bawah sadar kolektif pendengarnya. Sehingga, mereka tumbuh dengan ingatan tentang lirik dangdut yang formal, dewasa, dan mengajak merenung.
Bahkan pada tema-tema yang mengajak pendengar untuk “bergembira” pun, ketaatan pada ragam bahasa formal pun masih dijaga. Tetapi ketaatan ini mungkin juga disebabkan tuntutan teknis: agar dapat dipahami sebanyak mungkin oleh pendengar di indonesia, yang berbicara dalam berbagai bahasa daerah, lirik dangdut harus dibuat sedemikian rupa. Untuk itu diperlukan satu bahasa yang dipahami oleh sebanyak mungkin orang, yaitu bahasa Indonesia. Dan bahasa Indonesia ini harus diungkapkan dengan sejernih mungkin agar bisa dipahami. Ragam bahasa formal atau baku memungkinkan semua orang untuk dapat menangkap makna lirik dangdut sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam bahasa indonesia. [T]
Penulis: Pranita Dewi
Editor: Adnyana Ole