29 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Tajen”: Dari I Pudak, Marakata, hingga Geertz

I Wayan WestabyI Wayan Westa
November 8, 2024
inEsai
“Tajen”: Dari I Pudak, Marakata, hingga Geertz

I Wayan Westa

//Saya belum pernah melihat keputusan seorang wasit (saya) dipersoalkan oleh orang mana pun, bahkan oleh orang-orang kalah yang lebih merasa kecewa. Memang saya tak pernah melihat ketidaksetujuan sama sekali secara terang-terangan.”// — Clifford Geertz

I Pudak, si penjudi itu, akhirnya menyemblih  Ni Tuung Kuning, anak perempuan tunggalnya. Pudak tak menghendaki anak itu lahir perempuan. Sejak awal, kala istrinya bunting, lelaki yang sering kalap ini berpesan pada sang istri. “Biniku, aku akan pergi jauh, berjudi. Kau tengah hamil tua. Beberapa hari lagi akan melahirkan. Pesanku padamu, jika anak itu lahir perempuan, jangan biarkan dia hidup. Cingcang dia, dagingnya jadikan makanan ayam aduanku. Aku benci anak perempuan.”

Ni Pudak menggigil ketakutan. Ia hanya bisa mengangguk, dan  menjawab pendek, “Ya, Bli”.

Beberapa hari setelah kepergian sang suami, I Pudak melahirkan anak perempuan. Mestinya sang ibu girang mendapat momongan. Kini ia justru bingung beraduk sedih. Tak mungkin dia  membunuh darah daging sendiri, sebagaimana pesan I Pudak, suaminya. Ia cuma  menetak ari-ari bayi itu untuk ayam-ayam jago si suami. Bayi yang diberi nama Ni Tuung Kuning ini lantas dititipkan di rumah sang nenek, hingga kelak ia remaja.

Suatu hari, I Pudak datang jua dari berjudi. Dengan mata merah,  muka panas menghitam karena ayam jagonya kalah di arena judi.  Ia lalu menghardik  kasar sang istri.

 “Kau sembunyikan di mana anakmu?”, usut I Pudak pada sang istri.

“Anak kita lahir perempuan Bli. Sudah saya cingcang untuk makanan ayam-ayam petarung itu,” Ni Pudak berolok-olok ketakutan. I Pudak manggut-manggut sedikit puas. Ia  percaya anaknya telah dibunuh.

Namun entah kenapa suatu hari, datang dari arena sambung ayam, salah satu ayam aduan berbulu ijo gading [hijau kekuningan] berkokok, sembari berucap layaknya  manusia. “Kukuruyuk, pêk-pêk-pêk,…… ari-ariné dogénan baanga, panakné kingsananga di  umah dadongné [Kukuruyuk, cuma ari-arinya saja dikasi, anaknya dititip di rumah neneknya,]” kokok si ijo gading, berkali-kali.

I Pudak curiga, darahnya memanas tiba-tiba. Ia tanya balik sang istri, sembari menodongkan caluk di leher. Sang istri gemetar, mengaku anaknya memang dititip di rumah ibu mertua. Kini si anak sudah gede, cantik nan ayu, diberi nama Ni Tuung Kuning.

Kendati cantik, toh I Pudak tak kuasa mereda kebenciannya pada anak perempuan. Sebagai anak, Ni Tuung Kuning sadar, kematian segara menjemput, dibunuh ayah sendiri. Ia berserah pasrah, tak ada siapa pun yang kuasa menyelamatkan dirinya dari pancungan maut ini. Entah waktu akan menyelamatkannya.

 “Ya, tunggu sebentar Bapa, ijinkan saya membersihkan diri dulu. Mohon ijin sembahyang di sanggah sebentar. Setelah itu bunuhlah anakmu! Kasi ayam-ayam itu makan daging saya!”, pinta Ni Tuung Kuning pada sang ayah.

Tak seberapa Lama Ni Tuung Kuning, dengan busana serba kuning menghadap ayahnya. “Silakan Bapa, bunuhlah saya hari ini. Saya tidak menyesal karenanya.”

I Pudak menyambut permintaan anaknya, mengajak  Ni Tuung Kuning masuk hutan. Tak ada sepatah kata pun terucap saat ayah dan anak ini berjalan menyusuri hutan. Ni Tuung Kuning malah merasa bahagia mati di tangan sang ayah sendiri. Bila toh itu terjadi.

Sembari mengacungkan klewang, I Pudak berkata pada sang anak, “Tuung Kuning, berhenti di sini. Maafkan Bapa, ini hari terakhir  engkau  bertemu ayah.  Bersiaplah, longokkan sedikit lehermu, pejamkan matamu,”  kata terakhir Pan Pudak pada sang anak.

Namun saat bersamaan, secepat kilat sekawanan bidadari turun dari langit, menukar tubuh Ni Tuung Kuning dengan gedebong (batang pisang). Ni Tuung Kuning diterbangkan ke surga. I Pudak terhenyak, menangis tersedu. Ia menyesal kehilangan anak perempuan satu-satunya, menderita sepanjang hayat.

Di Bali, mungkin juga di Nusantara ini banyak kisah penjudi yang mengalami nasib naas sebagaimana Pan Tuung Kuning. Kisah itu terekam dalam sajak, dalam dongeng-dongeng, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang yang kalah berjudi misalnya, tak jarang mengeluarkan umpatan kotor, mencaci bhatara kawitan, malah ada yang membakar sanggah kamulan. Dan kemarahan bisa dilampiaskan kepada siapa  saja.

Maka, penggubah dongeng Ni Tuung Kuning tak pelak seperti mengingatkan zaman dan generasi Bali sepanjang hayat. Betapa  judi itu tak elok bagi kehidupan. Cerita itu seperti menjadi “suara zaman” sikap bersama manusia Bali yang menampik tajen sebagai judi. Suara-suara zaman itu tak tunggal, terus bersambung menjadi banyak kisah lain, namun pesannya tetap sama: bahwa judi tak bisa mengubah nasib, usaha dan kerja keras tetap adalah yang paling layak untuk yang berani hidup.

Judi adalah candu dalam bentuk yang lain. Mahabharata, epos besar sepanjang zaman menyuratkan candu ini dengan amat tragis, hingga Yudistira mengorbankan semuanya; istri, saudara, kerajaan, dan kehormatan lainnya. Lalu judi  dengan mudah mengubah perangai orang baik sontak jadi penjahat,  pemalas penuh tipu daya. Bukankah gara-gara bertaruh di meja judi, Pandawa harus rela dibuang ke tengah hutan selama 12 tahun. Begitu Bharatayuddha mengisahkannya.

Siapa saja yang sempat membaca babad-babad Bali tentu ingat kisah Manik Angkeran, putra seorang suci dari Jawa Timur, bernama Mpu Siddhimantra. Sang Mpu yang paham sasmita langit dan paham bahasa binatang  punya sahabat baik di Besakih. Namanya Naga Basuki, ular besar yang membelit erat kaki Gunung Agung. Naga Basuki berstana di sebuah tempat yang kini lebih terkenal dengan nama Goa Raja, di tebing sedikit curam di sisi timur Pura Ulun Kulkul. Di tempat inilah  Sang Mpu sering membawakan Naga  Basuki, sahabatnya, berupa makanan madu dan susu, setidaknya begitu dikisahkan dalam babad Manik Angkeran.

Suatu hari, Mpu Siddhimantra merasa kurang enak badan. Ia tidak bisa menemui sahabatnya. Sang Mpu mengutus  putranya, Manik Angkeran. Ia dikenal sebagai penggila sambung ayam, nyaris jarang pulang kecuali duitnya habis. Sembari menyelip genta, Manik Angkeran membawa susu dan madu. Tak lupa memperkenalkan diri, bahwa dia putra Mpu Sidhimantra. Naga Basuki senang tiada kepalang.

Usai menikmati madu dan susu, titipan sang Mpu, Naga Basuki mempersilakan Manik Angkeran meminta apa saja darinya sebagai bekal pulang ke Jawa. Manik Angkeran menolak, ia tak tahu hadiah apa yang hendak dia minta. Sang Naga Basuki melongok ke belakang. Namun begitu melihat kemilau emas yang ada di ekor Naga Basuki, Manik Angkeran mendadak kalap. Ia memotong ekor naga yang penuh kemilau emas dan permata itu. Ia tergoda, hendak cepat-cepat ke arena sambung ayam, mempertaruhkan emas dan permata itu arena judi.

Usai memotong ekor naga itu, Manik Angkeran lari  sekencang ia bisa. Naga Basuki murka.  Menjilat bekas  tapak-tapak kaki Manik Angkeran. Dalam  sekejap, Manik Angkeran lumat, tubuhnya angus terbakar. Tempat Manik Angkeran terbakar lidah api Sang Naga Basuki itulah konon kini dinamakan Alas Cemara Geseng.  Geseng  dalam bahasa Bali berarti terbakar, memang.

Di tanah Jawa Mpu Sidhimantra gundah, putra kesayangannya tak kunjung datang. Firasatnya mengisyaratkan sang putra tertimpa musibah. Sang Mpu pun berangkat ke Besakih. Dalam perjalanan dadapatinya Manik Angkeran telah menjadi abu. Sontak disadari, Sang Naga Basuki murka karena ulah Manik Angkeran. Sang Mpu berharaf maaf, memohon sang putra dihidupkan. Jika nanti hidup kembali, Angkeran akan diserahkan mengabdi pada Naga Basuki, menjadi menjaga sekaligus menjadi juru sapuh di Besakih. Manik Angkeran dimaafkan, ia dihidupkan kembali. Manik Angkeran tobat, berserah diri mengabdi pada Naga Basuki. Itulah kisah penjudi yang disadarkan tragik mengerikan, dibakar seekor naga, lalu dihidupkan kembali.

Di antara banyak kisah tragis perihal penjudi, Bagus Diarsa terbilang luar biasa. Bagus Diarsa sempat naik surga, bertemu Bhatara Siwa, berkat kejujuran dan ketulusikhlasan, serta laku olas asih-nya.

 Suatu hari ia pergi mengadu ayam, tapi lacur ia kalah terus. Sisa uang hanya cukup untuk membeli setekor bubur. Ia keluar arena judi, hendak melumat penat, menyeka peluh. Ia jongkok memesan setekor bubur. Begitu hendak menyuap, seorang tua korengan, dengan bau luka menyengat datang memelas, meminta bubur. Diarsa tak tega melihat orang tua lapar itu, lalu menyerahkan semua yang hendak disantapnya.

Tak puas hanya meminta bubur, orang tua bau ini malah memohon menginap di pondok Bagus Diarsa. Istri dan anak-anaknya menerima dengan lega hati. Subuh, orang tua ini terbangun, puas mendapat pelayanan tulus. Pengemis tua ini hendak minta diri, mau pulang ke pondoknya, dan berharap Ki Wiracita, anak kandung Bagus Diarsa bisa menemaninya. Dalam perjalanan orang tua pengemis ini menampakkan dirinya yang sejati. Dia-lah Bhatara Siwa.

Ketika seorang raja yang doyan tajen di negeri Diarsa tinggal, raja mewajibkan semua kapala keluarga membawa seekor ayam aduan ke arena tajen. Bagus Diarsa bingung, ia tak punya seekor ayam aduan.

 Suatu hari, raja yang saban hari menggelar tajen ini mengeluarkan ultimatum: yang tak membawa ayam aduan akan disembelih. Sembari gundah memikirkan hidupnya yang akan berakhir di tangan raja, Bagus Diarsa merunut jejak anaknya, ia berjalan ke arah timur laut. Mengalami sejumlah halangan dan godaan, mujizat membawa Bagus Diarsa  berjumpa sang anak di Surga Siwa. Ia  bertemu Bhatara Siwa.

Dari Bhatara Siwa, Bagus Diarsa mendapat anugerah seekor ayam aduan, untuk melawan ayam aduan sang raja. Tongkrongan ayam aduan sungguh tak meyakinkan. Bahkan terlihat sakit. Sang raja mencibir Bagus Diarsa, “Duh, Diarsa tak tahu malu dikau, membawa ayam sakit ke sini. “Ya, paduka, bila ayam ini kalah, hamba sanggup mati di tengah arena, bersabunglah dengan ayam hamba.”

Takdir naas tak bisa dihindari, di arena sambung ayam, jagoan sang raja tak bisa berkutik, sekali sambar, ayam sang raja langsung terkulai, kepala ayam  sang raja lepas dari badan, jatuh ke tanah di tengah arena. Yang lebih mengerikan, ayam ini menjadi beringas, menyambar sang raja yang tengah duduk, tepat di jatung raja taji menembus. Sang raja pun wafat. Karena kejujuran, kebaikan, dan sikap dermawan Bagus Diarsa, ia pun dinobatkan menjadi raja ─ tentu setelah ia bertemu Bhatara Siwa.

Banyak cerita dianggit, banyak mitos dan legenda dihadirkan bertujuan untuk memberi penyadaran, bahwa betapa bahayanya judi  dalam bentuk apapun. Bertaruh adalah kebiasaan-kebiasaan peradaban tua dunia, dari bentuknya yang paling kuna, adu ayam, adu sapi, bahkan adu manusia, sampai judi dadu yang menyengsarakan Pandawa dalam epos Mahabharata.

 Di Bali walau awalnya bukan judi, kini susah menyebut tajen itu bukan judi. Di sana orang-orang bertaruh untuk meraup menang, atau malah terjungkal dengan taruhan amat besar. Intinya, judi cenderung mengundang tamak.

Siapa pun yang bicara watak orang Bali, dan budaya orang Bali tak mungkin mengenyampingkan tajen sebagai kegemaran orang Bali. Menurut sejarawan dari Universitas Udayana, Anak Agung Putra Agung, dulu kekuasaan raja-raja bisal dilihat dari ayam-ayamnya, istri-istrinya, dan berapa banyak ia memiliki tukang kurung. Pendeknya, ayam-ayam itu ibarat istri kedua raja.

Maka dalam kehidupan sehari-hari orang Bali, ayam itu kadang menjadi semesta simbolik sejumlah kondisi hidup, menyangkut nasib baik dan nasib buruk. Selain membawa tuah misalnya, ayam aduan juga merupakan ekspresi kejantanan, keperkasaan. Seorang tukang debat yang dibuat tak berkutik di sidang besar, diibaratkan sebagai ayam yang terluka di leher. Ini penghinaan memalukan, tentu.

Seorang miskin yang hendak meniru perilaku orang kaya, sering dijuluki  sebagai: siap sangkur mabet jamprah. Begitu pula orang-orang yang selalu berjaya, menang dalam setiap pertempuran, kerap dijuluki sebagai “siap buruh”, jago yang tak terkalahkan. Dan pengecut yang lari menyelamatkan diri akan dianggap sebagai: be cundang idup, pecundang hidup.

Banyak karakter bisa diidentikkan dengan ayam jago dan babotoh. Mereka yang dalam suasana hati tiba-tiba bersorak dan bergembira, sering diidentikan dengan bebotoh menang. Atau sebaliknya, seorang yang sedang marah, meracau tak karuan diidentikkan dengan bebotoh kalah. Sementara bagi mereka yang hanya berani dalam lingkungan saja, tak segan dipanggi: kurungan batan jaka.

Sebagai ekspresi psiko-sosial, tajen menjadi semacam drama menegangkan, pertarungan nasib diantara kalah dan menang, gaduh penuh letupan emosi. Clifford Geertz, antropolog asal Amerika, boleh jadi benar manakala ia menulis, bahwa dalam sabungan ayam, manusia dan binatang, baik dan jahat, ego dan id, kekuatan kreatif kejantanan dirangsang  dan kekuatan destruktif kebinatangan diumbar. Di sana semua berpadu satu, dalam sebuah drama berdarah tentang kebencian, kekejaman, kekerasan, dan maut.

Walaupun tidak semua argumen Geertz layak diterima dalam menafsir kebudayaan Bali,  namun penulis buku Negara, The Theatre State in Bali Nineteenth-Century Bali 1980 ini mencatat dengan jujur, bahwa dalam sejumlah permainan, termasuk sabung ayam, orang Bali berlaku sportif dan jujur. “Saya belum pernah melihat keputusan seorang wasit (saya) dipersoalkan oleh orang mana pun, bahkan oleh orang-orang kalah yang lebih merasa kecewa. Memang saya tak pernah melihat ketidaksetujuan sama sekali secara terang-terangan,” demikian tulis Geertz dalam The Interpretation of Cultures, 1974.

Betapa mendalamnya pun permainan tajen, toh tak pernah dilegalkan ajaran agama dan negara. Raja Marakata dalam prasasti Bali tertanggal 26 Desember 1022, hanya memberi ijin sambungan ayam bila ada upacara macaru. Itu pun perlu minta izin penguasa. ” Kunang yan manawunga ing pangudwan makatang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi, ” begitu dituliskna. Selebihnya akan dianggap judi, melanggar ajaran sastra, dan itu berarti kejahatan.

Sastra memang  mengatur, memberi satu etik sosial untuk diindahkan semua orang Bali. Kenapa Dhama Pajuden ditulis? Kenapa lontar Pengayam-ayaman disurat?  Kenapa Dharma Caruban lontar yangmengatur bagaimana mengolah makanan dari daging dipegang ? Tujuan etiknya  jelas, untuk mengatur dan membatasi penikmatnya ─ untuk jangan berlebihan nuukin indria.

Lagi pula dengan amat benderang sastra memberi peringatan yang tak ragu, bahwa dana yang diperoleh dari bertaruh, mengadu ayam adalah dana yang sangat nista. Kunang ikang nista ning kanista dana ngarania, ikang dana ulih ajajudi, ngarania saking wisayania atoh-tohan, yadian olih saking angadu sawung tuwi, begitu terang disuratkan lontar Wiksu Pungu. Karena sebagaimana diingatkan Kakawin Niti Sastra, arta termulia diperoleh lewat berkurban dengan perjuangan, keringat sendiri, bukan dari pemberian ─ alih-alih dengan berjudi. [T]

Pakubuan Kusa Agra

  • BACA artikel lain dari penulisI WAYAN WESTA
Gelombang Penerjemahan Tantri di Bali
Sastra Bali dan Kebangkitan Daya Budi
Kumbhakarņa Tattwa
Ketika Mata Bajak Menengadah Langit : Pemberontakan Estetik Ketut Putrayasa
Tags: Clifford Geertzdongengjudiperjudian
Previous Post

Punahnya “Nyoman” & “Ketut”, Malas Bikin Anak atau Takut Stunting?: Dari Uji Publik Calon Pemimpin Bali di Undiksha

Next Post

Melali ke Seririt, Harus Coba “Healing” Menikmati Sunset di Pantai Sulanyah

I Wayan Westa

I Wayan Westa

Penulis dan pekerja kebudayaan

Next Post
Melali ke Seririt, Harus Coba “Healing” Menikmati Sunset di Pantai Sulanyah

Melali ke Seririt, Harus Coba "Healing" Menikmati Sunset di Pantai Sulanyah

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more

Karya-karya ‘Eka Warna’ Dollar Astawa

by Hartanto
May 28, 2025
0
Karya-karya ‘Eka Warna’ Dollar Astawa

SALAH satu penggayaan dalam seni rupa yang menarik bagi saya adalah gaya Abstraksionisme. Gaya ini bukan sekadar penolakan terhadap gambaran...

Read more

Waktu Terbaik Mengasuh dan Mengasah Kemampuan Anak: Catatan dari Kakawin Nītiśāstra

by Putu Eka Guna Yasa
May 28, 2025
0
Pawisik Durga, Galungan, dan Cinta Kasih

DI mata orang tua, seorang anak tetaplah anak kecil yang akan disayanginya sepanjang usia. Dalam kondisi apa pun, orang tua...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space
Pameran

Pameran “Jaruh” I Komang Martha Sedana di TAT Art Space

ANAK-ANAK muda, utamanya pecinta seni yang masih berstatus mahasiswa seni sudah tak sabar menunggu pembukaan pameran bertajuk “Secret Energy Xchange”...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co