SAYA sempat menyambangi sebuah pura kuno yang kini coba direnovasi ulang oleh pemerintah kota Buleleng, Senin 15 April 2024. Pura itu bernama Pura Puseh Penegil Dharma.
Lokasi Pura itu sekitar 30 menit perjalnan dari pusat kota Singaraja menuju ke arah timur, ke sebuah desa bernama Desa Kubutambahan di Kabupaten Buleleng.
Pura ini bukanlah pura biasa. Eksistensinya dapat ditelisik sejak abad ke-9 pada masa pemerintahan Wangsa Warmadewa pada kerajaan Bali Kuno. Menarik untuk tahu bahwa kini Pura itu masih berdiri dan dibenahi ulang.
Ketika kaki saya menginjak di Pura itu saya tertegun. Saya menyaksikan kemegahan dan riuhnya ornamentik bulelengan yang seakan menyelimuti seluruh bagian dari setiap sisi Pura itu. Di tengah lamunan, saya menyadari bahwa pahatan ornamen itu memang masih sangat baru. Itu terlihat dari kondisi pahatan yang masih sangat bersih dan kering.
Saat saya menelisik di ujung sudut Pura, saya melihat para pekerja dan tukang yang sedang asik bersenda gurau sembari bekerja melanjutkan proses mengukir di sejumlah bangunan di Pura itu.
Saya pun memberanikan diri untuk datang dan menanyakan beberapa pertanyaan yang selama ini belum terjawab. Terutama pertanyaan-pertanyaan dari beberapa hasil eksplorasi yang saya lakukan di beberapa Pura yang ada di sekitar daerah Sangsit dan Jagaraga di Kecamatan Sawan—sebelah barat Kecamatan Kubutambahan.
Dengan adanya para tukang ukir sebagai praktisi langsung, tentu akan menjawab beberapa hipotesa yang telah saya petakan selama saya bepetualang menggali falsafah ornamentik bulelengan di sejumlah Pura sebelumnya.
Mereka menuturkan banyak sekali infromasi praktis yang mereka dapat dari pengalaman mereka sebagai seorang undagi, mulai dari mengapa ornamen Bulelengan terkesan masif dan acak. Tentu saja hal itu disebabkan oleh beberapa factor yang menyelimutinya.
“Mereka berusaha untuk merepresentasikan sedekat mungkin segala isi hutan terutama dalam wujud yang sering kita lihat ialah (Bun-bunan) atau semak belukar yang sudah tentu kita semua tahu, hutan yang asri dan terjaga udah pasti terdapat banyak sekali semak belukar, beberapa undagi menyebut daun-daunan bun tersebut dengan daun semangka, karena bentuknya yang meyerupai bentuk semangka itu sendiri.”
Representasi yang mereka bangun soal hutan sangat didukung oleh pola kerja mereka dalam menghasilkan ukiran, berbeda dengan teknis yang di lakukan oleh para undagi Bali Timur, pada ukiran bulelengan tidak terdapat pola yang pasti untuk mengisi ruang kosong pada bilah bagian pura.
Tak adanya ukuran yang pasti membuat mereka bisa dengan bebas mengisi ruang-ruang tersebut dengan objek apa saja, mulai dari hewan hingga benda-benda imaji mereka, yang terutama didominasi oleh bun-bunan (tumbuh-tumbuhan rambat).
Tak lupa juga, di antara kompleksnya jalinan daun yang saling menyilang, mereka juga menampilkan wujud-wujud astral yang siap menjaga keutuhan Pura tersebut. Dibanding meletakkan gajah layaknya arsitektur Bali timur, mereka lebih suka untuk menaruh para yaksha sebagai representasi penjaga alam yang siap menganggu siapa saja yang berbuat tidak pantas.
Tak ada kata romantisme dalam kamus mereka, wujud itu hadir dalam imaji paling seram dari apa yang bisa dipikirkan oleh para undagi.
Hipotesa lain juga menyebut tak adanya karang gajah dalam arsitektur bulelengan disebabkan hampir nihilnya pengaruh Majapahit yang berperan besar dalam mewariskan bentuk ornamen makara (ikan berkepala gajah) yang selalu menghiasi bagian bawah setiap bagian Pura. Hal ini juga didukung oleh status Kubutambahan sebagai desa kuno, yang ada sebagai sebuah desa sebelum migrasi Majapahit.
Antara spontanitas dan kesadaran berpadu manis saat terbentuknya setiap celah yang mereka coba imajinasikan, beberapa undagi bahkan bisa bekerja dalam satu bagian dengan imaji rupa yang berbeda. Mereka tak mencoba untuk saling mengintervensi, namun saling bekerja sama untuk menyatukan imaji yang berbeda-beda itu.
Yang tak luput dari pandangan saya adalah teknik mereka dalam menghasilkan ukiran, yang sudah beralih pada teknik bias melela (pasir pantai). Atau beralih dari teknik mengukir dengan menggunakan alat-alat seperti pisau kecil, yang didesain sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk membentuk ornamen-ornamen.
Berbeda dengan teknik bias melela pada umumnya, meterial yang digunakan dalam membuat ukiran bulelengan pada pura ini, bukanlah pasir pantai namun merupakan tanah dari Desa Bungkulan. Perbedaan material ini menghasilkan tekstur bahan yang sangat menyerupai paras yang sering digunakan dalam proses memahat pada biasanya, namun dengan proses pengeringan yang lebih cepat.
Dengan penggunaan alat berupa pisau, biasanya mereka harus berpacu dengan waktu ketika bahan bias melela ini akan mengeras. Ukiran yang mereka hasilkan harus selesai sebelum matahari tenggelam, sehingga jika ada undagi yang kesulitan dalam menyelesaikan bagian yang ia kerjakan, para undagi lainnya akan turut membantu secara kolektif, sehingga ukiran tersebut bisa selesai dengan tepat waktu.
Namun demikian, penggunaan teknik bias melela bukanlah tanpa alasan, hal ini didasari keprihatinan mereka sebagai undagi yang mulai sadar bahwa bahan paras yang selama ini sering digunakan sebagai material pura, sudah semakin menipis persediaannya di alam. Kalau pun ada penambangan paras yang berlebihan tentu akan menganggu kestabilan tanah di alam, sehingga berakhir pada bencana tanah longsor yang kini marak terjadi. Kesadaran mereka tentu menjadi satu hal yang sangat mempengaruhi keberlangsungan ekologi di wilayah mereka.
Dengan adanya teknik bias melela mereka bisa dengan leluasa melestarikan ukiran bulelengan tanpa harus takut kehilangan ketersediaan bahan.
Keceriaan para undagi dalam melestarikan oenamen bulelengan, kini diselimuti wajah khawatir yang harus menerima keadaan bahwa, keberlangsungan gaya ornamentik bulelengan memang sedang mengalami krisis keberlanjutan pada anak-anak muda mereka, bahkan hingga pada masyarakat awam yang kian tak peduli lagi.
Kemampuan mereka harus bergantung pada permintaan konsumen yakni masyarakat yang kini sangat jarang untuk menerapkan ukiran bulelengan pada Pura-Pura mereka. Bahkan bangunan instansi pemerintah pun sepertinya tak memberdayaan para undagi asli dalam melestarikan ukiran bulelengan sebagai jati diri mereka. [T]