KERAN kampanye Pilkada Buleleng 2024 telah dibuka secara resmi sejak semingguan yang lalu, tepatnya 25 September 2024. Sejak itu kedua calon bupati dan wakil bupati—pasangan Sutjidra-Supit dan Sugawa-Suardana—langsung bergegas turun ke desa-desa untuk menyampaikan, jika bukan merayu, gagasan mereka mengenai pembangunan Buleleng di segala bidang kepada masyarakat akar rumput.
Tercatat, bahkan sebelum masa kampanye diresmikan KPU, pasangan Sugawa-Suardana langsung gas, memberanikan diri, memasuki ruang civitas-akademika di Universitas Panji Sakti—lingkungan yang bagi beberapa calon agak “menakutkan”. Di sana, Sugawa Korry, calon bupati Buleleng, dan wakilnya Gde Suardana, dengan bombastis menyebut bahwa seharusnya gaji perbekel (kepala desa) di Buleleng minimal tembus 10 juta rupiah.
Katanya, gaji 4,5 juta sekarang ini sangat tidak layak untuk di Bali Utara. Sugawa Korry mengungkapkan bahwa gaji perbekel di Buleleng paling rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Bali.
Selain itu, Sugawa juga mengingatkan bahwa bidang pertanian di Buleleng memiliki potensi atau peluang untuk dikembangkan sehingga dapat mendukung perekonomian masyarakat. Maka untuk itu, menurutnya, diperlukan semacam pasar produk pertanian. Mengenai hal tersebut, selanjutnya Sugawa dan Suardana berkomitmen, jika terpilih, untuk tidak melakukan alih fungsi lahan pertanian mengingat lahan produktif di Kabupaten Buleleng saat ini mulai menipis akibat peruntukan yang telah berubah.
Selebihnya, “panggung” kampanye yang dibalut diskusi ilmiah itu hanya sekadar jargon-jargon normatif yang bahkan terasa sangat sulit direalisasikan.
Dan seolah tak mau kalah, calon bupati dan wakil bupati Buleleng 02, Nyoman Sutjidra-Gede Supriatna, juga melaksanakan kampanye di beberapa desa di Buleleng dengan narasi yang tak kalah besar. Dalam kampanye di Seririt sekira empat hari lalu, misalnya, paslon dari PDIP itu berjanji akan membangun industri olahan pertanian dan berusaha memberikan hasil pungutan Pajak Hotel dan Restoran (PHR) untuk Buleleng hingga 500 Miliar. Sebuah janji yang terkesan menakjubkan.
Selanjutnya, narasi-narasi lama yang klise ternyata masih juga bergaung dalam kampanye mereka, pendidikan dan kesehatan gratis, misalnya. Bahkan, tak tanggung-tanggung, dari TK hingga SMA, jika mereka terpilih nanti, warga Buleleng tak perlu pusing-pusing memikirkan biaya sekolah putra-putri mereka yang kian ke sini makin menguras kantong perekonomian keluarga itu. Tak hanya berjanji untuk pendidikan dan kesehatan gratis, pasangan calon ini juga merasa perlu untuk membangun SMK di Desa Alasangker.
Namun, terlepas dari janji-janji besar kedua calon, selama semingguan masa kampanye berlangsung, sepertinya wacana ekosistem kesenian dan kebudayaan di Buleleng belum disinggung sama sekali—atau barangkali sudah tapi saya saja yang kurang mengikuti? Jika benar sudah maka saya mohon maaf. Tapi jika belum, atau barangkali malah tak akan disinggung sama sekali, tampaknya kita perlu membicarakannya, entah secara serius atau sekadar cuap-cuap dan sepintas lalu.
***
Di Bali, tema kesenian dan kebudayaan sebenarnya cukup seksi sebagai bahan kampanye. Itu bukan saja karena kesenian dan kebudayaan Bali masih begitu terjaga dan lestari, pula karena di sinilah salah satu lumbung suara ngendon dan begitu menggiurkan. Orang Bali, barangkali termasuk Buleleng, jika berbicara kesenian dan kebudayaan, masih berbuih mulut dan berbinar matanya.
Di Buleleng, tentu saja, kesenian dan kebudayaan masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting—meski secara sadar atau tidak dibiarkan begitu saja tanpa pengurusan yang serius. Ia sama pentingnya dengan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan wacana kesejahteraan sosial lainnya—yang notabene sebagai wacana rutin yang menghiasi masa kampanye lima tahun sekali.
Tetapi barangkali saya salah. Meski tampak berpotensi menyumbangkan suara yang banyak, wacana kesenian dan kebudayaan sepertinya memang bukan, katakanlah, “jualan” yang menjanjikan. Narasi pembangunan bandara, biaya pendidikan dan kesehatan gratis tentu terkesan masih lebih sensasional dibandingkan dengan menjanjikan, jika bukan memikirkan, terbangunnya ekosistem kesenian—tradisi maupun kontemporer—yang mapan. Ini seolah sama tidak pentingnya dengan tema lingkungan hidup dan olahraga dalam kampanye para calon.
Singaraja dengan sejarahnya yang spektakuler, dalam bidang kesenian—sekali lagi tradisi dan kontemporernya—belakangan tampak “loyo” jika dibandingkan dengan gerak-laju daerah-daerah di Bali Selatan. Sebut saja kesenian tradisional yang paling populer seperti gong kebyar, misalnya, geliatnya tampak tak lebih semangat daripada Bali Selatan—meski kesenian yang berkembang di abad ke-20 ini lahir dan besar di Buleleng. (Beberapa bulan lalu, dalam sebuah acara Pemerintah Buleleng, seniman gong kebyar bahkan merasa diperlakukan semena-mena.)
Tapi barangkali, sekali lagi, saya salah—dan atau memang tak tahu apa-apa perihal ini. Tapi terlepas apakah itu benar atau tidak, mendengar kisah bagaimana sosok Gde Manik yang miskin dan sebut saja sebagai contoh, misalnya, ekosistem kesenian yang mendapat sertifikat Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) masih segitu-segitu saja dan masih banyak seniman di Buleleng yang seret secara finansial, mandek secara kreasi, dan kering akan diskursus, jelas, nasib kesenian di Buleleng ternyata diurus tak seserius seperti anggapan saya pada awalnya.
Wayang Wong Tejakula sebagai warisan budaya dunia, misalnya, nyatanya ekosistemnya masih memprihatinkan dan menyisakan seambrek PR yang perlu dikerjakan. Sedangkan di sisi lain, perkembangan kesenian kontemporer, katakanlah teater, film, musik, seni rupa, apalagi sastra, jelas masih terseok-seok—jika bukan berdarah-darah.
Tapi, barangkali kesenian memang telah lama tinggal semata sebagai (aktivitas) kesenian. Ia telah menjadi sirkus pasar malam setiap akhir pekan atau di bulan-bulan tertentu dalam bentuk festival-festival populis, misalnya. Ia menjadi festival kostum dan perayaan setahun sekali dalam rupa Pesta Kesenian.
Lalu untuk apa kesenian dan kebudayaan ketika ia sudah sampai di tahap itu?
Dalam satu obrolan warung kopi yang entah kapan, saya dan beberapa kawan pernah berkesimpulan bahwa ketidakseriusan pemerintah dalam mengurus kesenian tradisi maupun kontemporer, adalah karena anggapan bahwa tanpa penanganan yang serius pun kesenian di Buleleng, khususnya tradisi, akan tetap ada dan lestari dan kesenian kontemporer masih dipandang belum cukup meyakinkan untuk menghasilkan keuntungan.
Namun kini, saya mempunyai pandangan tambahan, bahwa barangkali wacana kesenian atau kebudayaan di Buleleng sepertinya tak berkorelasi dengan jumlah suara pemilih, maka wacana mengembangkan kesenian tradisi maupun modern adalah pilihan kesekian sebagai janji kampanye. Di saat bersamaan, ketika kita melihat jatuh bangunnya sebuah sekaa atau komunitas kesenian di satu desa berbanding lurus dengan jatuh bangunnya satu klan politik di tempat yang sama, menjadi makin jelas bahwa kesenian hanya penting ketika ia diyakini bisa dikonversi ke suara pemilih.
Tapi gejala itu jelas tak terjadi hanya di level daerah. Kita tahu bahwa selama bertahun-tahun kegiatan kesenian hanya tinggal sebagai kerutinan semata karena presiden terpilih mungkin tak melihat Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) atau Indonesia Bertutur yang sukses, misalnya, sebagai sesuatu yang penting untuk membuatnya terpilih di periode berikutnya. Hal yang sama sangat jelas terjadi dengan perayaan-perayaan kesenian dan kebudayaan lainnya.
Dan dalam Pilkada Buleleng tahun ini, barangkali kesenian hanya akan menjadi pemanis dan hanya dimanfaatkan sebagai hiburan dan penarik massa semata, tak lebih, alih-alih sebagai wacana program yang lebih serius ke depannya. Lihatlah peristiwa kampanye dari kedua calon yang sudah berlangsung di beberapa desa belakangan ini. Kesenian macam Joged Bumbung, Tari Sampi Gerumbungan, sosok Hanoman, sampai dangdut koplo, tampak semata hanya sebagai umpan massa. Dan sepertinya ini terjadi setiap perhelatan kampanye—tak terkecuali kampanye yang sudah-sudah.
***
Kita tahu banyak akademisi dan tokoh pernah bilang bahwa Bali ini sebenarnya tidak perlu mengejar daerah-daerah industri karena orang Bali punya keistimewaan atau semacam DNA, yaitu justru berkarya di dalam kesenian dan kebudayaan secara umum. Jadi, akan menarik sekali sebenarnya kalau kita bisa mendengar pandangan dari para calon bupati dan wakil bupati soal ini.
Apakah mereka juga setuju soal DNA kebudayaan itu, dan kalau ya, apa langkah strategis yang akan diambil untuk mengoptimalkan potensi yang besar ini, apalagi sekarang negara kita punya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 dan sudah ada berbagai regulasi turunannya yang menjadi pegangan untuk mengelola kekayaan seni dan budaya Bali.
Seharusnya Bali juga sudah punya badan lembaga yang menangani berbagai aspek kebudayaan lain yang terkait dengan kesenian, pendidikan, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Negara juga sudah punya dana abadi kebudayaan yang bisa diakses oleh para pelaku budaya untuk terus berkarya dan ini semua sudah berjalan selama beberapa tahun belakangan. Apakah wacana semacam ini tidak pernah dipikirkan oleh para calon?
Atau jika dipikirkan, pertanyaan besarnya adalah langkah apa yang kemudian akan diambil oleh para calon untuk terus memajukan kesenian dan kebudayaan dengan perangkat kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang ada dan apa ukuran kemajuannya?
Apakah kita akan mengukur kemajuan dari, misalnya, kontribusi sektor kesenian dan kebudayaan terhadap pendapatan daerah? Dan kalau ya, apa yang mesti kita lakukan agar langkah mempromosikan kesenian dan kebudayaan Buleleng ke pasar global ini tidak menggerus, tapi justru sebaliknya malah memperkuat identitas dan ketahanan seni dan budaya?
Ini semua adalah pertanyaan strategis yang mesti dijawab. Dan setelah menemukan jawabannya, kita juga perlu melihat realitas kita hari ini. Sarana prasarana bidang kebudayaan di Buleleng tampaknya juga masih sangat terbatas.
Buleleng tidak punya gedung pertunjukan yang memadai—walaupun ada Gedung Gde Manik dan Sasana Budaya. Museum, galeri, dan pusat kajian seni dan budaya yang bagus—dan lengkap—juga belum ada. Belum lagi kalau kita berbicara tentang aktivasi situs cagar budaya dan ekosistem objek pemajuan kebudayaan. Dan masih banyak sekali PR lain yang mesti diselesaikan.
Untuk bisa mengejar, katakanlah tadi, keinginan untuk mempromosikan kekayaan seni dan budaya kita ke pasar global, kita ingin dengar dari para calon soal komitmen melakukan investasi yang diperlukan agar seluruh sarana-prasarana ini bisa ditingkatkan.
Setelah itu, masih ada masalah pelaku kesenian dan kebudayaan kita selama ini yang memprihatinkan, mendengar nasib seniman tua yang jauh dari kata sejahtera, seperti Made Kranca, misalnya, dan bagaimana dengan para seniman dan pekerja budaya lain yang kontribusinya bagi kemajuan nama Buleleng juga sangat besar tapi sampai hari ini masih harus bekerja dari job ke job tanpa kepastian pendapatan sama sekali.
Apa langkah strategis yang akan dilakukan para calon untuk memperkuat kehadiran mereka dan memperkuat sektor ini secara keseluruhan? Nah, di sini kita perlu komitmen yang jelas dari para calon mengenai berbagai persoalan ini.
Dan ini tidak cukup hanya dengan memberi, katakanlah, sebuah pernyataan yang abstrak, tetapi harus juga dijabarkan langkah-langkah konkret yang memperlihatkan arah yang jelas ke depan. Apakah ini akan terjadi di dalam kampanye para calon di hari-hari yang akan datang? Kita tunggu saja, tapi saya kira tidak ada salahnya publik terus mengingatkan bahwa urusan kesenian dan kebudayaan ini memang menuntut kesungguhan dan ketetapan hati. Saya kira begitu.[T]