BERBINCANG dengan Gede Joni Suhartawan, salah satu pendiri Sanggar Putih memberi kita perspektif baru tentang pengelolaan sanggar atau komunitas seni termasuk soal manajemen yang banyak diabaikan, dahulu dan hingga sekarang. Juga, tentang sanggar seni legendaris di Bali, Sanggar Putih. Berikut wawancara Angga Wijaya dengan Gede Joni Suhartawan:
Gede Joni Suhartawan
__
Bisa diceritakan tentang sejarah berdirinya Sanggar Putih?
Sanggar Putih didirikan pada era 1980-an. Eighties Generation, meminjam istilah sekarang. Waktu itu kami masih pelajar SMA. Penggagas awal berdirinya Sanggar Putih adalah saya sendiri, Gede Joni Suhartawan. Lalu ada Adi Sastrawan. Kemudian ada Putu Dharma Wiasa yang juga dikenal dengan nama Leong. Dharma Wiasa ini sekarang pensiunan sekretariat DPRD Kota Denpasar, sedangkan Adi Sastrawan sekarang menjadi penekun spiritual. Kemudian saya sendiri, pensiunan broadcast televisi nasional.
Jadi Sanggar Putih penggagas awalnya tiga orang. Kemudian berkembang terus dengan bergabungnya teman-teman lain, ada Mandala. Wiasa, ada Pak I Dewa Gede Palguna yang pernah menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Juga Ibu Ni Putu Putri Suastini, istri Gubernur Bali periode kemarin. Anggota awal Sanggar Putih itu anak-anak SMA di seluruh Denpasar, ada SMA 1, SMA 3 terutama, ada juga anak-anak SPG yang sekarang menjadi SMA 7 kalau saya tidak salah. Sanggar Putih di awal berdirinya jumlah anggotanya kira-kira hampir seratusan orang.
Ketika Sanggar Putih berdiri, kami memulainya dengan membuat garapan bersama yaitu menyambut 700 tahun Indonesia, jadi memperingati Indonesia yang dihitung sejak kerajaan Majapahit berdiri. Ketiga pendiri Sanggar Putih kemudian meminta kakak dari Leong, yaitu Kadek Suardana. Kebetulan dia adalah diaspora Bali di Dumai, Sumatera yang bekerja pada sebuah perusahan minyak. Jadi saat dia pulang kembali dan menetap di Bali, kami “culik” untuk menjadi ketua dan koordinator Sanggar Putih dalam penyutradaraan kesenian, musik dan lain-lain. Dia lulusan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), nama awal Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Saat itu juga masuk Wayan Yudane, yang sekarang dikenal sebagai musisi internasional. Putu Satria Kusuma yang kini sutradara dan pegiat teater di Buleleng juga masuk. Nah, kegiatan Sanggar Putih di awal berdiri sekaligus juga langsung membuat pertunjukan kolosal dengan tata cahaya dan pertunjukan modern. Kami juga mendatangkan Mbah Rudjito, beliau pegiat teater yang aktif di Taman Ismail Marzuki (TIM Jakarta) kala itu. Jadi kami mendapat banyak ilmu tentang tata cahaya dan juga artistik panggung, setting dan lain sebagainya. Pertunjukan 700 tahun Indonesia itu kami gelar di GOR Lila Bhuana yang sekarang dikenal dengan GOR Ngurah Rai, Denpasar. Kemudian berkembang terus, kami menggarap pertunjukan mulai dari yang kolosal hingga drama untuk televisi dan radio. Ni Putu Putri Suastini yang menjadi koordinator divisi tersebut. Waktu itu beliau dikenal sebagai pemudi aktivis yang aktif di banyak organisasi, salah satunya KNPI.
Pementasan drama “Macbeth” karya William Shakespeare dengan pola Gambuh di beberapa panggung di Bali, STSI Denpasar hingga ke Gedung Kesenian Jakarta dalam kurun waktu 1988-1995 garapan Sanggar Putih Bali yang disutradarai Almarhum Kadek Suardana | Foto: Made Artha. Koleksi: Ni Putu Putri Suastini.
__
Prestasi apa saja yang pernah diraih oleh Sanggar Putih?
Wah banyak, kami sampai lupa. Paling tidak, Sanggar Putih menurut sebuah tulisan menjadi inspirator perkembangan teater di Bali pada masa awal tumbuhnya teater modern. Salah satu yang sangat fenomenal buat kami sebagai teater dari daerah, kami mementaskan Machbeth karya William Shakespeare di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Karena bagi kami prestasi itu bukan pada mendapat hadiah ini-itu.
Prestasi dalam dunia kesenian adalah garapan kita diakui dan diapresiasi oleh banyak pihak. Bukan hanya pada selembar sertifikat atau piala. Jadi prestasi bagi kami waktu itu yang paling puncak adalah ketika menggarap naskah drama terkenal Machbeth. Naskah itu kami domestifikasi, kami bumikan dan selaraskan dengan drama gambuh. Waktu itu, semua pemain harus belajar tari gambuh. Dan kami pusatkan latihan langsung di rumah Bapa Sija, dalang terkenal di Bona, Gianyar. Sekarang beliau telah berpulang. Kami belajar dari beliau. Naskah Machbeth kami bedah, menjadi naskah drama panggung dengan basic gambuh, tanpa menghilangkan karakter asli naskah termasuk nama-nama tokoh tetap kami pertahankan.
Rupanya, garapan kami mendapat apresiasi dari majalah TEMPO. Waktu itu, wartawati senior TEMPO Mbak Debra Yatim menginisiasi untuk membawa Sanggar Putih ke TIM Jakarta mementaskan Machbeth. Pertunjukan kami mendapat sambutan yang luar bisa dari teman-teman teater nasional juga rekan-rekan pers dan para pegiat budaya. Dalam pementasan tersebut, Putri Suastini yang sejak awal bergabung dengan Sanggar Putih memerankan Lady Machbeth sementara Machbeth sendiri diperankan oleh (Alm) Kadek Suardana.
Apakah pernah ada reuni eks anggota Sanggar Putih?
Pernah, beberapa tahun lalu, saat itu Kadek Suardana masih hidup. Kami pernah berkumpul bersama, kebetulan saat itu saya sudah tidak lagi bekerja di Jakarta. Mengumpulkan teman-teman agak sulit, karena rata-rata kawan-kawan eks anggota Sanggar Putih terutama angkatan pertama dan kedua itu yang seumuran saya rata-rata sudah pensiun; ada yang sibuk mengasuh cucu, ada yang menjadi pejabat, jadi waktunya sudah sangat sulit untuk berkumpul bersama.
Bagaimana Anda melihat dinamika kesenian di Bali, dulu dan sekarang?
Sama saja. Problem yang dulu sampai sekarang yang masih belum beres, bagi saya pribadi, adalah kalau dinamika kesenian di Bali pada masa lalu, bagaimana kita mencerap kesenian dari luar untuk kita bumikan sebagai ‘Bali’. Atau sebaliknya, memberikan Bali untuk mewarnai dinamika budaya seni dunia yang global. Sebenarnya bisa dilihat referensi pada rekan-rekan di dunia seni rupa. Kalau kita lihat, sejarah seni rupa Bali dari sejarah lukisan komunal gaya Kamasan, kemudian datang seniman luar seperti Walter Spice, yang membuat Barat dan Timur bertemu di Ubud. Dan mereka blend dengan sangat bagus. Barat memberikan teknik perspektif, pencahayaan dan lain sebagainya termasuk manajemen kesenian. Lalu seniman kita dari Bali memberikan pengaruh-pengaruh kembaliannya dalam goresan-goresan maupun obyek-obyek lukisan,
Demikian juga dalam dunia teater kita di Bali waktu itu. Seni pertunjukan panggung kita waktu, apalagi teater pada zaman saya masih dianggap barang baru, barang yang “aneh”.
Seni panggung dan seni pertunjukkan kita waktu itu adalah apa yang disebut sekarang sebagai seni tradisional; sendratari, drama gong, dan juga gambuh yang waktu itu sudah mulai punah. Gambuh kami hidupkan justru ketika kami menggarap Machbeth seperti yang saya ceritakan di atas. Jadi dinamika kesenian di Bali seperti itu. Bagi saya tak ada yang bersifat konfrontatif sebenarnya. Yang ada adalah semangat saling mengisi. Kalau mau dikonfrontir ya tak akan selesai-selesai. Ini seni tradisional, itu seni modern. Kesenian itu khan bersifar universal. Jadi dinamika kesenian di Bali, kalau dulu dalam dunia teater minim teknik pencahayaan, belum ada tata cahaya canggih seperti sekarang. Tapi teknologi hanya bersifat mendukung seni pertunjukan. Kalau pun tidak ada, kami sudah biasa latihan vokal, tapi memang problem kami dalam teater yakni belum adanya gedung dengan tata ruang akustik yang bagus. Entah kalau sekarang di Bali sudah ada atau belum, saya kurang mengikutinya.
Pementasan drama “Macbeth” karya William Shakespeare dengan pola Gambuh di beberapa panggung di Bali, STSI Denpasar hingga ke Gedung Kesenian Jakarta dalam kurun waktu 1988-1995 garapan Sanggar Putih Bali yang disutradarai Almarhum Kadek Suardana | Foto: Made Artha. Koleksi: Ni Putu Putri Suastini.
__
Apakah Anda kini masih berkecimpung di dunia seni?
Seni dalam pengertian teater, sudah tidak. Tapi dalam pengertian gerakan seni dan kebudayaan, secara konseptual dan intelektual, hampir semua anggota Sanggar Putih dahulu walaupun kini memiliki profesi yang berbeda-beda, itu masih. Misalkan saya selain saya, ada Pak Dewa Palguna dan Ibu Ni Putu Putri Suastini. Kami tetap bergerak dan berjuang pada bidang seni dan budaya. Tentu saja, ada juga teman-teman yang sama sekali meninggalkan dunia seni tersebut.
Ada juga yang langsung menjadi seniman yang berhasil dan membanggakan kami semua, seperti Wayan Yudane dalam dunia musik. Beliau kini musisi internasional, menjadi dosen terbang di banyak penjuru dunia, membawa gamelan Bali ke tingkat dunia, dengan sentuhan kekinian. Ada juga Putu Satria Kusuma yang memang sejak awal menunjukkan bakat sebagai seniman tulen, mendirikan sanggar teater, menjadi sutradara, me-manage sanggarnya dengan sangat baik. Saya dengar beliau juga kini juga menekuni film, itu membuat saya sebagai pendiri awal Sanggar Putih merasa sangat bangga pada mereka.
Adakah pesan bagi para seniman, terutama para seniman muda di Bali?
Dari pengalaman kami di Sanggar Putih juga ketika berada di bawah bimbingan Kadek Suardana yang telah memiliki banyak pengalaman di luar Bali, sanggar seni ‘tradisional’ maupun ‘modern’ di Bali, kami melihat bahwa problem-nya lebih banyak pada sisi manajerial, manajemen. Hanya banyak orang yang salah kaprah, teman-teman di luar Sanggar Putih beberapa bahkan ada yang menyindir kami tentang manajerial. Kami melihat sebuah sanggar seni sejatinya bukan hanya mengurusi soal kesenian, tetapi juga melemparkan “produk”-nya ke masyarakat untuk “laku”.
Sama halnya dengan seniman saat membikin musik atau film. Manajemen yang bersifat tradisional, kalau kita melihat di banjar-banjar yang ada di desa-desa di Bali, itu khan tidak ada yang namanya sanggar. Mereka, saat latihan, soal waktu masih banyak yang molor, suka-suka mereka, sesuai waktu lowong mereka. Itu dikarenakan tidak adanya ikatan di antara mereka. Berbeda halnya dengan di sanggar, kalau kita manage, misalnya saat mereka latihan kita hitung biaya pengeluaran transportasi mereka.
Sanggar Putih melakukan itu sejak awal, walaupun dengan segala keterbatasan kami saat itu. Tapi paling tidak, niat kami sudah ada waktu itu. Kami beri mereka insentif, paling sederhana kue dan minuman. Uang juga walau tidak banyak. Jadi manajemen sangat penting ada pada sanggar-sanggar kesenian. Kita bisa berkaca pada teman-teman di seni rupa; bagaimana mereka mem-branding diri, marketing. Kita berkesenian tidak hanya untuk diri sendiri namun dibutuhkan oleh stakeholder lain misalnya pengusaha dan BUMN misalnya. Dalam dunia teater manajemen misalnya manajemen pertunjukan sangat penting, karena di Indonesia seniman yang bisa hidup hanya dari karya seni mereka masih sangat jarang, kecuali teman-teman perupa, mereka menjual lukisannya dan mampu menghidupi diri mereka. Dalam dunia teater atau dunia sastra konteks dan keadaannya tentu berbeda lagi.
Bagaimana Anda melihat masih adanya pengkategorian seni tradisional dan seni modern?
Saya dari dulu memang tidak bisa menerima, ada pemisahan antara seni tradisional dan seni modern. Bagi saya seni itu bersifat dinamis, bergerak. Pemisahan itu lebih cocok untuk dunia akademis. Gambuh misalnya, sebelumnya tentu ada prototipe seni sebelum Gambuh, begitu juga dengan Legong dan lain sebagainya. Mungkin seni bisa disebut misalnya khas Bali, ada yang kental sekali, ada yang hanya setengahnya, misalnya hanya pada ornamentalnya saja. Atau sebaliknya, nilai Bali yang kental namun ornamennya modern atau global. Apalah kemudian lantas seni tersebut bisa dibilang tradisional? Atau modern? Contoh lain, drama Macbeth. Kita tidak bisa bilang itu tradisional atau modern. Yang ada hanya improvisasi. Apalagi dalam konteks manajemen seni pertunjukan, pemisahan kategori seni tradisional dan modern menjadi tidak penting buat saya.
Menurut Anda, bagaimana cara melestarikan seni di Bali?
Kesenian apapun yang hendak berkembang atau pun dikembangkan di Bali, hal pertama yang perlu diperhatikan pegiat atau pelaku seni adalah kembali ke hulu. Artinya, sangat penting mempelajari nilai-nilai (bukan adat-istiadat) yang tampak kasat mata. Misalnya dalam konteks pemanfaatan air; bagaimana Bali melihat air? Nilai Bali tentang air itu seperti apa? Atau nilai Bali tentang sesama manusia itu bagaimana?
Jadi semua mesti kembali ke hulu, belajar lagi dan melihat bagaimana para leluhur kita melahirkan karya-karya untuk mendidik anak-cucunya melalui karya-karya sastra. Itu penting bagi saya, karena kalau tidak, kita menjadi sama dengan orang-orang yang terlalu global, menjadi “globalis”, akan sulit juga jika tanpa basic atau dasar budaya. DNA, jika kita boleh sebut. Jadi pelajari DNA Bali itu seperti apa dan bagaimana. Itu menurut saya cara melestarikan dan mengembangkan seni di Bali. Kalau hanya “melestarikan”, yang sifatnya jasmaniah misalnya pakaian harus dilestarikan, harus memakai pakaian adat tiap hari tertentu tanpa dibarengi dengan pemahaman “hulu”-nya, apa dan kenapa mesti memakai pakaian adat, bukan dalam rangka menguatkan identitas kebalian, itu yang akan bikin tambah runyam dan ruwet, padahal isinya tidak. Okelah misalnya soal identitas, itu khan melestarikan apa yang tampak oleh mata.
Namun, menurut saya, yang lebih perlu adalah tentu kita tidak mau menjadi semacam “museum”. Dengan cara tadi, kembali ke “hulu”. DNA Bali itu seperti apa? Juga, terhadap tigal hal; bagaimana ia memandang alam, sesama manusia, dan bagaimana ia berhubungan pada hal-hal transenden. Itu penting, jadi tidak hanya sekadar bagaimana manusia Bali memakai udeng, kamben, atau memakai kebaya. Bukan itu. Itu, ya, tapi bukan itu. Jadi selama ini yang kita kembangkan hanya “cangkang”-nya saja, sementara “isi”-nya tidak. [T]