SAAT ini aku sudah memasuki semester yang membuat berpikir bahwa berumah tangga sepertinya lebih baik daripada kuliah. Namun itu hanya pikiran liar di tengah gempuran tugas kuliah saja. Apalagi ditambah saat ini aku sedang memasuki dunia PKL atau simulasi menjadi perkerja yang sesungguhnya.
Aku mendapatkan tempat PKL di portal berita jurnalisme warga yang cukup terkenal di Bali, tatkala.co. Walaupun aku bukan seorang yang bisa dibilang pandai dalam menulis, tapi akan kucoba jalani dengan sebaik mungkin apa yang telah dipersipkan oleh prodi tempatku belajar.
Hari pertama Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co, aku mendapatkan ilmu baru dalam hal menulis. Berawal dari diskusi cukup panjang bersama Jaswanto, seniorku di tempat PKL, aku banyak belajar tentang bagaimana seni menulis. Jujur, menulis adalah hal yang kurang aku sukai dan memang tidak pernah ada dalam catatan cita-citaku—aku tidak pernah membayangkan untuk menjadi seorang penulis.
Awalnya, dalam bayanganku, menulis itu sesuatu yang membosankan. Namun, setelah berdiskusi banyak hal dengan Kak Jas, panggilan akrab Jaswanto, aku sadar bahwa menulis itu ternyata tidak seseram yang aku bayangkan.
Aku jadi sedikit tertarik untuk memulai belajar menulis. Beberapa kali aku sempat menulis memang, tapi itu hanya memenuhi tuntutan tugas perkuliahan, bukan benar-benar atas dasar keinginanku sendiri. Dan aku baru tahu, ternyata menulis itu tidak melulu harus baku, formal, atau ilmiah. Kita juga bisa menceritakan banyak hal yang biasa-biasa saja, pengalaman, atau tergantung imajinasi, seperti halnya menulis fiksi, misalnya.
Saat diskusi, Jaswanto memberi challenge kepadaku untuk membuat sebuah tulisan tentang pengalaman yang paling berkesan dalam hidupku. Aku berpikir sejenak, dan teringat tentang sate keladi yang pernah kuulas dulu. Aku ingin kembali mengulas kuliner khas yang baru kurasakan ketika sudah dewasa itu—dan itupun cuma sekali.
***
Aku berasal dari desa yang memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbeda dari desa-desa pada umumnya di Bali. Pedawa, nama desaku. Desa yang terletak di pegunungan dan memiliki julukan Bali Aga atau desa tua itu, banyak memiliki hal unik yang aku banggakan.
Namun, mengenai hal tersebut, aku baru menyadarinya saat duduk di bangku kuliah. Salah satu hal unik yang dimiliki desaku adalah sate keladi. Ini merupakan makanan khas yang dimiliki Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Jika sate pada umumnya terbuat dari daging hewan, di desaku sedikit berbeda, sate dibuat dari keladiatau talas sebagai bahan baku utamanya.
Sedikit cerita, meski lahir dan tinggal di Pedawa, aku merasakan sate keladi untuk pertama kalinyapada saat kuliah semester empat. Saat itu aku mendapat tugas dari salah satu dosenku untuk membuat berita. Dari sana aku ingin mengangkat sate keladisebagai objek tulisan.
Pada saat mendapatkan tugas tersebut, dibantu orang tuaku, aku membuat sate keladi di rumah. Hal ini aku lakukan agar bisa mendeskripsikan rasa sate keladi dalam beritaku. Oh, ternyata seenak itu rasanya—walaupun proses pembuatannya agak panjang memang.
Pedawa, dengan tanahnya yang subur, dan letak geografisnya yang berada di ketinggian, membuat masyarakatnya bergantung pada hasil hutan dan perkebunan. Maka wajar jika tanaman keladi tumbuh subur di tanah kami, yang mampu dimanfaatkan dengan baik.
Sate keladi Pedawa | Foto: Agus Eka
Walaupun aku sangat menyukai keladi atau talas, tapi aku tidak suka kalau jenis umbi-umbian tersebut dicampur dengan nasi, atau di desaku lebih dikenal dengan muranan. Jika ibu masak nasi muranan, seketika nafsu makanku hilang begitu saja. Tetapi, jika keladinya di kukus, dibuatkan kripik, atau diolah menjadi makanan lainnya, aku menyukainya.
Mengenai sate keladi khas Pedawa, aku sempat bertanya kepada tokoh masyrakat Pedawa bernama Wayan Sukrata—atau lebih akrab disapa Pak Guru Jagung. Panggilan yang cukup unik bagiku.
Pak Jagung mengatakan, sate keladi lahir karena penduduk Pedawa dahulu tidak berkecukupan dan tidak mampu untuk membeli daging sehingga memanfaat hasil alam yang sangat melimpah di desa kami. Mendengar penjelasan tersebut, aku merasa bangga dengan orang-orang zaman dulu, di tengah keterbatas mereka mampu mengolah apa yang ada di alam menjadi hal yang memilki nilai lebih.
Aku sempat merenung sambil mendengarkan ceritanya Pak Jagung mengenai sate keladi. Jika aku lahir di zaman dulu, apakah aku bisa hidup dengan baik? Apakah aku bisa mengolah apa yang ada di sekitar menjadi sesuatu yang bermanfaat?
***
Sate keladi, dalam proses memasak,sebenarnya sama dengan sate pada umumnya, sama-sama dipanggang. Yang membedakan adalah bahan baku utamanya, yaitu daging diganti dengan keladi.
Selain itu, cara menempatkannya di stik juga berbeda. Jika sate pada umumnya ditusuk ujung stik—orang Pedawa biasa menyebutnya dengan katikan sate—sedangkan sate keladi dililitkan di tengah-tengah katikan sate. Sekilas seperti membuat sate lilit ikan. Hanya saja, sate ikan dililitkan di ujung katikan.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena kami masih menggunakan tungku api tradisional yang terbuat dari tanah liat—yang bagian atasnya mempunyai lubang berbentuk lingkaran. Di atas lubang itulah kami mematangkan sate keladi. Oleh karena itu, adonan keladi harus dililitkan di bagian tengah katikan-nya.
Setelah menanyakan banyak hal tentang sate keladi kepada Pak Jagung, saat itulah aku mencoba untuk membuat sate keladidi rumah. Pada saat praktik, aku dibantu ibuku. Membuat sate keladi ternyata tidak semudah yang aku bayangkan.
Banyak bumbu yang harus disiapkan, seperti bawang merah, bawang putih, cabai rawit, kunyit, jahe, kencur, ketumbar, kemiri, juga penyedap rasa. Selain menyiapkan bumbu, hal paling sedikit menjengkelkan adalah saat mengupas keladi dari kulitnya. Karena jika tidak terbiasa, ini akan menyebabkan tangan menjadi gatal-gatal.
Proses mengupas selesai, keladi lalu dicuci sampai bersih, hingga tidak ada lagi kenangan-kenangan yang tersisa. Eh, salah, maksudku sampai tidak ada kotoran yang menempel di keladinya. Sambil memarut kelapa sebagai campuran adonan sate keladi, ibu memintaku untuk segera mengukus keladi. Setelah keladi matang baru ditumbuk hingga tercipta sebuah adonan.
Singkat cerita, setelah menjadi adonan, keladi lembut itu lalu dicampur dengan semua elemen yang telah disiapkan, seperti bumbu dan parutan kelapa, hingga tahap akhirnya dililitkan pada katikan bambu atau batang kelapa. Sate keladi siap untuk dipanggang di atas tungku. Kuliner khas Pedawa ini paling enak dimakan saat masih panas, apalagi ditemani nasi hangat dan sambal terasi, dijamin bikin ketagihan.
Ah, sampai di sini, seandainya aku tidak diberi tugas untuk menulis berita, dulu, mungkin sampai saat ini aku masih belum tahu tentang sate keladi. Dan jika dulu tujuan menulis sate keladi, selain penasaran hanya untuk kebutuhan tugas, saat ini tujuanku benar-benar untuk memperkenalkan kuliner ini kepada orang banyak.
Ya, di tatkala, selain belajar menulis, aku juga belajar untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar. Dan itu tidak kudapatkan di bangku perkuliahan. Sebab menulis sate keladi ini aku menjadi sadar, ternyata desaku memiliki banyak hal unik yang belum aku eksplor lebih dalam lagi.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
Editor: Jaswanto