MINGGU, 14 April 2024 menjadi salah satu momen tak terlupakan dalam bentang perjalanan peristiwa adat budaya yang pernah terjadi di Ubud, Gianyar, Bali. Hari itu, pelebon untuk mendiang Tjokorda Bagus Santaka dan Anak Agung Istri Putra Srinah digelar.
Sudah sejak pagi hari, masyarakat dan pengunjung mulai memadati jantung desa untuk melihat dari dekat situasi acara. Wisatawan lokal dan mancanegara pun sedikit demi sedikit mendekati Catuspata sembari mengabadikan momen berfoto di depan bade tumpeng sia dan lembu yang sudah sejak dua hari sebelumnya tuntas dikerjakan.
Bade setinggi 25 meter ini pengerjaannya dikomandoi oleh Prof. Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana yang juga ipar sekaligus paman dari Tjokorda Bagus Santaka. Sedangkan lembu berwarna ungu pengerjaannya dikomandoi dan dipersembahkan langsung oleh Cokorda Ngurah Suyadnya – adik bungsu Tjokorda Bagus Santaka.
Di tengah ramainya situasi bancingah Puri pagi itu, beberapa krama istri dari Banjar Ubud Kaja juga mulai mendekat Bale Pemiosan di Catuspata. Bale tersebut difungsikan sebagai tempat sulinggih menghaturkan puja untuk acara pamlaspas Bade, Bale Naga Banda serta Lembu. Prajuru dan para sangging juga turut berada di depan Bale Pemiosan sembari menanti kedatangan sulinggih pamuput.
Sembari menunggu jalannya upacara pamlaspas dimulai, satu persatu undangan dan kerabat juga berdatangan serta memasuki ancak saji Puri Agung Ubud. Tamu yang hadir terbagi dalam beberapa kategori di antaranya para sulinggih, pasemetonan puri dan gria, prajuru desa, pemerintah, konsulat, asosiasi budaya dan pariwisata, serta pimpinan perguruan tinggi. Di luar undangan tersebut, keluarga besar Puri Agung Ubud pun silih berganti mulai memasuki Puri Agung Ubud serta secara langsung membagi posisi menyambut kedatangan para tamu undangan.
Dari pengamatan, mereka yang hadir diterima di area Saren Kauh, serta dipersilahkan untuk juga menempati areal Rangki, Saren, Saren Kangin dan Semanggen. Drs. Tjokorda Gde Putra Sukawati – Panglingsir Puri Agung Ubud bersama Panglingsir Puri Agung Sayan, Panglingsir Puri Agung Batubulan serta sanak keluarga almarhum menerima dengan hangat para undangan yang datang.Jenazah almarhum sendiri disemayamkan secara khusus di Bale Semanggen yang di belakang Naga Banda.
Pukul 09.30 WITA, Ida Padanda Gede Karang Ngenjung dari Gria Selat Duda Karangasem dan Ida Padanda Gede Jelantik Giri dari Gria Budha Gunung Sari Peliatan memulai jalannya upacara pamlaspas di bencingah Puri. Alunan lelambatan yang ditabuh oleh Sekaa Gong dari Sumerta Denpasar di Wantilan Pura Desa serta alunan tabuh pategak yang ditabuh oleh Sekaa Cudamani Pengosekan Ubud dan juga Tarian Gambuh dari Desa Kedisan Tegalalang turut mengiringi jalannya prosesi upacara dan penyambutan di Ancak Saji.
Prosesi pamlaspas menjadi penting dilaksanakan tidak semata pembersihan dan penyucian sarana bade, lembu serta bale naga banda, namun juga momen bagi para undagi dan sangging untuk nunas panugrahan memohon restu dan pemberkatan. Di tengah jalannya upacara pamlaspas berlangsung, Ida Padanda Gede Putra Bajing dari Gria Tegal Jingga Denpasar tiba di Puri Agung Ubud diiringi oleh beberapa pengiring dan selanjutnya dipersilahkan langsung menuju pamrajan alit Puri Saren Kauh Ubud. Beliau merupakan wiku yang katuur muput prosesi manah naga banda pada pelebon ini.
Waktu kemudian menunjukkan Pukul 10.30 WITA, di depan Bale Semanggen Tjokorda Raka Kerthyasa S.Sos, M, Si – Bandesa Desa Adat Ubud yang juga paman Tjokorda Bagus Santaka serta adik dari Anak Agung Istri Putra didampingi oleh para putra almarhum menyampaikan pangaksama kepada para undangan yang hadir sekaligus menjelaskan tahapan-tahapan acara yang berlangsung pagi itu. Undangan pun lantas dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia.
Setelah atur pangaksama berakhir, Bandesa Desa Adat Ubud bersama dengan keluarga Puri Agung Ubud bertolak berjalan kaki kearah barat dari Catus Pata menuju Pura Dalem Desa Adat Ubud untuk melakukan persembahyangan bersama dengan krama Desa Adat Ubud. Setelah persembahyangan yang dipimpin oleh pamangku Pura Dalem selesai dilakukan di utama mandala Pura, seluruh krama berkumpul di Jaba Tengah untuk mengikuti acara lanjutan.
Bandesa Desa Adat Ubud kembali menyampaikan pangaksama, arahan serta mengucapkan terima kasih atas patedun krama Desa Adat Ubud. Momen ini juga dimanfaatkan bagi Cokorda Gede Agung Surya Dwidharma – putra Tjokorda Bagus Santaka dan Tjokorda Bagus Purnawarman Dharma Adnyana – putra Anak Agung Istri Putra untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada krama sekaligus memohon maaf jika ada kekurangan selama tahapan upacara termasuk juga memohon maaf terhadap kesalahan-kesalahan almarhum selama hidup yang disengaja maupun tidak disengaja.
Pukul 11.30 WITA seusai acara atur pangaksama di hadapan krama di Jaba Tengah Pura Dalem, Bandesa Desa Adat Ubud lantas memberikan tanda aba-aba kepada seluruh krama untuk bersiap menuju kembali ke Catuspata Ubud. Seperti pelebon ageng pada umumnya, tawa-tawa dipukul sebanyak tiga kali oleh Bandesa Desa Adat yang disambut kemudian sorak teriakan seluruh krama. Krama punkemudian berduyun duyun meninggalkan Pura Dalem Ubud dengan berjalan kaki mengiringi suara pukulan tawa-tawa.
Dari kejauhan tampakribuan orang berseragam ungu serta menggunakan ikat kepala putih ungu mulai menyemut dan membaur sambil bersorak sorai sepanjang perjalanan mendekat ke Puri Agung Ubud hingga akhirnya menyatu dengan para penonton yang telah memadati Catuspata.
Tepat pukul 12.00 WITA, krama Banjar Ubud Kelod mulai masuk ke areal semanggen, sedangkan krama dari Banjar yang lain langsung menuju pada posnya masing-masing. Tjokorda Gede Indrayana – adik Tjokorda Bagus Santaka yang juga angga raksa Desa Adat Ubud memberikan aba-aba sekaligus memandu jalannya acara di Semanggen.
Pukul 12.10 WITA, krama Banjar Adat Taman Kelod bersama angga Puri menurunkan Naga Banda dari Bale Semanggen untuk selanjutnya diiring menuju Catuspata Ubud. Setelah itu, krama Ubud Kelod melanjutkan dengan menurunkan Bendusa layon Tjokorda Bagus Santaka dan Anak Agung Istri Putra dari Bale Semanggen untuk dinaikkan ke atas Bade. Gemuruh suara baleganjur terdengar semakin kencang memberi semangat para krama mulai sejak dari dalam Puri hingga menuju keluar Puri. Sepanjang Jalan Raya Ubud, suasana masyarakat dan penonton tumpah ruah.
Lembu berwarna hitam yang semula telah mengambil posisi di sisi selatan puri bersiap diarak menuju setra dalem Puri. Lembu tersebut diduki oleh salah satu cucu Anak Agung Istri Putra serta digotong oleh krama Desa Adat Tegallantang. Didepannya telah berjejer iring-iringan mulai dari tombak pengawin Puri Ubud yang dipundut oleh krama Desa Adat Kebon Tegalalang serta sarana perlengkapan upacara dan dua putri remaja Puri Ubud yang ditandu oleh krama Banjar Ubud Kelod.
Di belakang lembu hitam, lembu berwarna ungu selanjutnya bergegas pula menuju setra Dalem Puri. Adik Tjokorda Bagus Santaka yang juga konseptor pembuatan lembu tersebut naik duduk diatas lembu. Krama Banjar Ubud Tengah dengan penuh semangat menggotong etape pertama diriingi genderang tabuh baleganjur dari Sekaa Karma Amangguh Kanti Banjar Kawan Mas. Kebetulan Sekaa tersebut sebelumnya menjadi juara pada Lomba Baleganjur Ngarap Manggur Bayu yang digelar oleh Sekaa Teruna Putra Sesana Ubud Kelod.
Kembali di catuspata, Bade bertumpang sembilan bersiap untuk bergerak. Undagi bade dan naga banda yang juga paman Tjokorda Bagus Santaka naik diatas Bade membawa pangibas-ibas bersama dengan keponakannya yang bertugas membawa sekar rura. Selain itu, putra Tjokorda Bagus Santaka dan salah satu cucu dari Anak Agung Istri Putra pun turut naik dan duduk diatas bendusa.
Di posisi bawah tepatnya diatas ceraken, Bandesa Desa Adat Ubud didampingi penyarikan dan keluarga puri lainnya memberi tanda aba-aba kepada krama Ubud Kelod untuk mulai mengangkat bade serta memutarnya menghadap ke sisi timur. Bade pun bergeser dengan sempurna serta mendapat riuh tepuk tangan masyarakat yang menyaksikan. Setelahnya kemudian, Naga Banda yang sebelumnya telah berada di catuspata lantas bergeser kebelakang Bade dan menghadap ke sisi barat.
Tjokorda Gde Indrayana mengumumkan kepada seluruh krama dan masyarakat yang memadati Catuspata bahwa acara manah naga banda akan dimulai serta dimohon untuk dapat duduk ditempat masing-masing dengan hikmat. Selanjutnya, Ida Padanda Gede Putra Bajing berbusana jangkep ditandu keluar dari Puri Agung Ubud menuju Catuspata. Tampak beberapa sulinggih, walaka dan angga puri turut mendampingi jalannya prosesi manah naga banda.
Pemandangan unik nan menarik terjadi saat Ida Padanda bersiap akan memulai manah naga banda. Seekor capung etrbang dan hinggap cukup lama pada busur panah Ida Padanda. Kejadian ini menjadi perhatian serta mengundang takjub mereka yang dekat dengan prosesi. Momen ini pun lantas diabadikan oleh beberapa warga dengan kamera.
Setelah Ida Padanda menuntaskan jalannya prosesi manah, selanjutnya Naga Banda dinaikkan di Bale Naga Banda yang telah berada di depan Bade. Terlihat di Bale Naga Banda telah menanti Panglingsir Puri Agung Ubud, Panglingsir Puri Agung Peliatan, Panglingsir Puri Ageng Megwi didampingi oleh Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati serta para keponakannya.
Ida Padanda Gede Putra Bajing pun dipersilahkan untuk bersila disamping Naga Banda melanjutkan puja mantranya hingga sampai di Setra Dalem Puri. Turut duduk di Bale Naga Banda serta mendampingi Sang Wiku ngaturang puja adalah Ida Padanda Istri Rai Keniten dari Gria Ketewel, Ida Padanda Made Karang dari Gria Karang Tampakgangsul Denpasar, Ida Padanda Gede Karang Ngenjung dari Gria Selat Duda Karangasem, serta Ida Padanda Mangasrami Sidemen dari Gria Mangasrami Ubud.
Setelah tali naga banda dililit mengelilingi bade, krama Banjar Taman Kelod bersiap menggotong Bale Naga Banda pada etape pertama hingga ke timur sampai di jaba Puri Kumuda Sari Ubud. Selanjutnya Bade yang berada di belakang Bale Naga Banda digotong oleh krama Ubud Kelod hingga ke timur sampai di jaba Gria Mangasrami untuk selanjutnya di ganti oleh krama Banjar Ubud Kaja yang telah lengkap dengan seragam saput polengnya.
Krama Ubud Kaja melanjutkan perjalanan bade hingga sampai di depan Kantor Camat Ubud. Selanjutnya, perjalanan bade dari Kantor Camat Ubud sampai didepan musen kasanggra olih Banjar Sambahan. Ratusan panyandang dari Desa Adat Bentuyung Sakti dengan ciri khas saet ambu pengikat kepalanya, dengan sorak sorainya melanjutkan perjalanan bade hingga ke setra dalem Puri. Tawa-tawa khusus duwen Bentuyung dipukul oleh kaprenah adik Tjokorda Bagus Santaka yang juga Ketua Yayasan Bina Wisata Kelurahan Ubud.
Estafet perjalanan panyandang Bale Naga Banda dari jaba Puri Kumuda Sari dilanjutkan oleh krama Banjar Gagah Tegalalang hingga di jaba Neka Gallery. Selanjutnya krama Banjar Pejengaji Tegalalang melanjutkan nyandang Naga Banda dari Neka Gallery hingga tiba setra Dalem Puri. Sesampainya Bade dan Naga Banda di setra Dalem Puri, Lembu tangi telah bersiap untuk dinaikkan di Bale Pebasmian.
Estafet perjalanan lembu tangi yang semula digotong oleh Banjar Ubud Tengah dari catuspata hingga jaba Puri Kumuda Sari dilanjutkan oleh krama Banjar Abianseka Mas hingga sampai didepan Neka Gallery. Selanjutnya perjalanan lembu dari depan Neka Gallery hingga setra Dalem Puri digarap oleh krama Desa Adat Junjungan.
Dalam iring-iringan pelebon menuju setra Dalem Puri siang itu juga diikuti oleh Sekaa Okokan dari Kerambitan Tabanan, Sekaa Angklung dari Sidan Gianyar, Sekaa Baleganjur Sekaa Teruna dari Pejengaji Tegalalang, Sekaa Baleganjur Sekaa Teruna Putra Sesana Ubud Kelod dan saat acara di Dalem Puri selanjutnya ditabuhkan gamelan angklung dari Sekaa Asta Suara Shanti.
Ubud hari itu tampak padat bersesak-sesakan. Dari atas ceraken bade, saya turut merasakan antusiasme serta kekompakan krama. Ribuan pasang mata di pinggir jalan juga tak kalah semangat ingin mendekat dan larut dalam perjalanan. Seluruh komponen masyarakat dan krama adat menyatu saling berbaur. Jalinan hubungan dan solidaritas yang saling menyatu ini, telah terpupuk dan mekar sejak bertahun tahun yang lampau.
Setibanya di setra Dalem Puri, kedua lembu dinaikkan di Bale Pabasmian dan bendusa pun mengelilingi bale pabasmian sebanyak tiga kali. Baris Katekok Jago Mengwi menari dengan penuh ketulusan menghadap ke bade dan kedua lembu di pabasmian. Layon Tjokorda Bagus Santaka dan simbol kwande Anak Agung Istri Putra dimasukkan ke lembu masing-masing. Lalu Ida Padanda Gede Putra Bajing kembali diriingi oleh Ida Padanda lainnya munggah memercikkan beberapa tirtha ke layon.
Setelah usai memercikkan tirtha, Naga Banda kemudian dinaikkan disebelah lembu Tjokorda Bagus Santaka dan acara dilanjutkan dengan pembakaran. Para panglinsgir, sanak keluarga serta kerabat dekat berduyun duyun naik untuk memberi penghormatan dengan menancapkan tiga buah dupa di masing-masing lembu. Api pun perlahan membesar dan membakar dua buah lembu dan satu naga banda siang itu. Pemandangan dramatik ini menyedot perhatian masyarakat yang telah siaga dengan ponselnya masing-masing untuk memotret peristiwa di bale pabasmian tersebut.
Pukul 19.30 WITA abu jenazah yang telah diupacarai kemudian diiring menuju Pantai Lembeng Ketewel untuk dilaksanakan prosesi nganyut. Upacara malam itu dipimpin Ida Padanda Gria Rangkan Ketewel serta dihadiri oleh Ida Padanda Istri Rai Keniten , Mangku Gede Payogan Agung Ketewel, Perbekel Ketewel serta prajuru dan panglingsir di Desa Adat Ketewel.
Pelebon Tjokorda Bagus Santaka dipersiapkan kurang lebih selama dua bulan mulai sejak almarhum wafat 2 Februari 2024. Nanceb karya dilaksanakan pada Sukra Paing Pahang tanggal 5 April 2024 dan nyiramin layon dilaksanakan pada Buda Paing Krulut tanggal 10 April 2024. Sedangkan ngreka kajang, mlaspas kajang, mlaspas naga banda dan upadesa dilaksanakan pada Wrespati Pon Krulut tanggal 11 April 2024.
Dua hari setelah upadesa dihaturkan ayaban Darpana Gede di Bale Semanggen yang salah satunya adalah persembahan kulawarga Puri Ageng Mengwi. Dalam rangka menyambut pelebon Tjokorda Bagus Santaka dan Anak Agung Istri Putra Srinah, di Puri Agung Ubud dilaksanakan pah-pahan kekaryan krama lanang.
Banjar Ubud Kelod mempersiapkan Bale Penyiraman, Surya, Bale Paturon, Bale Darpana, genah Naga Banda, serta Bale Pawedan. Banjar Ubud Tengah membuat sanan lembu. Banjar Sambahan mengerjakan pemasangan sanan Bade, Banjar Ubud Kaja mendirikan tragtag bade dan menaikkan tumpang bade di ancaksaji Puri. Sedangkan Banjar Taman Kelod menyiapkan Surya, Bale Pabasmian, Bale Pawedan dan Bale Salunglung di setra Dalem Puri. serta membuat sanan Bale Naga Banda. Desa Adat Bentuyung Sakti mendirikan tragtag bade di Setra Dalem Puri.
Selain itu, krama lanang di masing-masing Banjar juga melaksanakan paebatan secara bergantian di Bale Banjar masing-masing. Diluar krama lanang, keterlibatan krama istri juga terlihat dari persiapan upakara dan panyanggra atiti. Termasuk juga peran para yowana yang silih berganti ngaturang ayah megambel saat ngening dan tahapan lainnya.
Selama dua bulan, partispasi juga tampak dari kontribusi krama Payogan, Kebon Tegallalang, Gitgit Gianyar, Gagah, Pejengaji, Abianseka Mas, Junjungan dan Tegallantang baik dalam mempersiapkan sarana upakara, mamendak sulinggih, maupun diantarnya juga turut dalam mendukung proses kelancaran pembuatan bade.
Tjokorda Bagus Santaka merupakan putra tertua dari Ida Dewata Tjokorda Gde Agung Suyasa – seorang tokoh karismatik yang dikenal dekat dengan adat, agama, serta kebudayaan di bali. Semasa hidup, Tjokorda Gde Agung Suyasa tercatat sebagai Bandesa Desa Adat Ubud. Namanya juga dikenal luas sebagai salah satu inisiator dan penggerak pembangunan Pura Mandara Giri Semeru Agung Lumajang dan Pura Payogan Agung Kutai Kalimantan Timur.
Sepanjang usia produktifnya hingga wafat pada Tahun 2008, Tjokorda Gde Agung Suyasa yang merupakan putra dari rakawi Tjokorde Gde Ngoerah (sastrawan pencipta Geguritan Sri Natha Wasitwa Amla Nagantun, Geguritan Rajendra Prasad, Geguritan Sudamala, Kakawin Gajah Mada) ini, banyak keliling ke beberapa desa melakukan pengabdian sebagai pangrajeg karya.
Tjokorda Bagus Santaka sendiri lahir pada 11 Februari 1959 di Denpasar serta menikah dengan Tjokorda Raka Ernawati dari Puri Anyar Sayan. Perkawinannya menurunkan dua orang anak, yaitu: Cokorda Istri Tyas Utami, SE dan Cokorda Gde Agung Surya Dwidharma.
Saat menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Februari 2024 dini hari di Rumah Sakit Prof.IGNG Ngoerah, Tjokorda Bagus Santaka meninggalkan lima orang cucu. Salampah laku Tjokorda Bagus Sanataka di Puri Saren Kauh Ubud menyisakan kenangan serta membekas di hati beberapa masyarakat. Utamanya yang pernah disembuhkan serta memperoleh penanganan kesehatan non medis oleh almarhum.
Selain dipersembahkan untuk Tjokorda Bagus Santaka, Pelebon Puri Agung Ubud hari itu juga dipersembahkan untuk Anak Agung Istri Putra Srinah. Beliau lahir di Ubud pada 31 Desember 1933 serta akhirnya menikah dengan Alm. Kapten Pol (Purn) Tjokorda Ngurah Adnyana dari Puri Muwa Ubud pada tanggal 26 Mei 1953.
Anak Agung Istri Putra Srinah merupakan putri bungsu dari empat bersaudara yang lahir dari perkawinan Tjokorde Gde Ngoerah dengan Anak Agung Rak Gelgel Kupa di Puri Saren Kauh Ubud. Ayahnya merupakan sastrawan produktif serta tokoh penjaga ekosistem kesusastraan di Ubud era sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Anak Agung Istri Putra Srinah menamatkan pendidikan sekolah guru negeri di Malang tahun 1953 serta pernah tercatat sebagai Kepala Sekolah Dasar Negeri No.21 Denpasar. Beliau menghembuskan nafas terakhir di Puri Muwa Ubud pada tanggal 8 Januari 2024 serta telah dilakukan upacara makingsan di gni pada tanggal 17 Janjuari 2024 sebelumnya.
Beliau memiliki enam orang anak diantaranya : Dr. dr. Tjokorda Gde Dharmayuda. Sp.PD, KHOM, FINASIM, dr. Tjokorda Istri Sri Dharmasemadi, Sp.Rad, Tjokorda Istri Putri Dharmabudi, S.H, (Alm.) Tjokorda Istri Muter, Ir. Tjokorda Istri Sri Agung Dharmakartini dan Ir. Tjokorda Bagus Purnawarman Dharma Adnyana. Anak Agung Istri Putra Srinah meninggalkan 13 orang cucu dan 13 orang cicit.
Demikianlah untaian catatan yang dibuat untuk mengenang pelebon Puri Agung Ubud pada Redite Umanis Merakih tanggal 14 April 2024. Niat untuk menulikan peristiwa ini lahir dari panggilan hati. Hanya berupaya untuk mencatat sejauh yang penulis lihat, dengar, ketahui, dan rasakan. Tak dapat disembunyikan bahwa upacara yang dihaturkan sungguh menghadirkan rasa haru bagi banyak orang dan keluarga. Yadnya ini pun mengingatkan arti penting pertalian, nilai kebersamaan, solidaritas, serta semangat soliditas saling mengisi dan melengkapi antar komponen yang patut dipupuk serta dijaga kesuburannya.
Semoga catatan ini mampu menjadi pewaris ingatan bagi generasi masa depan. Mohon maaf jika ada kesalahan dan yang terlewati dalam penulisan ini.
“Duwenang sareng, Bantas Angge Aubudan”
*Beberapa sumber infornasi diperoleh dari angga Puri dan foto-foto dalam tulisan ini diambil dari laman media sosial Puri Agung Ubud. Beberapa foto lain yang mengimajinasikan kejadian dapat dilihat langsung pada laman media sosial Puri Agung Ubud