SETIDAKNYA ada tiga sumber yang dapat digunakan untuk menjelajahi perjalanan hidup Ida Padanda Made Sidemen. Sumber-sumber itu adalah Geguritan Salampah Laku, Ngatep Barong, dan Babad Ida Pedanda Made Sidemen.
Geguritan Salampah Laku memuat kisah hidup Ida Padanda Made Sidemen khususnya ketika baru menikah, proses berguru ke Gria Mandarawati Sidemen, sampai didiksa oleh Guru Nabenya.
Sementara itu, Ngatep Barong dan Babad Ida Padanda Made Sidemen menarasikan kronik leluhur yang menurunkan Ida Padanda Made Sidemen secara geneologis.
Karena Geguritan Salampah Laku telah banyak dibicarakan, mari kita catat sedikit tentang karya sastra Ngatep Barong dan Babad Ida Padanda Made Sidemen. Perlu disampaikan bahwa naskah lontar Ngatep Barong terdiri dari sejumlah teks seperti Manuk Dadali, Kidung Kadiri Pangalang, Ngatep Barong, dan Ida Padada Made Sidemen.
Karena teks tersebut mengulas tentang tata cara membuat tapel, mulai dari upacara penebangan pohon hingga ngerehang, karya sastra itu diberi judul Ngatep Barong oleh petugas penyimpan naskah.
Secara substansial, Ngatep Barong dan Babad Ida Padanda Made Sidemen memuat hal yang sama. Lantas, siapakah penulis kedua teks tersebut? Kita tidak tahu pasti.
Akan tetapi, dari semaian informasi yang coba disusun pengarang, tampaknya penulisnya adalah Ida Padanda Made Sidemen sendiri. Hal itu dikuatkan oleh keterangan-keterangan rinci tentang kekaryaan Ida Padanda Made Sidemen, baik dalam lanskap sastra, asta kosala kosali, maupun wala tanda.
Dalam Ngatep Barong, misalnya, disebutkan bahwa Ida Padanda Made Sidemen telah menyusun Purwagama Sasana atas permintaan Raja Denpasar, mengarang Kakawin Cayadijaya pada tahun 1863 Saka dan Kakawin Candra Bhairawa pada tahun 1864 Saka.
Tidak jauh berbeda dengan Ngatep Barong, pustaka Babad Ida Padanda Made Sidemen bahkan menguraikan secara rinci karya-karya asta kosala dan tapel yang pernah dibuat oleh Ida Padanda Made Sidemen.
Karya-karya tersebut di antaranya adalah barong kikit (ketet), rangda, rarung serta asta kosala-kosali di Desa Seminyak, rangda di Ceramcam, 44 kulkul, dan yang lainnya. Informasi rinci seperti itu tidak mungkin dibuat oleh orang lain kecuali penulisnya sendiri.
Terlepas dari figur yang mengadakan lontar Ngatep Barong dan Babad Ida Padanda Made Sidemen, kedua karya sastra itu menarasikan leluhur Ida Padanda Made Sidemen mulai dari Dang Hyang Nirartha, Padanda Mas, Padanda Balwangan, sampai Padanda Aseman.
Di samping itu, dua karya sastra tersebut juga memberi petunjuk tentang keahlian Ida Padanda Made Sidemen dalam bidang seni rupa dan sastra yang secara geneologis terwaris dari orang tuanya.
Catatan tentang aspek geneologis dalam lontar Ngatep Barong dan Babad Ida Padanda Made Sidemen bukanlah hal yang istimewa karena babad yang lain juga selalu mengutarakan hal yang sama. Sisi lain yang menarik dari dua teks tersebut justru terletak pada keterangan tentang motivasi Ida Padanda Made Sidemen menjadi pendeta.
Ida Padanda Made Sidemen sendiri memilih untuk berguru pada seorang pendeta bernama Ida Padanda Rai dari Gria Mandara, Sidemen-Karangasem. Kita tidak tahu pasti berapa lama proses berguru dan berburu pengetahuan tersebut berlangsung di antara Ida Padanda Made Sidemen dengan Nabenya.
Barangkali juga waktu spesifik yang membatasi proses belajar tersebut tidak penting, sebab murid yang mencintai pengetahuan akan belajar sepanjang hayat kepada gurunya tersmasuk juga semesta.
Geguritan Salampah Laku menyatakan bahwa Ida Padanda Made Sidemen menikah di usia dua puluh tujuh tahun. Lalu pada usia menengah beliau sudah belajar pada dua pendeta (tuuh bĕline manĕngah, wahu maguru ping kalih).
Sementara, proses padiksan dilakukan pada umur empat puluh sembilan tahun (duk diniksan mayusa 49 tahun). Usia yang menjelang setengah abad itu tentu waktu yang sangat matang untuk menempuh jalan di belantara dunia rohani. Tidak seperti sekarang, pendeta bisa saja lahir dari proses yang instan sesuai paket dan kebutuhan.
Babad Ida Padanda Made Sidemen menyatakan bahwa tujuan Ida Padanda Made Sidemen menjadi pendeta bukanlah karena ingin mendapatkan murid (doning madiksa, tan saking arĕp ing para sisya). Bukan pula karena ingin menyelesaikan berbagai upacara (tan saking arĕping ngaloka palasraya). Lantas apa tujuannya?
Sumber tersebut menyatakan bahwa tujuan Ida Padanda Made Sidemen menjadi pendeta adalah untuk niksayang peplajahan ‘menyucikan pelajaran’. Sebab, konon banyak tutur utama yang tidak diperbolehkan dipelajari apabila seseorang masih walaka (reh akeh tuture utama tan kawĕnangang pĕlajahin yan kari walaka).
Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa motivasi Ida Padanda Made Sidemen untuk menjadi pendeta adalah agar bisa memasuki dunia tutur utama. Tanpa madiksa atau menyucikan diri terlebih dahulu, pemegang otoritas ajaran dalam dunia tutur utama itu barangkali tidak akan mengizinkannya.
Spesifiknya, yang tidak mengizinkan itu tentu adalah guru rohani Ida Padanda Made Sidemen sendiri. Kenapa tidak diizinkan? Barangkali karena untuk memasuki duara pengetahuan tentang tutur itu seseorang harus menyucikan diri, baik secara fisik, mental, dan spiritual.
Sama seperti seseorang yang ingin menuangkan air jernih pada satu tempayan, maka orang tersebut perlu memastikan bahwa tempayannya sudah tak ternoda. Adakah alasan lainnya? Barangkali seseorang yang mempelajari tutur utama itu perlu diikat oleh sasana.
Dengan sasana atau etikalah, seseorang berusaha menjaga kesucian diri dan pelajaran tentang kesucian yang ditekuninya.
Sekali lagi, Ida Padanda Made Sidemen bertujuan menjadi pendeta untuk bisa terus belajar, baik pengetahuan tentang hal-hal sekala ataupun niskala, bukan untuk menyelesaikan upacara atau mendapatkan murid.
Kenapa? Jika tujuan utamanya adalah menyelesaikan upacara dan mendapatkan murid, dapat dipastikan komersialisasi akan terjadi di lanskap rohani. Dan gejala itu tengah terjadi saat ini![T]