SEBAGAI penjaga dapur, sudah seharusnya saya menjajakan jajanan dan minuman. Tapi sambil menanti pembeli memesan, di sela-sela itu saya mendengar-mengamati bagaimana kegiatan hari pertama Mahima March March March 2024, yang diisi kegiatan workshop menulis puisi—yang sangat menyenangkan—yang digelar pada Jum’at, 15 Maret 2024, di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja.
Para peserta yang terdiri dari mahasiswa dan siswa-siswi SMA itu, menjadikan tempat kegiatan terasa sempit, berdesakan, karena begitu ramai setelah mereka datang. Dan di tengah perhatian mereka menyimak, Bunda Kadek Sonia Piscayanti, selaku pembicara sekaligus tuan rumah, memberikan sambutan hangat kepada mereka.
Bu Sonia menceritakan sedikit tentang perjalanan Komunitas Mahima yang didirikan pada tahun 2008, dan tetap berusaha konsisten selama itu dalam mengembangkan kesusastraan di Bali Utara sampai hari ini. Setelah itu ia menjelaskan tentang seluk-beluk puisi—Bu Sonia memaparkan materi yang telah disiapkan dengan apik melalui layar proyektor.
Di tengah para penyimak, ia cukup mengejutkan saya ketika mengatakan “hidup adalah puisi”. Ia banyak mengutip puisi penyair klasik dari Barat, saat memberikan wejangan pembuka-filosofis tentang hidup dan puisi sebelum dilanjutkan secara intens oleh pemateri kedua, Pak Ole—panggilan akrab Made Adnyana Ole, penyair, wartawan senior, sekaligus suami Bu Sonia.
Kalimat pendek, tetapi sangat mendalam itu membuat saya sadar bahwa dalam hidup manusia memang mengandung puisi. Hanya saja tak banyak orang menyadarinya. Selain itu, Bu Sonia juga mengatakan sesuatu yang lain, bahwa kita mesti memeriksa apa-apa yang sudah kita lakukan, atau yang dilewati oleh diri. “Begitulah berpikir filosofis-puitis kira-kira,” katanya.
Mengingat Chairil Anwar
Sedang dalam menulis puisi, menurut Bu Sonia, adalah sama halnya kita menumpahkan sesuatu atas apa yang kita rasakan. Sehingga, puisi itu kemudian menjadi dahsyat, menjadi sesuatu yang dapat diperhitungkan keberadaanya karena terdapat sesuatu hal di dalamnya. “Menulis tanpa tujuan bukan menulis sama sekali,” ujarnya.
Ia kemudian mencontohkan seperti apa puisi yang dapat melibatkan perasaan atau emosional terhadap orang lain. “Puisi Aku Chairil Anwar adalah salah satu contoh puisi (yang ditulis dalam suasana penjajahan) telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka,” kata Bu Sonia.
Made Adnyana Ole dan Kadek Sonia Piscayanti pada workshop puisi Mahima March March March 2024 | Foto: Hizkia
Pada puisi Chairil Anwar, menurutnya, merupakan salah satu puisi yang dapat membakar jiwa seseorang—bahkan lebih daripada itu—di zamannya.
“…Kalau sampai waktuku. Ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang. Biar peluru menembus kulitku. Aku tetap meradang menerjang. Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari..“— Aku, Chairil Anwar.
Cara kerja puisi adalah kebebasan. Suara merdeka dari penyair adalah suatu renungan paling dalam untuk menyadarkan sesuatu yang tertutup, seperti rasa ketakutan. Sebab itu, dalam puisi tak hanya diperhitungkan seberapa indah dia dapat dibaca, melainkan pula seperti apa pesan di dalamnya.
Chairil Anwar (1922-1949) merupaka penyair muda kala itu. Dikenal sebagai ‘Binatang Jalang’ melalui puisinya berjudul “Aku” yang ditulis pada tahun 1943. Puisinya tersebut dianggap berbahaya bagi Kolonial Belanda. Sebab dianggap berpotensi dapat merubah kesadaran seseorang terhadap kesadaran untuk merdeka, terutama pada kalangan anak mudanya saat itu.
Bahasa Memiliki Kekuatan
Kita mesti menyadari bahwa bahasa itu memiliki kekuatan tersendiri, dan puisi salah satu daripada itu. Bahkan tentang cinta, puisi dapat mencitrakannya lebih pekat atau berarti.
“Puisi cinta Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin, kita bisa membayangkannya bagaimana cinta ditulis dengan sangat dalam,” ujar Made Adnyana Ole (Pak Ole) saat memberikan pelatihan cara menulis puisi setelah istrinya memberikan materi.
“ ..Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..”— Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono.
Dalam puisi, tentu yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana mereka, penyair, menulis indah seperti itu, kata Pak Ole. Penyair seperti memiliki mata-cara pandang tersendiri atas apa yang ia lihat. Sehingga, sosial-kultural dan tempat di mana penyair tinggal pula sangat berpengaruh terhadap puisi-puisinya yang dibuat.
“Dalam percakapan, ‘kata’ dapat menegaskan apa yang kita rasakan untuk menguatkan sesuatu. Semisal ‘sakkiiiittt..’ untuk menjelaskan betapa sakitnya dirinya dalam menjelaskan. Tapi dalam puisi, itu tidak mesti, justru berbeda cara mereka (penyair) menuliskan perasaannya terhadap sesuatu. Mereka (penyair) menggunakan-memilih diksi yang tepat. Yang padat. Tidak biasa. Dan tentunya yang indah saat dibacakan,” tutur Pak Ole.
Apa yang dikatakan Pak Ole di atas, secara sederhana dapat saya pahami bahwa cara penyair menuliskan sesuatu, memilih diksi, merupakan hal penting. Sehingga mereka sangat berbeda atau tidak klise. Dari sanalah kita selalu melihat puisi seperti memiliki kekuatan tersendiri (khas) dalam menjelaskan sesuatu (pesan).
Dalam mencontohkan seperti apa puisi yang bagus, Pak Ole kemudian membacakan satu puisi cinta yang lain, puisi karya Pablo Nerruda berjudul “Aku Bisa Saja Menulis Puisi Paling Sedih Malam Ini”, yang diterjemahan oleh Saut Situmorang.
“..aku bisa saja menulis puisi paling sedih malam ini. misalnya, menulis: “malam penuh bintang, dan bintang bintang itu, biru, menggigil di kejauhan..”
Pak Ole kemudian menjelaskan, bahwa dalam puisi seperti itulah contoh puisi yang bagus. Kita bisa merasakan tidak biasa dalam pilihan diksinya.
“Tentu, dalam puisi cinta seperti itu, tak hanya mengandalkan intuisi saat menuliskannya. Tetapi logika (kegiatan berpikir) dalam menulis puisi juga menjadi hal penting. Agar puisi menjadi bagus, masuk akal, dan tidak mengawang-ngawang,” sambung Bu Sonia, melanjutkan pembahasan suaminya, Made Adnyana Ole.
Praktik Menulis Puisi
Tampak dari sudut dapur, mereka, para peserta itu, sangat antusias. Pada sesi praktik, setelah mendengar panjang lebar dan padat seperti apa puisi dan bagaimana cara menuliskannya, peserta diminta untuk membuat masing-masing satu puisi bebas dan membacakannya di depan.
Berikut dua puisi peserta yang sempat dibacakan dan dapat saya tulis dari dapur:
Darah
Oleh Adip
Kamu selalu sulit diterka
Bagai darah tanpa wadah
Mengucur terang merah-
Kadang biru,
Yang kasang bercabang,
Hingga ujungmu,
Tak terlihat kemana
Hitam legam bersama,
Hidangan padang seserhana.
Runtuhkan sinar rupa,
Karena suryaku yang gerhana.
Namun darahmu ramah.
Hangat saat rasa bertemu rasa.
Aku takut,-
Darahmu terasa beku.
Tampak kebiruan ungu.
Takut jelas di bawah punggungmu.
Bolehkah aku mendahuluimu?
Mahima, 15 Maret 2024.
Dirimu
Oleh Frisca
Tatapanmu…
Bagaikan petir di malam hari,
Penuh cahaya dan berhasil menyambar hati
Senyumanmu…
Selalu berhasil meluluhkan hati kecilku
Bagaikan sebuah perahu di lautan,
Begitulah diriku yang terombang ambing
Oleh pesonamu.
Bagaikan sebuah Aliran Sungai, Cintaku selalu mengalir
Untuk dirimu dan hanya dirimu.
Mahima, 15 Maret 2024.[T]