PERHELATAN politik akan dilaksanakan kurang dari seminggu. Kegerahan politik semakin tajam terasa. Lembaga-lembaga survei seolah berlomba-lomba mempublikasikan hasil surveinya. Masyarakat disuguhi data-data yang notabene belum bisa dipercaya keakuratannya.
Pernyataan presiden boleh berkampanye telah menimbulkan perdebatan. Pembagian bansos yang dilakukan presiden menuai kritik dari masyarakat. Apakah pelaksanaan pemilu tahun 2024 akan berjalan dengan damai? Masyarakat mengharapkan pemilu berjalan dengan damai.
Kaum intelektual kampus merasakan kegerahan dengan situasi perpolitikan saat ini. Mereka menyuarakan pemilu yang beretika dan berjalan dalam rel demokrasi Pancasila. Pelanggaran kode etik telah dilakukan oleh ketua MK dengan meloloskan Gibran sebagai cawapres menuai kontroversi. Anwar Usman yang merupakan ketua MK, dinyatakan melanggar etika oleh MKMK. Ini merupakan bentuk dan tindakan mencederai demokrasi.
Hadirnya Jokowi di setiap daerah, jika untuk berkampanye, sudah tentu untuk kemenangan capres dan cawapres tertentu. Bagi-bagi bantuan dikemas dalam bentuk bantuan sosial. Tindakan ini menuai pro dan kontra. Presiden bahkan secara langsung membagikan bansos kepada pengguna jalan di depan istana.
Melihat situasi perpolitikan seperti ini, kaum intelektual kampus menyuarakan keprihatinannya dalam bentuk petisi. Kaum intelektual kampus ingin menyadarkan pimpinan untuk bertindak berdasarkan norma dan etika dalam demokrasi.
Suasana jelang pemilu sepertinya tidak baik-baik saja. Ada tuduhan bahwa petisi yang telah dibuat diduga sebagai strategi elektoral. Hal ini merupakan bentuk kecurigaan yang tidak berdasar.
Runtuhnya mahlingai kekuasaan Orde Baru karena perjuangan kaum intelektual kampus. Kampus sebagai garda terdepan untuk penegakan demokrasi dan menjatuhkan kekuasaan yang otoriter.
Semangat reformasi yang dibangun dengan susah payah, setelah berjalan 26 tahun, tampaknya mengalami kemandekan. Aroma hausnya kekuasaan telah menghancurkan tatanan demokrasi yang telah dibangun.
Kritikan yang datangnya dari kaum intelektual kampus kepada pemerintah, membuat pemerintah tidak bergeming. Indikasi pelanggaran-pelanggaran terus berjalan. Pada tanggal 5 Februari 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terbukti melanggar etik.
Dalam putusan tersebut, para komisioner KPU terbukti melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2024.
Pelanggaran etik terbukti telah dilakukan para komisioner karena tidak mengindahkan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan revisi aturan prosedur terkait syarat calon presiden dan wakil presiden pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023.
Sebagai akibat dari tindakan para komisioner tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari dikenakan sanksi berupa peringatan keras terakhir, sedang enam orang komisioner lainnya dikenakan sanksi peringatan keras.
Pemilu riang gembira dan pemilu santun tampaknya hanya slogan pemanis. Bagaimana pemilu bisa riang dan santun jika kondisi pelanggaran etik dipertontonkan kepada masyarakat. Kepada siapa masyarakat menuntut keadilan.
Cawe-cawe pemerintah cenderung mendukung salah satu pasangan capres dan cawapres. Kepada siapa masyarakat mengadu? Hadirnya pemikir-pemikir dari kampus tetang pemilu 2024 hendaknya diterima sebagai masukan untuk menciptakan pemilu yang riang gembira dan berkeadilan.
Jangan justru sebaliknya, menuduh para pemikir kampus sebagai partisan partai tertentu. Itu semua murni gerakan moral.
Inilah sebenarnya merupakan bentuk revolusi mental yang digaungkan pemerintah. Kaum intelektual kampus sebagai penegak demokrasi telah terbukti. Tumbangnya Orde Baru adalah akibat dari gerakan moral walaupun beberapa nyawa telah hilang.
Tuduhan yang tendensius ditujukan kepada kalangan akademisi kampus merupakan bentuk pengerdilan demokrasi dan pemerintah terlalu baper dengan gerakan ini.[T]