“Seorang seniman-cendikiawan bukan saja terampil dalam berkarya, tetapi juga pemikir yang kritis, kreatif, inovatif, dan memiliki kepekaan rasa dan hati nurani.” —Sal Murgiyanto, 2016
BEBERAPA minggu belakangan ini, di Bali Utara khusunya di Kota Singaraja, isu kesenian sedang memanas, karena selisih paham antara dua komunitas yang sudah menoreh tinta emas di panggung kesenian Bali Utara, bahkan Bali.
Dalam obrolan singkat sambil menunggu pementasan sang maestro Putu Wijaya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, saya membahas isu itu dengan dua orang sahabat, Pak Ole—maksudnya Made Adnyana Ole—dan Anggara yang saya posisikan sebagai pembaca “ulung” kesenian Bali Utara, apalagi sama-sama minumnya kopi pahit tanpa gula.
Tetapi jelas, pembacaan kami terhadap isu itu, belum sekental kopi pahit, atau menyelam sedalam samudera, tatap mata kami masih terhalang langit ibu kota negara yang berkabut.
Jadi, tulisan ini bukan penceritaan kembali terhadap isu perselisihan itu, tetapi upaya saya merefleksi, membaca potensi dan membidik posisi terbaik setelah belajar dari peristiwa perselisihan yang terjadi.
Saya ingin mengawainya dengan sebuah refleksi:
Coba kita cermati bagaimana Bali Utara sudah mencatat peradaban kesenian sejak zaman Bali kuno melalui Prasasti Bebetin angka tahun 818 çaka (896 M). Adalah sebuah prasasti yang ditemukan di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng.
Pada lembar 2 b, no 5, tertulis pamukul (penabuh gamelan), pagending (pesinden), pabunying (penabuh angklung), papadaha (penabuh kendang), parbhangsi (peniup suling besar), partapukan (perkumpulan topeng), dan parbwayang (dalang).
Dalam pembacaan saya, isi prasasti ini dibuktikan dalam beberapa artefak hidup yang masih diwarisi masyarakat Buleleng, di antaranya Terompok Beruk di Desa Tigawasa yang disuarakan 24 jam selama usaba desa; Gamelan Gambang di Desa Jineng Dalem; Wayang Wong di Desa Teja Kula; Tari Rejang Desa Pedawa yang berjumlah 7 tarian.
Selain itu, Bali Utara juga mewarisi kesenian wayang kulit yang tidak pernah “usang”, karena wayang dipentaskan dalam berbagai jenis ritual upacara, seperti tiga bulanan, perkawinan, ngaben, dan otonan. Ekosistem wayang semacam ini hanya ada di Bali Utara.
Berbicara Buleleng, ingatan saya selalu terpatri dengan kesenian Joged Bumbung yang fenomenal, Janger Menyali yang unik, atau musik vokal Rengganis yang mengalun seperti suara katak di tepi sawah.
Banyak catatan yang menyinggung Bali Utara sebagai “episentrum” kesenian, karena Bali Utara melahirkan seniman-cendekia yang besar seperti Ida Ketut Djelantik, Gde Srawana, Gde Manik, Pan Wandres, I Ketut Mardana, dan Putu Sumiasa. Mereka adalah barisan seniman besar Buleleng pada sebelum dan pasca kemerdekaan.
Catatan besar lainnya juga tidak lekang oleh waktu, tentang sosok almarhum I Nyoman Durpa yang mempopulerkan bondres dengan nama Dwi Mekar di kalangan masyarakat Buleleng—bahkan Bondres Dwi Mekar bertranspormasi sebagai sanggar yang menelurkan sebagian besar seniman muda dan sanggar seni di Kota Singaraja khususnya.
Sampai di sini, pernyataan Pak Sal tentang “seniman-cendikiawan” itu ada benarnya. Episentrum kebudayaan ini telah melahirkan seniman-cendikiawan yang bukan saja terampil dalam berkarya, tetapi juga pemikir yang kritis, kreatif, inovatif, dan memiliki kepekaan rasa dan hati nurani. Imbuhan saya terhadap pemikiran Sal Murgiyanto, karakteristik seniman Bali Utara itu “berani”.
Lihat saja karya-karyanya yang melegenda. Tari Legong menjadi kekebyaran Kebyar Legong (sekarang Truna Jaya), Tari Nelayanan dengan lirik bahasa Indonesia. Bahkan menurut Anggara, banyak motif musik Jawa digunakan oleh Merdana dalam karyanya.
Saya juga bisa melihat wayang Punakawan wayang tradisi, yaitu Tongklang dan Klenyot, dua orang tokoh punakawan wajahnya seperti anjing (sejenisnya) berdasi, dan menggunakan jas.
Perihal penting yang saya dapatkan pada obrolan itu, ada kepekaan rasa dan hati nurani yang menjadi pembedanya. Seniman-cendikiawan itu tidak sekadar seniman tukang, tapi pengalaman badan atau tubuhnya diimbangi dengan gagasan yang menjadi ciri kaum arif.
Seorang seniman-cendikiawan bukan sekadar seniman yang terampil menciptakan karya, tetapi juga memiliki kepekaan rasa antara sesama dan hati nurani layaknya lantunan Sinom yang manis (merdu) nadanya.
Karena, seniman cendikiawan yang lahir di Bali Utara bukan berperan melayani kebutuhan budaya ekonomi-kapitalis, tetapi mereka adalah pejuang yang melakukan negosiasi yang rumit, cerdik, dan kreatif dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi di tengah gempuran para penjajah ataupun modernisasi.
Membaca Potensi Kesenian Bali Utara
Saya menoleh ke arah pintu masuk TIM, tidak sabar melihat pemanggungan sang maestro Putu Wijaya untuk kali pertama. Tapi ternyata hanya pemberitahuan untuk mengambil nasi. Baiklah, kami memutuskan untuk membeli cilor saja, masakan abang-abang pinggir jalan yang enak rasanya, kata kawan yang mencoba duluan.
Sambil menunggu cilor, Pak Ole berkata, “Ardi, lembaga pendidikan itu harusnya punya peran yang berbeda dari pada Balai Banjar!”. Ah, saya sudah biasa mendengar “celotehan” seperti itu dari Pak ole. Saya pun bertanya, “Apa yang bisa saya sumbangkan?
“Buatlah riset berkualitas. Jadikan hasil riset sebagai karya yang berdampak, ciptakan ruang-ruang diskusi. Karena tua tua rage pida to demen nutur (orang tua dahulu senang berdiskusi),” jawab Pak Ole ceplas-ceplos seperti biasanya.
Mendengar pernyataan itu, saya ingat dengan perkataan Bapak I Ketut Kodi (seniman topeng dan dosen ISI Denpasar) dalam sebuah diskusi saya dengannya yang mempersoalkan rasa kehilangan kegiatan “nutur” (diksusi) di ranah seni. Karena bagi beliau, pekerjaan seniman itu, selain “berimajinasi dan bekreasi, adalah nutur. Banyak ide dan karya yang lahir dari nutur.
Bagi saya yang diberikan tugas mengelola Prodi Pendidikan Seni dan Budaya STAH N Mpu Kuturan Singaraja, maka perkataan Pak Ole itu tantangan yang harus dikerjakan.
Sebagai lembaga pendidikan seni yang masih belia, tidak memiliki dosen-dosen bidang seni yang senior, apalagi profesor, apa yang kami jual? Kami menawarkan program dosen praktisi: mengajak langsung mahasiswa belajar dengan praktisi dengan datang langsung ke tempat tinggal praktisi pada mata kuliah Magang Nusantara.
Melaksanakan penelitian yang berdampak dan dapat diinternalisasikan ke dalam karya-karya baru (kesenian, atau media pembelajaran seni). Pengabdian masyarakat yang berkualitas pun kami wujudkan dengan pelatihan kesenian Kecak di Desa Tembok (2023), pelatihan drama wayang di Yogyakarta (2023), workshop kesenian digital di SMKN 1 Sukasada (2022).
Kami juga memfasilitas ruang diskusi dan pentas karya bertajuk “Suluh Tulis”, sebuah program mandiri yang digagas oleh Prodi Pendidikan Seni dan Budaya STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Program ini memberikan ruang untuk karya-karya mahasiswa dan dosen, bahkan ke depan akan terbuka untuk umum, namun lebih selektif.
Hal semacam ini banyak dilakukan oleh kampus-kampus besar di luar negeri seperti TNUA (Taiwan), Lasale Collage (Singapura) dan masih banyak lainnya. Bahkan TNUA mengirim karya terbaik mahasiswa untuk tampil di salah satu ajang tari berkelas dunia, Indonesia Dance Festival, namanya.
Ke depan, kami merancang program “belajar bersama maestro” yang akan menjadi program uji kompetensi mahasiswa dan di akhir mahasiswa akan mendapat sertifikat kompetensi yang akan menjadi surat pendambing ijazah.
Selain itu, kami mewajibkan mahasiswa untuk belajar dan menggunakan bahasa Inggris, karena rancangan program Summer Class akan coba dibuka bagi mahasiswa luar negeri untuk belajar kesenian Bali Utara.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita itu, tentu jalinan kolaborasi harus dibangun dengan arah yang jelas. Potensi ke depan: memacu penelitian lintas disiplin, membangun hubungan kerja internasional baik lembaga pendidikan, pemerintah ataupun perusahaan swasta (industri), dan menyediakan ruang pameran dan pertunjukan seni yang berkualitas.
Dengan aset kesenian yang begitu melimpah, saya meyakini Buleleng bisa membuat festival semacam World Heritage Festival atau Folk Art International Festival. Dengan begitu, maka banyak negara akan menghadirkan seniman-senimannya untuk datang ke Bali Utara untuk melakukan diplomasi budaya.
Beberapa kampus yang ada di Buleleng pasti akan ikut bekerja dan merayakannya. Percayalah, alam Bali Utara masih menawan di mata dunia. Namun, fasilitas dan akomodasi budayanya mesti disiapkan dengan sungguh-sungguh.
Membidik Posisi Terbaik
Dalam kesempatan ini, saya akan membahas dua hal, yaitu posisi literati dan intelegensia. Literati bersikap lebih konservatif, tertutup, inklusif, dan berorientasi ke masa lalu. Sedangkan intelegensi bersikap progresif, terbuka, demokratis, dan berpandangan ke depan (Clifford Geertz dalam Murgiyanto,2016).
Posisi literati difokuskan untuk melakuakn upaya konservasi seni dan melakukan progam seni iklusif. Beberapa dosen Prodi Pendidikan Seni memiliki paradigma semacam ini, bahkan prodi mendorong untuk menekuninya dengan serius mengkonservasi dan membuat kajian-kajian mendalam tentang tradisi kuno.
Upaya konservasi semacam ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng yang saat ini cenderug melakukan upaya rekontruksi dan melindungi kesenian-kesenian tradisi. Itu tugas utama dan mulia.
Kegiatan Fransh Hakkemars sebagai Dosen tamu di Prodi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Mpu Kututaran Singaraja pada tanggal 8 Agustus 2023 / Foto: Dok. Ardiyasa
Namun, perlu juga kita melihat pergerakan seniman-seniman Barat yang hadir ke Bali Utara. Baru-baru ini, misalnya, seperti Frans Hakkemar, dosen tamu di Prodi Pendidikan Seni dari Belanda yang datang membawa Teater Boneka sebagai kesenian tradisi di negaranya.
Atau Cindy, kawan seniman dari Salandia Baru yang memanfaatkan dana Bali Childern Fondation untuk mementaskan wayang ke daerah-daerah terluar dan terdalam dari Pulau Bali. Atau pergerakan Made Mantle Hood, seorang dosen dari Universita Putra Malaisya yang datang berulang kali ke bali untuk meneliti gamelan sampai ke pelosok Bali Utara.
Jika mundur ke belakang, melihat Collin Macphee (1928) sudah datang ke Bali dan membuat dokumentasi Gong Kebyar di Bali Utara, atau kita semua mungkin masih ingat cerita alm. I Ketut Santosa yang menceritakan para peneliti luar negeri dan dalam negeri silih berganti datang meneliti lukisan wayang kaca di Desa Naga Sepaha.
Pemerintah Daerah Buleleng dengan berbagai jangkauan kerjasamanya, saya yakin sangat bisa bahkan lebih baik dari mereka yang saya sebut sebelumnya.
Bagaimana dengan posisi intelegensia?
Tidak dimungkiri gagasan-gagasan dan karya dosen banyak yang ingin mengembangkan media pembelajaran berbasis Artificial Intelligent (AI), video pembelajaran interaktif berbasis Canva, atau alih wahana karya sastra ke dalam media baru (pertunjukan panggung/ film).
Kedatangan Mahima di Buleleng sangat memberi warna bagi dunia kesenian Bali Utara, karena seni sastra—khususnya sastra modern—seakan menemukan rumahnya kembali. Begitu pula kehadiran Jro Dalang Sembroli, misalnya, yang begitu berani menerjang kesenian tradisi yang sudah mengakar dengan karya-karya baru namun tetap masih bernapaskan tradisi.
Atau Dek Geh dengan usahanya yang konsisten berkarya tari kontemporer. Termasuk banyak seniman muda Buleleng yang sangat getol dalam berkarya—walaupun masih banyak orientasinya pentas di Pesta Kesenian Bali (PKB).
Pada penghujung tahun 2023, misalnya, Mahima menghadirkan Singaraja Literary Festival sebagai tawaran yang berbeda jika dibandingkan dengan festival besutan pemerintah.
Festival tersebut menyedikan ruang diskusi sastra dan alih wahana karya sastra ke dalam media baru. Di kampus, Prodi Pendidikan Seni juga hadir program “Suluh Tulis” yang hadir dalam sekala yang kecil dalam memfasilitasi ruang diskusi dan pentas karya pertunjukan seni.
Di Bali Utara sering sekali mewacanakan dangin njung dan dauh njung. Siapa yang literati? Siapa yang intelegensia? Apakah Gde Manik konservatif? Ketut Mardana programatik? Atau sebaliknya? “Menurut Kadek gimana?” Saya bertanya ke Kadek Anggara.
Tottttt totttt…
Aduh, sial lagi. Enak-enak makan bakso rujak, karnet bus malah sudah memanggil. Saya harus buru-buru, itu tanda saya harus segera naik bus dan siap-siap untuk… tanceb kayonan.[T]