JUDUL di atas saya ambil dari materi wartawan sekaligus sastrawan Putu Fajar Arcana yang disampaikan pada workshop penulisan cerpen yang diselenggarakan Alinea melalui aplikasi konferensi video Zoom dan streaming di YouTube pada Minggu, 12 Februari 2023. Perkataan “cerpen baik” dan “cerpen baik-baik” lahir dari logika mendiang sastrawan Budi Darma yang dalam satu percakapan pernah mengatakan tentang kritikus baik dan kritikus baik-baik. Menurutnya, kritikus baik sudah pasti baik-baik, tetapi sebaliknya kritikus baik-baik belum tentu baik.
Atas dasar logika tersebut, Putu Fajar Arcana kemudian membuat perbandingan dengan dunia cerpen, setidaknya meneropong dari jendela kuratorial yang ia lakukan selama menjadi Redaktur Cerpen Kompas (2010-2022). Kata Fajar Arcana, cerpen baik, menurut logika Budi Darma tadi, adalah cerpen yang memenuhi standar kerja kurasi para kurator, sehingga layak untuk dimuat. Bahkan tak jarang cerpen baik bisa dikategorisasi sebagai cerpen istimewa.
Sedangkan cerpen baik-baik adalah cerpen yang patut dipertimbangkan sebagai cerpen yang layak muat. Cerpen baik-baik punya kelengkapan yang lumayan sehingga layak disebut sebagai sebuah cerpen, tetapi belum tentu dimuat. Pertanyaannya, seperti apakah cerpen baik dan cerpen baik-baik itu dalam pandangan kuratorial sebuah media massa atau kritikus sastra?
(Dibanding dengan novel dan puisi, cerpen merupakan format sastra yang paling akrab bagi khalayak, seperti yang dikatakan Hasan Aspani dalam diskusi publik Komite Sastra DKJ dua tahun yang lalu. Dari bentuknya yang tidak sepanjang novel dan kalimat-kalimatnya yang tidak segelap puisi, membuat cerpen lebih luas dalam menciptakan keterlibatan literasi. Karena itu pada tahun ’60-an, koran-koran nasional memberi ruang bagi para penulis untuk kemudian mempublikasikan cerpen-cerpennya.
Sejak saat itu koran menjadi kanal paling efektif dalam mendistribusikan cerpen. Dengan kurasi yang baik, koran-koran tersebut mampu menjaga mutu cerpennya sehingga menjadi tolok ukur sastra Indonesia, bahkan berhasil menjelmakan dirinya sebagai “rezim” yang menentukan wajah dan warna sastra Indonesia—meski hari ini pandangan tersebut tampaknya mulai luntur.)
Dalam materinya—yang juga dimuat di tatkala.co itu—Fajar mengatakan bahwa cerpen baik sudah pasti memiliki kelengkapan anatomi yang utuh dan sudah pasti pula layak dimuat sebagai sajian di sebuah media massa. Umumnya, cerpen baik memiliki hal-hal sebagai berikut ini: struktur cerita yang kokoh dan utuh; karakterisasi tokoh yang kuat; pengelolaan konflik yang tajam; penyajian suspense yang perlahan, tetapi menggores dalam; aliran plot yang secara perlahan menjawab seluruh penasaran kurator/pembaca; menyajikan surprise yang argumentatif; membungkus pesan dalam narasi yang impresif; mengolah bahasa secara kreatif, tetapi sederhana dalam tuturan; dan bila perlu memberi peluang bagi tafsir pembaca terhadap peristiwa nyata.
Sedangkan cerpen baik-baik adalah sejenis cerpen yang ditulis dengan kualitas standar. Tidak jelek, tetapi juga tidak bagus. Oleh sebab itu posisinya “dipertimbangkan” sebagai cerpen layak muat, bukan berarti sudah layak dimuat.
Umumnya, cerpen baik-baik memiliki hal-hal sebagai berikut: anatomi struktur cerita lengkap, tetapi tidak kokoh; karakterisasi yang longgar; konflik yang kurang terkelola secara baik; tidak menyajikan suspense sama sekali; aliran plot yang tersendat-sendat, terkadang mandeg di sana-sini karena terlalu banyak yang ingin diceritakan; sering kali tidak memiliki surprise, sehingga kurang mengesankan; tidak mampu membungkus pesan dalam narasi cerita yang baik; bahasa yang kurang kreatif, bukan tidak mungkin mudah ditemukan typo; hanya menyajikan cerita secara telanjang, sehingga tertutup kemungkinan ditafsir secara berbeda.
Hanya saja, kata Fajar, cerpen baik dan cerpen baik-baik, hampir selalu memiliki pembukaan cerita yang mampu memancing seorang kurator untuk meneruskan membacanya. Kedua cerpen ini sama-sama memiliki kemampuan bercerita (story telling) yang menjanjikan. Celakanya, dalam tiga atau empat paragraf akan mulai terlihat bahwa cerpen baik-baik seperti ciri-ciri yang telah disebutkan tadi. Sering pula terlalu asyik bercerita tentang diri sendiri, mirip-mirip curhatan, lalu kelupaan memberi perspektif yang lebih membuka kemungkinan lahir sebagai cerpen baik.
Menurut Fajar, kunci lain yang lebih spesifik untuk cerpen baik terletak pada bagian pembukanya. Ia selalu menawarkan banyak kemungkinan bagi kurator atau pembaca untuk terus mengikutinya. Sering kali bahkan karena membuka cerita dengan cara yang penuh teka-teki, berhasil memancing kurator untuk terus membacanya.
Dalam kasus kumpulan cerpen Singa Raja Berkisah (2023), bagi orang yang sering membaca cerpen, akan dengan mudah menemukan mana cerpen baik dan mana cerpen baik-baik di sana—apalagi kalau mau bersabar dengan membaca pengantar panjang dari I Made Sujaya terlebih dahulu.
Realis, Autobiografis, dan Surealis
Singa Raja Berkisah memuat 24 cerita pendek (cerpen) tentang Kota Singaraja—kota yang bagi beberapa teman, diasosiasikan dengan kebahagiaan jika bukan surga itu sendiri. Pantai. Bukit. Pohon nyiur. Sinar matahari. Tapi, menurut saya, surga juga punya tekanan sendiri. Di kota ini, di lorong-lorong gelap di pinggiran, di kontrakan-kontrakan busuk yang ditinggali mahasiswa miskin, sering berteriak: “Berbahagialah, sialan!”—sebuah tekanan kehidupan yang tak terelakan.
Dan di abad kedua puluh satu ini, kebahagiaan Singaraja tentu bukanlah tergantung pada dewa-dewa atau keberuntungan, sebagaimana yang dulu terjadi dalam sejarah manusia. Tidak, kebahagiaan siap diambil di sini. Yang kita butuhkan adalah kemauan untuk mengumpulkannya, cukup inisiatif untuk terlebih dahulu mencobanya, dan sudah barang tentu, untuk ukuran beberapa orang, cukup duit untuk membeli ayam di KFC, nongkrong di MCD, atau menghabiskan waktu di keramaian Pantai Penimbangan—yang sekarang lebih mirip diskotek daripada pantai itu.
Atau cukup menikmati malam, duduk di angkringan-angkringan Jl. A Yani, menikmati seporsi nasi kuning, gorengan, kopi, dengan segala macam obrolan, dari mulai yang berkualitas macam politik, sastra, agama, filsafat, yang keluar dari bualan-bualan (yang mengaku) aktivis mahasiswa, sampai yang jorok macam obrolan tentang janda, film bokep terbaru, hingga siapa pemain ayam kampus saat ini. (Situasi dan kondisi tersebut beberapa terekam dalam Singa Raja Berkisah.)
Benar. Sebagian besar cerpen yang termuat dalam Singa Raja Berkisah memang berangkat dari pendekatan realis dan semacam pengalaman pribadi—autobiografi—para penulisnya.
Aliran realisme biasanya berangkat dari observasi terhadap dunia nyata. Dunia yang bisa terbukti, terukur, dan terindra. Memiliki cerita yang koheren dan bertujuan. Dan dunia dikendalikan oleh hukum sebab-akibat. Tengoklah cerpen Safir Tiba di Singaraja karya Made Adnyana Ole, misalnya. Dalam cerpen tersebut, kesan realisme-nya sangat kuat. Dan saya tahu betul usaha Pak Ole—sebagaimana saya akrab memanggilnya—dalam melakukan riset untuk memahami detail; menyampaikan masalah mutakhir tanpa terjerumus ke dalam penuturan jurnalistik; dan sangat gigih dalam mengupayakan bahasa.
Tak hanya itu, Damun karya Juli Sastrawan; Berputar-putar Sampah karya Gading Ganesha; Ditipu Bapak di Taman Kota karya Ary Suharsani; Pecah Seribu, Dungu karya Indah Fay, Warung Patokan Desa A karya Komang Mudita; Rok Mini Taman Limpit karya Dian Ayu Lestari, Candu Baru karya Manik Sukadana, dan beberapa lainnya, menurut saya juga berangkat dari dunia nyata. Damun, misalnya, dengan tanpa tedeng aling-aling, mengungkap kondisi Pasar Banyuasri hari ini—“yang sepi, dengan lapak yang dikerubung terpal berdebu.”
Selain berangkat dari dunia nyata, beberapa cerpen dalam Singa Raja Berkisah juga tidak lepas dari unsur biografi atau pengalaman penulisnya, seperti Krincing-Krincing Tiga Dokar karya Devy Gita, misalnya, yang sepertinya itu memang pengalamannya sendiri. Lihat, narator dalam cerpen tersebut bahkan bernama Gita. Atau sulit untuk menyangsikan bahwa tokoh “aku” dalam Lontar Cantik Made Cenik bukan penulisnya sendiri, yakni Dian Suryantini. Dan cerpen Kardus Lama di Kolong Tempat Tidur karya Teddy Kusuma, sepertinya memang kisah hidupnya sendiri.
Unsur autobiografi dalam karya sastra rasanya memang sulit dihindari—meski juga sangat bisa dilakukan. Realisme dan autobiografi menjadi bentuk sastra yang paling sering menjadi pertaruhan para sastrawan Indonesia modern. Meski banyak eksperimentasi bentuk terjadi, bentuk-bentuk ini selalu menjadi pilihan. Lantas, apakah keduanya merupakan kekuatan atau, sebaliknya, kelemahan sastra Indonesia? Sampai di sini saya tidak berani melanjutkan. Yang jelas, unsur autobiografi dan realisme sangat kentara dalam kumpulan cerpen Singa Raja Berkisah.
Namun, berbeda dengan yang lain, Kisah dari Negeri Tanpa Singa karya Kadek Sonia—meski juga tidak terlepas dari autobiografi pengarang—dan Wasiat Pengasuh Lumba-Lumba karya Agus Phebi, lebih mementingkan aspek bawah sadar manusia dan non-rasional dalam citraan (di atas atau di luar realitas atau kenyataan).
Kedua cerpen tersebut melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bahwa sadar, alam mimpi, segala peristiwa dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak, realitas mimpi dan khayalan seolah tidak ada batas-batasnya, dan inilah yang disebut dengan super realisme atau melampaui kenyataan, inilah aliran surealisme—yang mencampur-adukkan antara mimpi dengan kenyataan. Surealisme mempunyai unsur kejutan sebagai ungkapan gerakan filosofis yang menunjukkan kebebasan kreativitas sampai melampaui batas logika.
Tetapi, terlepas dari pendekatan realis, autobiografis, maupun surealis, seperti yang sudah disampaikan Made Sujaya dalam pengantarnya, secara struktur, cerpen-cerpen dalam Singa Raja Berkisah memperlihatkan kesenjangan antara satu pengarang dengan pengarang lain dalam hal kemampuan mengolah dan mengembangkan cerita. Beberapa cerpen mampu menggarap penokohan dan konflik dengan baik sehingga pembaca bisa mendapatkan elemen penting sebuah cerpen, yaitu suspense dan surprise.
Namun, ada juga cerpen yang penokohan dan plot ceritanya kurang tergarap sehingga cerita tak hanya sudah selesai saat pembaca membaca bagian awal cerita, tapi juga menyisakan kejanggalan-kejanggalan. Tentu ini erat kaitannya dengan pengalaman para pengarangnya, tak hanya jam terbang dalam mengarang tapi juga persentuhan dengan karya-karya terbaik. Maka dari itu, beberapa cerpen dalam Singa Raja Berkisah saya anggap sekadar obat rindu bercinta dengan sastra tanpa mencapai orgasme.
Sastra, Dunia Bacaan
Jauh sebelum membaca antologi cerpen Singa Raja Berkisah, pada suatu siang yang panas, Pak Ole mengatakan kepada saya setidaknya ada tiga jenis orang yang menulis—atau sedang belajar menulis—puisi. Orang pertama adalah mereka yang menulis puisi tanpa pengetahuan apa pun tentang seluk-beluk puisi. Ia tak tahu struktur dan batin puisi; metode penyampaian hakikat, perwajahan, diksi, imaji, kata konkret, majas, rima atau irama, tema, rasa, nada, dan tujuan puisi ditulis.
Ia tak tahu sejarah puisi. Dan ia, tentu saja, tak pernah membaca puisi yang ditulis para penyair terdahulu. Ia menulis puisi—yang mungkin malah bukan puisi itu—hanya sekadar merasa bisa menulis dengan kata yang indah-indah, yang berbunga-bunga, melambai-lambai, yang dibumbui jingga kemerah-merahan. Orang jenis ini bisa dikatakan sebagai seorang amatiran—kalau bukan orang yang memang tak tahu apa itu puisi.
Yang kedua adalah jenis orang yang menulis puisi berdasarkan pengetahuan. Ia membaca puisi-puisi para penyair terdahulu. Ia banyak berdiskusi tentang puisi. Ia belajar serius menulis puisi. Artinya, ia adalah kebalikan dari jenis orang pertama. Dan, kata Pak Ole, jenis kedua ini adalah mereka yang menulis puisi dengan mengikuti gaya penyair yang puisinya mereka baca.
Ketiga, dan ini yang dahsyat, mereka yang menulis puisi dengan gayanya sendiri—mereka yang mencoba keluar dari keterpengaruhan atau gaya penyair yang puisi-puisinya mereka baca.
Saya sengaja menyampaikan perkatan Pak Ole di sini untuk memberi gambaran bahwa puisi—atau sastra pada umumnya—adalah dunia bacaan, bukan sekadar ungkapan spontanitas dari kepribadian penulis. Maksudnya, dalam puisi berlaku yang namanya intertekstualitas. Seorang penyair tidak akan bisa menulis puisi tanpa membaca puisi penyair sebelumnya. Tidak akan ada Chairil Anwar tanpa Amir Hamzah; tidak akan ada Sapardi dan Goenawan Mohamad tanpa Chairil; dan tidak ada Jokpin tanpa Remy Sylado dan Sapardi. Dan ini, saya pikir, sekali lagi, hal tersebut juga berlaku pada penulisan cerpen atau sastra pada umumnya.
Sampai di sini, setelah membaca semua cerpen dalam Singa Raja Berkisah, beberapa pengarang tampaknya memang masih tergolong orang-orang yang menulis cerpen tanpa pengetahuan sedikit pun atau apa pun tentang seluk-beluk cerita pendek. Maka wajar jika Made Sujaya dalam pengantarnya mengatakan ada kesenjangan antara satu pengarang dengan pengarang lainnya.
Dan pada akhirnya saya ingin mengatakan, menulis cerpen itu tidak mudah. Makanya lebih banyak orang memilih membacanya daripada menulisnya—meski juga banyak orang yang memilih untuk tidak membaca apalagi menuliskannya. Jika boleh mengibaratkan, menulis cerpen itu sama sederhananya, tetapi juga sama rumitnya, dengan seorang petani yang sedang membuat pematang.
Itu tampak sederhana, iya; tapi hanya petani terlatih yang bisa membuat pematang. Tidak bisa petani yang sebelumnya tidak pernah memegang cangkul, sebelumnya tidak bergaul dengan tanah, sebelumnya tidak tahu lika-liku bagaimana memegang cangkul dan bagaimana mengayunkannya, tiba-tiba kemudian bisa membuat pematang. Jadi, ada proses yang harus dijalani, ada skill yang harus dipelajari, dan pada akhirnya skill itu harus diasah dan dilatih. Karya sastra yang berkualitas tidak lahir dari spontanitas.[T]
- Esai ini disampaikan dalam acara bedah buku kumpulan cerpen “Singa Raja Berkisah” serangkaian Pekan Raya Cipta Karya Mahima 2023 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Kamis (29/11/2023) sore.