Oleh I Ketut Suar Adnyana
Sekolah dan perguruan tinggi sebagai institusi penyelengaraan proses pembelajaran diarahkan untuk memberikan pelayanan pendidikan yang sama bagi setiap siswa dan mahasiswa. Sekolah dan perguruan tinggi harus menerapkan pendidikan inklusif. Yang memberikan rasa keadilan kepada setiap siswa dan mahasiswa.
Pada panduan Pendidikan Inklusif dijelaskan bahwa inklusi adalah sebuah pendekatan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda, meliputi: karakteristik, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya. Pola pikir ini selanjutnya berkembang dengan proses masuknya konsep tersebut dalam kurikulum di satuan pendidikan sehingga pendidikan inklusif menjadi sebuah sistem layanan pendidikan yang memberi kesempatan bagi setiap peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Sebagai sebuah pendekatan, sekolah dan perguruan tinggi harus mempunyai pandangan bahwa semua siswa dan mahasiswa dengan keberagamannya, mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan.
Pendekatan ini direalisasikan dalam bentuk kegiatan pembelajaran, pelayanan , dan perlakukan yang sama terhadap siswa dan mahasiswa. Hal ini ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Untuk memenuhi amanah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 2, 3, dan 4 dan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan (fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial) atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi, baik pada tingkat dasar maupun menengah. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 10 menyebutkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus berhak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu di semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran menyebutkan satuan pendidikan perlu mengembangkan kurikulum dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Pada intinya undang-undang dan peraturan menteri yang telah diterbitkan mengharuskan sekolah dan perguruan tinggi untuk mengimplementasi pendidikan inklusi dalam melaksanakan pembelajaran, pelayanan, dan memperlakukan siswa dan mahasiswa dengan adil. Pendidikan inklusi ketika dilaksanakan dalam pembelajaran tidak semudah apa yang diatur dalam undang-undang dan permendikbud. Hal ini masih menyisakan permasalahan sehingga pendidikan inklusi belum terlaksana dengan baik.
Berdasar pada catatan yang diperoleh saat melaksanakan bantuan Kerjasama Dosen dan Sekolah (KDS) di SD Negeri 6 Sumerta (kelas V) Denpasar, di kelas tersebut ada anak yang berkebutuhan khusus (ABK).
Berdasar hasil catatan observasi pembelajaran di kelas, ABK tidak berkonsentrasi dalam proses pembelajaran. Ketika guru meminta siswa berdiskusi dalam kelompok, anak tersebut tidak aktif dan cenderung lain-lain. Guru tidak menerapkan pembelajaran yang berdiferensiasi dalam dalam proses pembelajaran. Guru menerapkan metode yang sama dengan siswa yang lain. Pembelajaran yang demikian tentu kurang tepat. Guru seharusnya menerapkan pembelajaran berdiferensiasi baik berdiferensiasi konten, proses, maupun hasil.
Guru tidak melakukan kesalahan. Mengapa guru melakukan proses pembelajaran sama untuk semua siswa? Hal itu karena guru tidak mempunyai keterampilan khusus untuk menangani ABK. Inilah problematikanya. Guru tidak pernah dilatih untuk menangani ABK. Ini sebuah kekeliruan pemerintah dalam menerapkan pembelajaran inklusi di sekolah.
Bisa dibayangkan di SD negeri, peserta didik satu kelas bisa melebihi 30 orang. Satu kelas ditangani oleh satu guru. Apakan mungkin guru bisa melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan kebutuhan siswa yang berbeda? Agar pembelajaran berjalan dengan efektif seharusnya setiap kelas diampu oleh dua guru.
Permasalahannya, apakah pemerintah mampu memenuhi kebutuhan guru di sekolah? Pendidikan inklusi dan pembelajaran berdiferensiasi memang mudah untuk dicanangkan tetapi agak sulit untuk direalisasikan secara maksimal. Apa yang harus dilakukan agar pendidikan inklusi dan berdiferensiasi berjalan dengan efektif Setiap kebijkan pemerintah hendaknya dievaluasi sehingga apa yang dicanangkan, tidak memunculkan problematika. [T]
- BACA artikel tentang pendidikan lainnya dari penulis SUAR ADNYANA