DAGU SAYA diangkat, punggung saya didorong, tangan saya ditekuk, leher saya ditarik. Pong melotot, lalu ia tersenyum sambil menyipitkan mata. Suaranya menyalak di tengah gerak, lalu bersenandung sehalus sutra sembari tangannya mengelus angin. Gending menggelegar, semakin kencang bunyinya, semakin gemetar hasrat untuk lepas kendali. Tetap menjaga diri bergerak halus dan tipis, namun kebinatangan di dalam diri saya seakan terpahat dengan kerangka gerak tari Mregapati oleh Ni Ketut Arini, salah satu maestro kekebyaran di yang berkediaman di Denpasar, Bali.
.
Ni Ketut Arini merupakan penari asal Denpasar, lahir pada 15 Maret 1943. Ia cantrik dengan beberapa penari empu seperti I Wayan Rindi, I Ketut Mario, I Nyoman Kaler, Biang Sengok, dan lain-lain. Ia adalah gabungan dari sendi-sendi penari terdahulu yang dedikasinya dahsyat pada masanya. Ni Ketut Arini juga mempelajari tari di Konservatori Karawitan di Bali (KOKAR) sebagai murid angkatan pertama.
Bu Arini dididik dan didorong secara konsisten oleh I Nyoman Kaler, agar ia meneruskan studinya sampai sarjana. Sejak muda, bu Arini telah aktif mengajar sambil terus menimba ilmu dari berbagai guru di daerah-daerah Bali. Selama belasan tahun ia tempuh perjalanan belajar dengan kayuhan sepeda, dari Denpasar melintang ke Peliatan dan daerah-daerah lainnya.
Bukan perjalanan yang ringan jika mengukur jarak, namun bu Arini terus mengatakan bahwa ia dibekali dengan gairah belajar yang besar. Setelah studinya selesai, Ia mendirikan sanggar Warini pada tahun 1973. Sanggar ini terus berjalan dan berkembang hingga saat ini, mendidik ribuan penari-penari muda dari rentang umur 4 tahun sampai dewasa.
Saya mulai berlatih dengan ibu Arini selepas prosesi Nyepi berakhir, menari di sanggarnya selama 2 minggu. Pukul 09.00 WIB, Ibu sudah keliling pekarangan halamannya, menyebarkan canang di antara bunga dan tumbuh-tumbuhan hijau. Satu pagi, saya mendapati beliau menulis di laptopnya. Ia sedang merangkai sepasang cerita dari jutaan peristiwa yang ia alami semasa hidup. Ketika saya tanya, ia menulis cerita tersebut untuk sambutan pada ujian kenaikan tingkat sanggar didikannya.
Ia berharap cerita tersebut dapat memantik api semangat dalam diri anak-anak muridnya, agar terus menempa diri bersama tarian bernama kehidupan. Piles-piles kaki bu Arini menyirat langkah-langkah jenjangnya ke Solo, Jakarta, kota-kota di Indonesia, serta melompati samudera dengan mengajar dan pentas di berbagai negara.
Bu Arini senang bercerita. Ia tidak pernah lelah berbagi kisah, dipandu dengan foto-foto yang mengelilingi ruang latihan. Ia masih mengingat baik berbagai macam pengalaman yang melekat dengan agemnya. Beberapa menampilkan foto guru-gurunya, yang molek dalam pose. Sebagian lain menampilkan foto bu Arini, melintasi puluhan tahun sejak ia muda sampai telah lanjut usia. Seperangkat ingatan, wawasan, dan pengalaman yang menjelang sebulat abad, Bu Arini dengan mudah memandu tubuh saya bergerak.
Ia menari bersama saya setiap kali gending diputar. Intensitas tubuh bu Arini terus terjaga, peralihan tubuhnya terpancar seketika gending mulai menyalak. Wilet dan greget-nya tidak hanya memancar, energinya menyerap dan menuntun saya. Terkadang saya terhipnotis, tidak sadar tubuh saya seperti hanyut bersama ombak yang berdebur dari solah geraknya. Tidak sekalipun ia berhenti menemani saya bergerak, walaupun pada hari itu tariannya sudah diulang berkali-kali. Kadang saya yang menjadi khawatir, takut ia menjadi lelah. Namun sepertinya umurnya yang menginjak 80 tahun ia hadapi dengan jiwa yang secerah fajar. Waktu sepertinya bukan lagi sesuatu hal yang memusingkan.
Pengalaman menari Mregapati dengan beliau menjadi pengalaman yang sangat berbeda dengan apa yang saya dapatkan semasa kuliah. Mrega berarti binatang, pati berarti raja, Bu Arini menekankan nama asli Mregapati (yang lebih dikenal publik sebagai Margapati) yang berarti Raja Binatang, dan ia menolak keras jika diartikan sebagai Jalan Mati.
Pengalaman saya menari Mregapati terjadi di ISI Surakarta, kala itu saya buta akan Tari Bali. Terlepas dari itu, saya ingat gerakannya besar-besar, kesana-kemari, dan tidak terkontrol. Ketika belajar dengan bu Arini, kosa geraknya tidak menabur banyak variasi yang mewah dan spektakuler, namun pengalaman rasa di dalam dada meletup-letup.
Mengalami perasaan “raja binatang” melalui Mregapati menjadi sensasi yang unik di ulu hati. Alih-alih menirukan gerak binatang, saya lebih merasa tarian ini membangunkan kebinatangan di dalam diri saya. Yang kasar, yang lembut, yang cantik, yang ganas, yang diam, yang jinak, yang primitif di dalam tubuh. Bu Arini sempat berkata, “Raja binatang itu apa, ya? Singa, harimau, atau apa ya?” Pertanyaan itu saya rasa tidak perlu dijawab, kita semua tahu binatang apa yang paling merasa raja di dunia ini.
Perjalanan saya di Bali ditemani oleh Agus Wiratama, seorang praktisi teater, penulis, dosen, pokoknya apa saja ia coba. Orang yang memiliki etos kerja yang sangat tinggi, diimbangi dengan kerendahan hatinya. Perjalanan saya dengan bli Agus tidak hanya menyenangkan, namun juga penuh renungan. Setiap selesai bepergian, kami selalu ngobrol, membahas apa yang kita temui hari ini.
Saya sadari, perjalanan banyak mengajarkan untuk semakin mengasah kepekaan diri membaca orang lain, dan mengenali diri melalui berbagai macam “cermin berkaki dua”. Saya belajar mengenal watak, perilaku, suasana hati, dan kondisi satu individu yang terhubung di satu kondisi ruang dan kelompok tertentu, termasuk kondisi diri sendiri sebagai individu.
Ketika itu, kondisi saya dan bli Agus yang sedang dihujam hujan di pinggir pantai Tejakula, di bawah atap jutaan bintang di Kintamani, dan di tengah asap knalpot Denpasar, masing-masing memantik sisi jiwa yang berbeda, dan hal itu saya kenali dengan melihat pantulannya dari bli Agus, baik secara sadar atau tidak. Kadang-kadang saya suka khawatir menjadi orang yang menyebalkan baginya, karena suka kelepasan pekewuhan Solo yang juga ambil jalan memutar, padahal bli Agus terang-terangan saja. Memang, jenis binatang ini jenis raja yang rumit.
***
.
Ketika saya selesai berlatih gerak dengan bu Arini, kami duduk di pojok-pojok ruangan. Kali ini, kami melatih ingatan. Bu Arini bertukar cerita-cerita pendek, potongan dari kisah hidup-tarinya. Cerita ini disampaikan bersama dengan foto-foto yang mengisi dinding putih sanggar Warini. Foto-foto itu menunjukkan dokumentasi dari pertunjukan atau foto-foto guru beliau di masa lampau. Foto dirangkai di atas cermin dan mengelilingi ruang, seakan menyaksikan kami yang menari di hadapannya.
Saya mendapati Bu Arini memaknai foto-foto tersebut sebagai peristiwa yang beku, namun tidak kunjung menguap. Ingatannya jernih membayangkan masa di mana ia menari bersama Gunung Agung yang meletus, menari bersama runtuhnya gedung World Trade Center, menari bersama jatuhnya Soekarno, menari ketika jutaan kepala memerah darah diputus dari tubuhnya. Agemnya tak lekang oleh waktu, tariannya menembus tirai-tirai peristiwa hidup (dan mati).
Meminjam istilah Halim HD, bagi saya tubuh ibu Arini mencapai anomali. Kedisiplinannya yang menjangkau puluhan tahun, akhirnya memberi dia kebebasan. Kebebasan ini tidak dalam artian semena-mena, namun dalam arti dirinya bersinergi dengan tempo dan pacu alam. Saat santai, ia tak jarang menepuk-tepuk lututnya, seperti sedang menenangkan persendiannya yang sedang meraung-raung.
Raganya yang telah menua seketika menyublim ketika menari, jiwanya ambil kendali mengendalikan tubuhnya. Kondisi lututnya bagaikan matahari yang sudah berada di ufuk senja. Namun, seolah-olah jiwa itu tidak pernah menghadapi senja sebagai sesuatu yang hanya akan berlalu. Baginya, ia tetap bagai fajar pagi bersama embun-embun segar yang terlahir kembali bersamanya.
Saya memaknai perjalanan di Bali sebagai perjalanan yang metafisis. Sejak Januari 2023, Tahun Baru Imlek menjadi penanda ciong bagi shio saya. Sebagai didikan dunia sekuler, awalnya saya acuh dengan hal ini, untuk pengingat saja. Sayangnya, semakin saya acuh, rasanya alam semakin menggempur saya untuk semakin prihatin dan bersabar (ini 2 kata yang saya dapatkan dari ciam si yang saya terima di Wat Pho, Thailand).
Ketika mendarat di Denpasar, saya mendapatkan telepon. Rencana awal saya untuk belajar dengan bu Luh Menek, harus batal karena ia mendapatkan tugas mendadak dari Dinas Pariwisata Bali. Akhirnya saya yang belum memiliki rencana pengganti harus menunggu, dan momen menunggu ini semakin terasa karena besoknya adalah hari Nyepi. Saya menunggu dalam sunyi Ubud.
Esoknya, pelan-pelan saya mencoba mengikuti arus, melihat ke mana saya akan berlabuh. Kabar bersambut, bu Arini sedang senggang selama 3 minggu, akhirnya saya mengajukan permohonan untuk belajar dengan beliau. Pertemuannya pun berjalan sampai akhir perjalanan saya di Bali. Syukurlah.
***
.
Pengalaman menunggu tidak berhenti di situ. Ketika di Tejakula, saya dan bli Agus ditantang hujan badai untuk menunggu di bale kecil selama 5 jam (dan belum sempat makan siang!), sesaat setelah kami memulai membersihkan candi mbah Prapto di Bali. Kami tebas beberapa rumput, sepertinya membuat langit menggeser mendungnya kepada kami.
Akhirnya kami baru mulai mengarit rumput pada pukul 4 sore, selesai sebelum gelap, dengan langit yang sangat bersih, sehalus ucapan kasih dari alam. Pengalaman alam yang sederhana namun sangat berkesan.
.
Ternyata alam juga menjangkau proyektor dan komputer yang kita gunakan sehari hari, “kuliah menunggu” saya memuncak ketika film saya, macet ketika sedang tayang di MASH Denpasar (ah ini gila banget!). tidak hanya saya, akhirnya seluruh pengunjung harus menunggu film saya (dan hanya film saya) yang macet ketika ditayangkan.
Bu Diane Butler yang kebetulan hadir, akhirnya membantu dengan memanjat doa di luar, agar diberikan kelancaran. 30 menit setelah utakatik format dan tukar berbagai perangkat pemutar, akhirnya ia bisa tayang, dan menjadi awal dari pembicaraan saya dengan mbak Cika, programmer dari Minikino Film Week yang menginginkan film saya untuk ditayangkan di kegiatan tersebut.
.
Makna dari pembelajaran menunggu ini saya masih renungkan, namun sepertinya memang ada sesuatu yang lebih penting dari datang lebih dulu seperti anak ambisius yang selalu duduk di meja depan kelas, atau datang terlambat seperti jagoan di film-film silat. Saya tidak hanya belajar untuk menunggu, saya juga belajar untuk tidak menunda. Dengan menunggu dan tidak menunda, kita tidak hanya menghargai orang lain, kita juga belajar menghargai diri dan waktu itu sendiri. Waktu terkadang menjelma sebagai entitas tak tampak yang kerap dicampakkan.
Entah ini satu kegagalan menunggu, atau keberhasilan untuk tidak menunda, namun saya tidak melewatkan untuk sekaligus belajar Igel Jongkok dari Mangtri, teman yang saat ini menempuh studi tari di ISI Denpasar. Berlatih di ISI Denpasar, ia mengenalkan saya dengan beberapa agem Igel Jongkok.
Banyak penyesuaian yang saya lakukan, karena pengalaman Igel Jongkok terasa begitu berbeda dengan pengetahuan saya tentang “Tari Bali” yang ternyata hanya buih-buih di atas lautan. Duduk di atas telapak kaki, punggung kaki saya harus bersabar menahan perih dari gerak ngenjet dan rebah yang terus diulang-ulang.
Sembari terus menabung gerak, Mangtri terus memperbaiki postur saya yang terlanjur “njawa”. Tidak ada mayung, tidak ada nunduk. Badan tegap lurus menghadap ke depan. Mangtri bagi saya menjadi guru muda yang tegas, namun murah senyum. Ia paham betul bahwa mempelajari tradisi bukan kerja semalam suntuk, ia bersabar mendampingi perjalanan tubuh saya.
.
Bentuk tubuh saya dikoreksi oleh Mangtri, agar lebih ‘jadi’. Ketika ia anggap sudah cukup mapan, ia akan bilang “ingat sakitnya yah, mas Razan”. Seluruh tubuh saya seketika dipaksa melunak, sekaligus mengeras. Bersama bu Arini ataupun Mangtri, saya kembali belajar menerima sakitnya otot-otot saya melawan kebiasaan lama. Bu Arini mengatakan kalau sanggarnya tidak lagi melakukan pijatan seperti yang dilakukan oleh guru-guru terdahulunya. Namun sesekali, sepertinya bu Arini tidak bisa meninggalkan efisiensi metode ini.
Saya menjelma, mematung, dan tidak banyak bertingkah tetapi di sisi perasaan yang lain tubuh saya memaksa diri saya untuk bergerak, bagai orang yang sedang memahat dirinya menjadi patung. Mata saya mulai terbelalak, menyadari adanya momen mematung tubuh yang terjadi bersama dengan pengalaman menyaksikan patung-patung lainya di Bali.
***
Kedatangan saya di Bali berpapasan dengan Ngerupuk, sebuah perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali sehari sebelum Nyepi. Awalnya saya hanya penasaran, ingin mengalami suasana hari raya bagi masyarakat di Bali. Datang ke perayaan yang dimulai sejak tahun 80-an ini pun adalah rekomendasi dari Wayan Sumahardika, yang berbaik hati memandu dan memperbolehkan saya menginap di rumahnya di Ubud. Bli Suma adalah rekan bli Agus yang tergabung dalam organisasi bernama Mulawali Institute. Bli Suma juga menjadi salah satu orang yang berperan membantu saya dalam rencana perjalanan saya ke Bali.
.
Saya dan bli Suma menyusuri jalan yang buat saya masih terasa asing, namun hawanya memanggil. Kami makan lawar bebek (ah, saya lupa istilahnya di Bali!), lalu sampai di lokasi menghadapi ribuan orang yang sudah nongkrong di perempatan puputan, Denpasar. Sekali lagi, wilayah ini dikepung oleh hasrat masyarakat untuk menyaksikan ogoh-ogoh yang dibuat dan diarak oleh taruna setiap Banjar sekitar. Saya menyaksikan bersama bli Suma, Jacko, dan Sasqi.
Beberapa menjadi primadona, seakan seperti bintang tamu yang datang di akhir acara. Kebanyakan ogoh-ogoh tampil dalam bentuk makhluk-makhluk menyeramkan, namun pemaknaan “buta kala” lewat ogoh-ogoh sepertinya ditantang kembali lewat segelintir sosok-sosok konyol dan tak terduga. Setidak-terduga sosokUpin-Ipin, Doraemon, atau Mario Bros. Sangat jauh jika dikaitkan dengan “keseraman” ogoh-ogoh lain, tapi bagi saya menjadi menarik dan justru menantang diri saya untuk menafsir kembali fenomena tersebut.
Bhuta kala dihadirkan oleh warga Bali dengan antusiasme. Umumnya, Bhuta (Semesta) Kala (Waktu) dikaitkan erat dengan sosok buruk atau jahat, ia menjadi perwujudan keduniawian yang tergambar penuh nafsu dan kerakusan. Kali ini, mata saya menyaksikan sosok tersebut hadir menjulang tinggi, diarak oleh masyarakat dengan penuh suka cita. Peristiwa ogoh-ogoh ini terasa sebagai pengingat masyarakat atas keselarasan energi manusia yang berada di tengah, setengah dunia dan setengah akhirat. Perayaan ogoh-ogoh yang meriah menjadi petikan kecil dari serangkai wujud kesadaran masyarakat Bali dalam menyeimbangkan antara yang tampak dan yang tak tampak, yang langit dan yang bumi, yang fisik dan yang metafisik.
Puas menyaksikan kemegahan ogoh-ogoh di Puputan Denpasar, saya dan bli Suma menyusuri jalan-jalan untuk kembali ke Ubud. Di antara ogoh-ogoh yang megah dan menjulang, beberapa ogoh-ogoh terpampang di pinggir jalan dengan kondisi yang masih setengah jadi. Sambil memutari jalan utama (karena banyak yang ditutup untuk akses ogoh-ogoh), sosok buta kala dipamerkan tanpa kepala, kaki, tanpa badan, atau masih berbentuk kontruksi tanpa kulit. Saya bicarakan pengalaman ini dengan bli Suma. Sembari berpegangan stang motor, masing-masing dari kami melempar tafsir fenomena tersebut dengan melihat proses penciptaan yang menuju jadi, atau yang menjadi-tidak-jadi sebagai hasil.
Ogoh-ogoh diciptakan bersama-sama oleh pemuda Banjar, ia dibuat sembari mereka berkumpul, mengobrol, dan tak jarang ditemani “minuman” tradisional dan musik jedag-jedug yang dibunyikan keras. Ogoh-ogoh menjadi monumen temporer dari kebersamaan yang terjadi di dalam komunitas, baik selesai atau setengah-jadi. Proses “menjadi” dibalik bentuk yang setengah jadi merupakan tujuan utama mereka, baik dilakukan secara sadar atau tidak.
Panjang bicara, kami beri koma dengan menyadari bahwa masing-masing dari kami perlu meraba betul peristiwa yang kami saksikan sejenak, sehingga tafsir bisa saja tidak mewakili, karena sifatnya yang spontan. Terlepas dari itu, rasanya berceloteh menjadi salah satu cara menghabiskan kalimat-kalimat terakhir sebelum menyapa Nyepi. Kami menembus gulita, tenggelam dalam malam.
.
Beberapa macam tari mengusung konsep “setengah” seperti alusan di tari klasik gaya Surakarta atau bebancihan pada tari kekebyaran klasik, membuat saya sadar bahwa menjadi setengah dapat mengajarkan tubuh untuk mawas diri. Saya mengalami sensasi menjadi setengah ketika menarikan Mregapati dan Panji Semirang. Kedua tarian itu masuk pada kategori bebancihan pada lingkup tari kekebyaran di Bali. Berbedadari pemahaman banci yang kita ketahui secara umum (yang saat ini sering merujuk pada embel-embel identitas), kategori bebancihan seakan juga berada di antara dua kutub.
Mungkin saja pada taraf permukaan, ia dapat diumpamakan seperti di antara kerasnya Tari Baris dan manisnya Tari Legong. Secara geometri tubuh, desain gerak tari bebancihan juga menempatkan diri di antara kedua kutub, setengah besar, setengah mungil, setengah atas, setengah bawah. Alhasil, ukuran fisika mengantar saya untuk menikmati proses yang terjadi di dalam batin yang mencari ke-setengah-an tersebut. Seperti kaki yang berjinjit di dua batu yang berbeda, keseimbangan menjadi berlian yang berharga.
Sledet yang diajarkan oleh bu Arini ragamnya bermacam-macam. Ia terus kasih lihat saya bedanya, namun memang mungkin saya yang kurang tinggi ilmunya, saat itu sulit sekali bisa menjelaskan bedanya di mana. Kendati begitu, saya melihat sesuatu yang lain menjelma pada wajah dan tubuh bu Arini ketika dipadukan dengan gerakan. Meragakan bebancihan mengajarkan saya untuk mencari kondisi mental yang akurat dalam wujud gerak tari yang meruang.
Selain tari bebancihan seperti Mregapatidan Panji Semirang, pengalaman menjadi-setengah ini saya bawa kembali ke pengalaman mempelajari alusan di Tari Klasik Gaya Surakarta. Alusan berada di antara putri dan gagah, Jika dilihat dari spektrum Tari Klasik Gaya Surakarta ala ASKI / ISI Surakarta. Pada satu sisi, alusan menjembatani kelembutan yang feminin dan kegaharan yang maskulin. Hakikatnya alusan ditarikan oleh laki-laki, namun Lesmana ditarikan oleh perempuan pada Tari Bambangan Cakil. Hal ini diulas oleh Gendhon humardani dalam artikel “Silang Jenis dalam Tari” dan dirujuk dengan alat ukur kemungguhan.
Bagi Gendon, penting untuk mempertimbangkan pas atau tidak pasnya karakter seorang penari dalam mewujudkan persona dari karakter (wayang) yang ia perankan. Penempatan penari perempuan untuk membawakan persona Lesmana adalah dramaturgi dalam mewujudkan kemungguhan tersebut. Performativitas tubuh (yang terbangun dari konstruksi gender) digunakan dalam strategi artistik untuk mencapai sifat setengah yang seimbang. Topik ini bisa menjadi pembahasan historis-politis, namun bagi saya, strategi ini merupakan kecanggihan seni pertunjukan kita yang sebetulnya menyiratkan ketuntasan pada persoalan politik gender.
Saya memperhatikan pengelompokan jenis tari putri, gagah, dan alus dalam tari Klasik Gaya Surakarta (pula Yogyakarta) adalah penyederhanaan yang dilakukan secara akademis (yang sebetulnya menjadi dikotomis), dari konsepsi “menjadi setengah” yang sebetulnya lebih kompleks. Dalam Serat Kridhwayangga, klasifikasi tari tidak hanya berpijak pada kelompok tari “pria gagah”, “ puteri wanita”, dan “lelaki alus”. Buku ini mengenalkan istilah lain, yaitu; halusan, sedangan, dan kasaran.
Klasifikasi ini sebetulan berada di bawah 6 gaya tari; panji sepuh, panji enem, wukir sari, tandang, buta, wanodya, dan wanara. 6 gaya ini saya tangkap sebagai wujud dari 10 nama-nama tarian, yang deskripsinya lebih seperti menjelaskan 10 “niat-ingsun” gerak (tubuh). Hal ini menjadi sangat jauh dan sedikit tidak adil jika kembali kita tarik pada klasifikasi gagah, alus, dan puteri.
Opini ini terbuka, bisa saja diperdebatkan agar kita menemukan esensi dari menjadi-setengah, persoalan yang lebih kompleks dari membelah kue, atau membelah identitas gender menjadi 5, 10, 33, atau semacamnya. Bagi saya setidaknya menjadi setengah membuat saya sadar dan mawas, selalu menakar dan kembali mengenal diri sendiri sebagai pantulan atas orang lain, dan sebaliknya. Semawas apa kita mengenali takaran tubuh ini sebagai wadah? Kesadaran ini meliputi pembacaan kehadiran kita dalam ruang dan waktu yang saling bersambung. “Setengah” di Solo, belum tentu sama seperti “setengah” di Bali. Begitu pun di wilayah dan lini masa lain, harus menyesuaikan seperti air yang berpindah-pindah gelas.
.
Perjalanan saya di Bali dapat saya katakan cukup beruntung karena saya ditemani oleh teman-teman dari Mulawali di Denpasar. 2 minggu bersama bli Agus, bli Suma, mbak Desi, bli Jacko (yang tidak pernah saya panggil pakai bli, sejujurnya), mbak Dian, bli Manik, bli Amri, bli Dedek, dan teman-teman lain membantu saya untuk mengolah hasil “pengamatan” saya. Rekan-rekan ini pula yang merealisasikan lokakarya dan penayangan film yang menciptakan perbincangan yang berkualitas dan banyak memberi saya pengetahuan baru.
Banyak berdialog, bertukar cerita dan pengalaman, bergosip dengan kedok studi kasus praktik seniman lain, dan sedikit menabung canda dengan teman-teman yang menikmati kesenian sebagai bagian dari jiwanya. Terkhusus kepada bli Agus yang menemani saya selama 2 minggu, motoran membelah pulau Bali, bicara sambil menggigil menyusur kabut, berebut cepat agar lebih dulu membayar makan siang, terpojok dideru badai pantai.
Kebetulan shio saya yang sedang ciong juga terpaksa dihadapi oleh bli Agus yang sering terperangkap oleh saya yang sedang dididik alam untuk “menunggu”. Sampai candan untuk studi banding menyaksikan pertunjukan di situs-situs akuarium di Sanur (sepertinya bli Agus menyiratkan keseriusan). Saya ucapkan terima kasih teman-teman sudah sabar menghadapi saya yang masih belajar berdiri dengan baik.
Saya mensyukuri pengalaman yang saya dapatkan selama berlatih dengan Bu Arini, Mangtri, serta kepingan pengalaman lain yang menopang seluruh makna perjalanan saya di Bali. Jika ada satu penyesalan, maka penyesalan itu adalah pada keputusan saya sendiri yang memilih judul lokakarya “Tubuh Setengah-Jadi” yang sebetulnya mungkin terasa lebih sesuai jika menggunakan kata” Menjadi Setengah”. Konotasi setengah jadi menciptakan kesan tidak selesai, sedangkan yang saya harapkan adalah perjalanan yang tidak pernah selesai. Namun akhirnya saya anggap sebagai satu catatan penting untuk tubuh saya yang masih “setengah jadi”. Bagian dari perjalanan untuk menjadi lebih “setengah” di waktu ke depan.
Sebagai penutup, sikap menjadi setengah tidak hanya mencakup persoalan performativitas gender. Pada perjalanan ini, saya memaknai setengah sebagai seimbang. Menjadi setengah mencakup belajar menarik dan menakar diri, bersabar, dan menunggu. Menjadi setengah juga mengajarkan saya untuk jujur. Jujur kalau tidak bisa itu sama pentingnya dengan jujur kalau bisa.
Menjadi setengah juga mengajarkan saya untuk adil, melihat baik di dalam buruk dan melihat apa yang buruk di dalam yang baik. Menjadi setengah juga dapat menjadi utuh, dan tidak setengah-setengah. Saya bersyukur bisa menemukan ini di balik tirai bale di Tejakula, di bawah bintang-bintang Danau Batur, di depan rumah tanaman Jacko, di atas bangku duduk sanggar bu Arini, di antara sibak dingin jalan-jalan Ubud, di balik pintu Men Mersi yang mengumandangkan musik aerobik, dan di sudut-sudut kedai makan yang sederhana, namun menghidupkan. [T]