LELAKI PARUH BAYA itu baru saja tiba dari Baturiti—untuk suatu keperluan, katanya—sebelum menceritakan perjuangannya dalam bertani paprika kepada tatkala.co, Kamis (10/8) sore. Petani yang akrab dipanggil Pak Man itu duduk dan menyalakan sebatang rokok sebelum menjawab pertanyaan basa-basi dari tamu yang hendak mewawancarainya.
Ya, lelaki itu, I Nyoman Mara, nama lengkapnya. Petani yang lahir dan besar di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, itu dilihat dari rambutnya yang mulai memutih, menandakan bahwa umurnya memang tak lagi muda. Benar, pria yang sudah menjadi petani sejak umur 18 tahun itu kini genap berusia 53 tahun. Artinya, sudah 35 tahun dirinya menjadi petani. “Saya lahir dari keluarga petani. Kakek, nenek, dan orang tua saya semua petani,” ujarnya, memulai bercerita.
Meski ia lahir dari lingkungan petani, dulu, orang tuanya menginginkan dirinya menjadi seorang guru, bukan petani. Oleh sebab itu ia disekolahkan—dan lulus—di sekolah menengah atas keguruan. Namun ia tidak tahu, bahwa setelah lulus SMA, untuk menjadi guru, ia harus memiliki gelar sarjana pendidikan terlebih dahulu. Apa mau dikata, karena pada saat itu keluarganya kurang mampu, akhirnya ia harus mengubur cita-citanya.
“Saya sebelas bersaudara. Kalau saya kuliah [waktu itu], adik-adik saya tidak bisa sekolah. Jadi, saya stop di SMA,” katanya, sesaat setelah ia mengisap rokok dan mengembuskannya. Meski Pak Man tidak melanjutkan pendidikan, setelah lulus SMA, ia mengaku sempat melamar menjadi guru. “Tapi persaingannya banyak. Dari 600 pelamar, hanya 10 yang dibutuhkan,” imbuhnya, sambil menggelengkan kepala, heran. Sejak mengetahui kenyataan tersebut, Pak Man mulai memutuskan untuk menjadi petani—oh maaf, lebih tepatnya: buruh tani.
Nyoman Mara | Foto: Jaswanto
Namun, seiring berjalannya waktu, Pak Man memberanikan diri untuk menjadi petani mandiri. Bersama seorang teman yang membantunya, ia mulai menggarap lahannya sendiri dengan tanaman hortikultura—cabang ilmu pertanian yang berurusan dengan tanaman kebun—seperti kubis, cabai, dan kentang. Tidak sampai di situ, setelah melalui fase jatuh-bangun-untung-rugi menjadi petani, melihat perkembangan strawberry di Desa Pancasari begitu pesat, ia mencoba ikut menanamnya.
“Tapi, pada tahun 2001—tahun ke-3 saya menanam strawberry—saya bertemu pengusaha paprika dari Belanda. Dan sejak saat itulah, saya mulai belajar seluk-beluk mengenai paprika,” jelasnya.
Nyoman Mara bisa dibilang pelopor pertanian paprika di Desa Pancasari—bahkan di Bali. Ia menanam paprika sebelum orang-orang mengenal apa itu paprika. Keputusannya menanam paprika adalah titik baliknya menjadi petani. Sekarang, ia mengenal paprika sama baiknya dengan mengenal dirinya sendiri.
Mulai Menanam Paprika
Seperti yang sudah disinggung di atas, Nyoman Mara mulai tertarik menanam tanaman dengan nama latin capsicum annuum—tumbuhan penghasil buah yang berasa manis dan sedikit pedas dari suku terong-terongan atau Solanaceae—itu sejak dirinya bertemu dengan pengusaha paprika dari Belanda.
Pak Man mengaku, saat itu, orang Belanda tersebut menawarkan kemitraan dengannya. Maka ia segera membangun—meminjam bahasanya—“rumah lindung” untuk menanam paprika (bell pepper). “Jadi [saat itu] saya dididik, diajari, bagaimana SOP-nya. Kemudian saya mengurangi menanam strawberry dan fokus mengembangkan pertanian paprika sampai sekarang—meski tetap menanam beberapa komoditi lain,” terangnya.
Menurut Pak Man, menanam paprika itu tidak gambang. Butuh ketekunan dan usaha yang lebih. Sebab, perawatan tanaman yang berasal dari Meksiko ini tidak sama dengan tanaman hortikultura lain seperti kubis, kentang, maupun cabai, yang ditanam di lahan terbuka. Menanam paprika juga harus memperhatikan suhu ruangan, sirkulasi udara, dan racikan pupuknya tidak sembarangan. “Paprika memang bisa ditanam di lahan terbuka, tapi hasilnya tidak maksimal,” ujarnya.
.
Kebun paprika yang dikelola Nyoman Mara | Foto: Jaswanto
Benar, tanaman paprika umumnya dibudidayakan di bawah naungan—atau rumah lindung—(protected cultivation). Beberapa keuntungan budidaya tanaman di bawah naungan ialah hasil panen lebih tinggi, kualitas produk lebih baik, masa panen lebih lama, serta pengurangan penggunaan pupuk dan pestisida (Baron’s Brae, 1991), dan produksi tanaman secara lebih terencana (Baudoin dan Von Zabeltitz, 2002).
Sementara itu, mengenai bibit paprika, Pak Man mendatangkannya langsung dari Belanda. Dalam hal ini, menurutnya, tak masalah impor bibit, yang penting tak impor buahnya langsung. Sebab, impor bibit merupakan sebagian kecil dari proses pertanian. Meski demikian, suatu saat ia berharap dapat menghasilkan bibit sendiri.
“Tidak apa-apa impor bibit, yang penting produksinya tetap di sini. Jadi, tetap bisa melibatkan banyak petani (tenaga kerja). Berbeda kalau langsung impor buahnya, sampai sini kan tinggal konsumsi,” katanya menggebu-gebu.
Tanaman yang mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, B, C, serta mineral seperti Ca, Fe, P, dan K, ini, menurut Pak Man, paling bagus ditanam di tempat dengan suhu 15 sampai 30 derajat Celcius di ketinggian 800-1.500 Mdpl. Fakta inilah yang menjadikan Desa Pancasari—desa yang terletak 850 meter dari permukaan laut—cocok dijadikan tempat budidaya paprika.
Pada saat ditanya mengenai ketertarikan menanam paprika, Pak Man menjawab, selain cocok di Pancasari, paprika merupakan tanaman yang bisa dipanen berkali-kali, berbeda dengan kubis atau kentang. “Itu enaknya bertani paprika. Kalau kentang, merawatnya empat bulan, panennya cuma sekali,” ujarnya sambil bercanda.
Mesin-mesin peralatan berkebun | Foto: Jaswan
Selain itu, alasan Pak Man memilih paprika juga karena produktifitas tanaman ini. Dalam sekali panen, rata-rata satu pohon menghasilkan 1 kg. Sedangkan 1 kg setara dengan empat buah paprika. Dan harga paprika sekarang, 1 kg Rp120.000. “Anda bisa bayangkan sendiri hasilnya,” katanya sambil tertawa.
Paprika sendiri memiliki siklus hidup atau masa produktif rata-rata satu tahun. Pak Man menjelaskan, dari sejak penanaman biji paprika, untuk menjadi kecambah, membutuhkan waktu sampai satu minggu. Setelah bibit paprika berumur 30 hari baru bisa dipindahkan ke lahan atau polybag.
“Paprika yang sudah dipindahkan dari tempat pembibitan ke lahan, itu kami hitung umurnya dari nol lagi. Nah, setelah umur 90 hari dari masa tanam itu, paprika baru bisa dipanen. Sedangkan masa panen sampai tujuh bulan,” jelasnya.
Setelah tanaman paprika berumur lebih dari setahun, maka saatnya menggantinya dengan pohon yang baru. Pohon yang sudah dicabut, akan dimasukkan ke dalam lubang galian dan diolah menjadi pupuk organik. Sedangkan polybag digunakan dua kali tanam.
Di tahun-tahun awal menanam, Pak Man merasa tak kesulitan untuk memasarkannya meski harus melalui banyak pihak. Sebab, selain banyaknya hotel dan restoran di Bali yang membutuhkannya, pada saat itu, tak banyak petani yang menanamnya—tak banyak pesaing, katanya.
Paprika sudah merah | Foto: Jaswanto
Ya, pada awalnya ia memang tidak bisa menjual hasil paprikanya ke hotel atau restoran secara langsung. Selain karena masih masa percobaan dan kuranganya pengetahuan akan kriteria seperti apa yang diminta, ia juga masih kekurangan jaringan. Oleh sebab itu ia menjual paprikannya kepada para pengepul.
Namun, Pak Man tidak mau berdiam diri. Untuk dapat menembus pasar seperti hotel, restoran, dan supermarket secara langsung, ia mengaku banyak mengikuti pelatihan yang diadakan oleh pemerintah, salah satunya Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng.
Ia melakukan itu supaya bisa menjadi petani yang memiliki pengetahuan akan standar operasional atau prosedur pertanian yang benar sesuai dengan Good Agricultural Practices (GAP)—panduan cara budidaya yang baik, benar, ramah lingkungan dan aman dikonsumsi.
“Jadi saya ingin bertani dengan benar; mulai memikirkan kualitas produk dari tampilan visual sampai kandungan di dalamnya. Walaupun kami belum bisa sepenuhnya bergerak di bidang pertanian organik yang bebas dari pestisida atau pupuk kimia, setidaknya produk kami masih masuk dalam kategori sangat layak konsumsi,” ujarnya.
Areal kebun Nyoman Mara juga jadi pusat pelatihan pertanian paprika | Foto: Jaswanto
Dalam hal penggunaan bahan kimia, ia menambahkan, selama masalah masih dapat dikendalikan secara organik, ia tidak akan menggunakan bahan kimia. Tetapi, kalau sudah tidak bisa dikendalikan, ia terpaksa menggunakannya. “Kita harus bijak dalam menggunakan pestisida, tidak boleh berlebihan,” pesannya, tegas.
Atas pengetahuan yang didapatnya dari pelatihan-pelatihan tersebut; dan setelah beberapa kali uji lap, Pak Man akhirnya bisa menghasilkan produk pertanian, khususnya paprika, yang sesuai dengan kriteria Prima Tiga (P-3)—sertifikasi penilaian yang diberikan pemerintah terhadap pelaksana usaha tani di mana produk yang dihasilkan aman di konsumsi. Sejak memenuhi syarat P-3 inilah, produk pertaniannya bisa memasuki dapur hotel, restoran, dan rak-rak sayuran di supermarket di Bali.
Dari Kelompok Tani Menjadi P4S
Setelah mengantongi sertifikat P-3, Pak Man mengaku kewalahan memenuhi permintaan pasar. Oleh sebab itulah, ia mulai mengajak beberapa petani untuk membentuk kelompok tani. Gayung bersambut, bersama sembilan petani lainnya, Pak Man mendirikan Kelompok Tani Sayram Garden di Banjar Karma, Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Selain untuk memenuhi permintaan pasar, berdirinya kelompok tani tersebut juga bertujuan untuk mewujudkan jalur jual-beli satu pintu.
“Kami hanya memilih petani yang memiliki komitmen untuk maju, berkembang, dan mau untuk terus belajar. Hal ini penting kami lakukan demi menjaga kualitas dan kontinuitas produk. Bahkan, kalau ada anggota yang main-main dan tidak mau mengikuti SOP, dia harus keluar,” tegasnya.
Alat sensor untuk mendeteksi media tanam | Foto: Jaswanto
Paprika hijau menyala di kebun Nyoman Mara | Foto: Jaswanto
Atas ketegasan dan komitmen tersebut, hari ini, Kelompok Tani Sayram Garden—yang diketuai oleh Pak Man—sudah menjalin kerja sama dengan beberapa pihak, seperti Sunset Point Bali, Bali Galeria Mall, Mercure Hotel, sampai Pizza Hut. Untuk Pizza Hut sendiri, Kelompok Tani Sayram Garden diminta menenuhi 16 dapurnya di seluruh Bali.
Hotel, restoran, dan supermarket tersebut memesan paprika merah dan hijau, tomat, romana, strawberry, dan beberapa sayur lainnya. Khusus paprika, menurut Pak Man, permintaan paprika merah sampai 40 persen; paprika hijau dan kuning masing-masing 30 persen.
“Tapi, kalau di Pizza Hut, permintaan paprika hijau lebih banyak daripada merah. Jadi, hijau 60 persen, sedangkan merah 40 persen. Mereka tidak memakai paprika kuning. Sedangkan untuk kriteria yang dibutuhkan, tinggi paprika harus 12 cm,” terangnya.
Meski sudah membentuk kelompok tani, Pak Man mengaku, pihaknya belum bisa memenuhi permintaan paprika di Bali. Selama ini, setiap minggu, ia masih mendatangkan paprika dari Jawa Timur, tepatnya dari Kota Malang.
“Gimana, ya, pertanian paprika di Bali hanya ada di Pancasari sama di Candikuning, Bedugul, saja. Sedangkan kami sekali kirim semua sayuran itu mencapai 200-300 kg. Dan khusus paprika sendiri, sekali kirim mencapai 150 kg. Seminggu kirim dua kali,” kata Pak Man.
Sampai di sini, kesuksesan Pak Man bersama Kelompok Tani Sayram Garden tentu tak lepas dari kerja keras dan proses belajar selama ini. Sikap tekun, konsisten, dan terus berinovasi itulah, yang kemudian mendorongnya untuk menjadikan kelompok tani yang mereka kelola menjadi Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Petani Muda Keren Sayram Garden.
Lubang pembuangan pohon yang sudah tua dan tidak produktif | Foto: Jaswanto
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2014, P4S merupakan kelembagaan pelatihan/permagangan petani yang tumbuh dan berkembang dari petani, oleh petani, dan untuk petani yang secara langsung berperan aktif dalam pembangunan pertanian di wilayahnya.
P4S berperan amat penting dalam menggerakkan pembangunan pertanian dan perdesaan. Bukan hanya sebagai pelaku utama, P4S juga menjadi pelaku usaha, bahkan penyuluh bagi petani di perdesaan. Kelembagaan P4S sangat strategis untuk terus diberdayakan, baik dari aspek manajemen pelatihan/permagangan, maupun pengembangan usaha, sehingga kontribusinya dalam mempercepat penerapan teknologi baru bidang pertanian/agribisnis di tingkat petani dan masyarakat perdesaan meningkat secara nyata.
Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) tidak hanya produksi tanaman hortikultura, tapi juga sebagai pusat pelatihan petani swadaya. “Mahasiswa berbagai daerah hadir ke sini untuk mendapatkan pelatihan langsung. Biasanya kami juga bekerja sama dengan P4S lainnya,” katanya.
Dari Konvensional ke Otomatisasi
Di awal tahun 2023, sejak resmi menjadi P4S, Sayram Garden mulai menikmati program pertanian digital dengan teknologi Screen House atau Smart Green House (SGH) yang diinisiasi Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan).
Menurut Analis PSP Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, Ida Putu Sandiasa, dalam keterangan pers, Kamis (9/3/2023), menyampaikan, SGH merupakan program terobosan untuk membangun pertanian modern. SGH juga diproyeksikan menjadi pemikat atau meningkatkan minat kaum milenial di sektor pertanian, khususnya di bidang hortikultura.
Buah-buah paprika yang membusuk, gagal panen | Foto: Jaswanto
Sedangkan Pak Man menjelaskan, SGH ini menerapkan teknologi digital untuk pengembangan pertanian. “Berkat teknologi ini, petani diharapkan jauh dari ancaman gagal panen akibat cuaca yang berubah-ubah. Selain itu, penggunaan pupuk dan air akan semakin terukur,” uajrnya.
SGH membawa pertanian menuju smart farming. Artinya, petani tidak perlu lagi ke lahan pertanian untuk mengontrol tanaman. Kendali perkembangan tanaman dilakukan melalui smartphone berbasis Android dan laptop yang terhubung internet.
Istilah smart farming sendiri, dilansir dari laman Fakultas Pertanian, UMSU, merupakan suatu konsep pertanian yang menggunakan teknologi digital dan informasi untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan dalam produksi tanaman dan peternakan. Smart farming menggabungkan berbagai teknologi seperti Internet of Things (IoT), sensor, robotika, dan analitik data untuk memantau dan mengontrol lingkungan pertanian.
Pak Man menyampaikan, petani pasti mempunyai impian memiliki kebun yang canggih, modern, dan smart. Ia menilai, SGH merupakan fasilitas yang menjadi kebutuhan pertanian modern. Ia menjelaskan, dalam suatu rangkaian sistem SGH, dipasang sejumlah sensor untuk memantau suhu, penggunaan air, dan kebutuhan cahaya. Semuanya diatur melalui sensor yang terhubung ke smartphone maupun laptop.
“Jadi, ketika suhu mulai terasa panas, alat penyejuk secara otomatis akan menyala. Atau ketika sensor mendeteksi tanah [media tanam] mulai kering, secara otomatis alat penyiram akan mengeluarkan air dan makanan sesuai takaran secara otomatis,” terangnya menggebu-gebu.
.
Mesin IoT | Foto: Jaswanto
Selain dapat mengatur suhu dan penggunaan air, SGH juga dapat melindungi tanaman dari segala faktor penganggu, seperti hama dari luar, misalnya. Kenapa bisa begitu? Sebab SGH dilengkapi dengan insect net—jaring yang terbuat dari bahan sintetis yang kuat (polyEthilen).
Tak hanya itu, menurut informasi dari Pak Man, SGH juga mengatur intensitas cahaya matahari yang masuk. “Sinar matahari dari pagi sampai pukul 10.00 itu sangat baik buat tanaman. Sedangkan mulai pukul 12.00 hingga 14.00, sinar matahari bersifat membakar. Untuk mengatur itu, ada sensor yang otomatis untuk membuka dan menutup shading guna mengurangi intensitas cahaya matari. Alatnya namanya roof fan shading. Harapannya bisa memberikan hasil produksi lebih optimal,” imbuhnya.
SGH memberikan banyak manfaat bagi pertanian, di antaranya terjadi efisiensi dan mendorong peningkatan hasil produksi sehingga akan turut mendongkrak pendapatan petani.
Menurut Nyoman Mara, melalui teknologi tersebut para petani dapat meningkatkan pendapatan. Selain itu, SGH yang merupakan program dari Ditjen PSP itu juga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan mandiri di bidang agro teknologi dan agribisnis dengan potensi wisata dan provitas pertanian di daerah tersebut.
Pak Man mengungkapkan, para petani mendapat manfaat yang besar dari SGH di tengah sulitnya mendapatkan SDM pertanian—karena ada kesan bahwa bekerja di sektor pertanian itu tidak menguntungkan. “Nah, dengan model seperti ini, diharapkan pemuda akan bangga menjadi petani, dia akan bangga menjadi karyawan pertanian karena fasilitas mendukung secara betul-betul smart,” ujarnya.
Menurutnya, teknologi mendorong orang-orang, termasuk kaum muda, untuk tertarik dengan dunia pertanian. Selain itu, teknologi di dunia pertanian juga bisa mengefisiensi tenaga kerja, memaksimalkan hasil, dan dicintai oleh semua level kalangan.
“Harapan kami, selain hasil produksi meningkat, juga sekaligus memikat generasi muda untuk bekerja di pertanian,” tegasnya.
Melawan Stereotipe
Kehadiran orang-orang seperti Nyoman Mara dapat dibaca sebagai pertanda penting ketika kita membicarakan pertanian di Indonesia secara keseluruhan. Kegigihan dan semangatnya dalam berinovasi adalah tawaran alternatif untuk mempertahankan kiprah sektor pertanian yang makin ke sini, mirisnya, makin bergerak jauh dari cita-cita kemerdekaan pangan.
Belum lagi ketika kita berbicara soal ketidaktertarikan generasi muda terhadap bidang pertanian. Berdasarkan data BPS, sebagaimana diolah Lokadata, jumlah petani di Indonesia, per 2019, mencapai 33,4 juta orang. Sebanyak 2,7 juta orang—atau 8 persen dari angka keseluruhan—adalah kelompok petani muda, berusia 20 hingga 39 tahun. Sedangkan sisanya, kurang lebih 30,4 juta orang atau setara dengan 91 persen, merupakan petani berumur 50 sampai 60 tahun.
Sedangkan Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022, dari 135,3 juta penduduk yang bekerja, 29,96% persennya bekerja di sektor pertanian. Angka tersebut menginformasikan bahwa jumlah petani negara kita mencapai 40,64 juta orang. Dan masih sama seperti tahun 2019, tenaga petani di Indonesia masih didominasi oleh petani senior yang rentang usianya 45-64 tahun. Minat pemuda bekerja di sektor pertanian terlihat rendah jika dilihat dari data jumlah petani berdasarkan kelompok usia.
Menurut catatan (BPS per 2021), persentase pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian terus turun. Kini hanya ada 3,95 juta petani muda yang termasuk generasi milenial, atau 21,9% dari total petani di Indonesia.
Mesin IoT | Foto: Jaswanto
Ketidaktertarikan generasi muda terhadap dunia pertanian salah satunya disebabkan oleh anggapan bahwa menjadi petani itu tidak cukup menguntungkan secara ekonomi. Kebanyakan pemuda menganggap, selain melelahkan karena harus bekerja menggunakan fisik, hasil yang didapatkan juga tidak menentu, tidak pasti, berbeda dengan profesi-profesi lainnya.
Padahal, menurut Pak Man, secara filosofis, satu-satunya profesi yang memiliki perkalian berlipat-lipat itu hanya petani. “Coba bayangkan, satu bulir padi, ditanam jadi 30 anakan. Dari 30 keluar malai, satu malai bisa 200. Jadi perkaliannya tinggi. Atau bibit bawang, 10 gram, ditanam bisa jadi 1 ton,” ujarnya serius.
Nyoman Mara, melalui Sayram Garden, mencoba melawan stereotipe yang menganggap bahwa bertani itu sengsara, tidak enak, dan tidak menguntungkan. Ia mencoba menunjukkan kepada semua orang—khususnya anak muda—bahwa petani juga bisa maju, keren, dan dihormati.
Selama ia menjadi petani, dengan proses yang dilakukannya selama ini, ia merasakan bahwa bertani itu, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan benar, adalah profesi yang menyenangkan dan menguntungkan.
“Kami, walaupun petani, kadang-kadang juga main golf, travelling; kadang malah dikasih intensif jalan-jalan sama perusahaan yang bermintra dengan kami. Itukan sangat menyenangkan,” ujarnya sambil tersenyum.
Meski demikian, ia tidak dapat menampik bahwa dunia pertanian itu “deritanya tiada akhir”. Dari mulai pra-produksi, produksi, sampai pasca produksi, selalu ada masalah yang tak terduga seperti perubahan iklim, hama, cuaca yang tidak menentu, kelangkaan pupuk, dan sebagainya. Tetapi, ia menegaskan, bekerja sebagai petani harus dinikmati dan dijalani dengan ikhlas. Untuk yang terakhir ini, ia sampaikan dengan mata berkaca-kaca. [T]
- Catatan:Artikel ini ditulis dan disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Kominfosanti) Kabupaten Buleleng.
- BACA artikel LIPUTAN KHUSUS lainnya