DI TEPI PANTAI Lovina Ketut Lana duduk terdiam, memandang perahu-perahu yang sedang beraktivitas di tengah laut. Sesekali, sembari memperhatikan anaknya, ia “berburu” wisatawan untuk diajak melihat lumba-lumba—Ketut Lana sudah 20 tahun lebih menjadi pemandu wisata lumba-lumba di Pantai Lovina.
Selama menjadi pemandu wisata lumba-lumba, Lana mengaku telah mengalami dan mengetahui berbagai perubahan pergerakan koloni mamalia laut tersebut.
Menurutnya, mengantar wisatawan saat ini lebih sulit dariada dulu. Sebab, dulu, koloni lumba-lumba masih bisa dinikmati dalam jarak 3 kilometer dari tepi pantai. Ia pun tak perlu bersusah payah memburu lumba-lumba hingga puluhan kilometer.
“Dulu duduk di sini (tepi pantai) bisa melihat lumba-lumba berenang, atraksi. Kalau sekarang sudah tidak bisa. Tidak terlihat dari sini,” ujarnya, Senin (10/7/2023) pagi.
Pergerakan lumba-lumba
Koloni lumba-lumba diakuinya memang tak pernah berkurang. Hanya saja pergerakannya yang kini mulai berbeda. Hal itu dikarenakan adanya rumpon-rumpon besar yang dibuat di tengah laut. Alhasil ikan-ikan kecil yang menjadi santapan lumba-lumba berkumpul di tempat itu. “Karena banyak ikan di sana, lumba-lumba jadinya seputar sana saja. Tidak bisa di pinggir-pinggir lagi,” imbuhnya.
Di samping itu, pengaruh arus juga menjadi faktor pergerakan koloni. Jika arus laut tenang dan cuaca cerah, maka tidak sulit menemukan koloni yang bermigrasi. Sebaliknya, jika arus tak bersahabat, maka akan menimbulkan kesulitan.
“Kalau cerah semuanya untung. Tamu senang dapat lihat ikan. Pemandu senang tidak susah mencari koloni dan nelayan-nelayan lain juga banyak dapat tangkapan ikan. Tapi kalau cuaca kacau semuanya sambrag (kabur),” tegas Lana.
Kini, koloni lumba-lumba tak dapat ditebak. Kadang berputar di sekitar pantai Lovina saja, terkadang menyebar. Jaraknya pun lumayan jauh. “Mungkin dari sini ke laut 20 kilometer. Kadang kurang dari 20 kilometer. Tidak tentu. Carinya sekitar 30 menit baru ketemu, baru muncul. Itu pun hanya berenang di permukaan. Tidak muncul atau atraksi,” ujarnya
Tarif dan penghasilan
Saat ini tarif untuk menikmati lumba-lumba di laut lepas sekitar Rp 100 ribu. Tarif itu pun merata diberlakukan ke seluruh pemandu. Termasuk tarif yang dipatok oleh hotel-hotel. Pemerataan tarif itu dilakukan agar tidak ada kecemburuan antar pemandu maupun perdebatan dengan tamu. “Biar tidak ribut semua sama. Dari organisasi semua segitu. Jadi biar adil,” tambahnya.
Dalam sehari, jika ramai, Ketut Lana bisa mendapatkan Rp 1 juta. Apabila wisatawan yang di-handle mengambil paket wisata, maka ia mendapatkan keuntungan lebih. Tapi, akhir-akhir ini, ia cenderung mendapatkan wisatawan yang hanya melihat lumba-lumba dari atas perahu.
“Kalau mereka mau renang sama lumba-lumba tarifnya Rp 150 ribu. Kalau isi snorkeling tarifnya Rp 250 ribu,” kata dia.
Sekali jalan ia bisa menghabiskan 10 liter pertalite. Bila jarak pergerakan koloni lumba-lumba jauh, maka bahan bakar yang dihabiskan bisa melebihi 10 liter. Jarak terjauh yang pernah ia tempuh adalah Pantai Lovina sampai ke laut Gondol, Kecamatan Gerokgak. Selama 4 hari ia mengantarkan tamu ke wilayah barat tersebut. Hal itu membuatnya menghabiskan bahan bakar hingga 30 liter.
“Sempat 4 hari di Gondol terus koloninya. Mau tidak mau harus dicari ke sana. Kalau ke timur bisa sampai ke Kubutambahan. Berangkat dari sini jam 6 pagi, baliknya bisa jam 1 siang,” ungkapnya.[T][Jas/*]