DI KALANGAN musisi Bali, Buleleng memang terkenal akan musik kebyarnya atau lebih jamak disebut gong kebyar. Pendapat semacam ini tentu tidak semata-mata dikarenakan stigma Buleleng sebagai tempat kelahiran gamelan gong kebyar [?].[1] Tidak juga disebabkan karena Buleleng memiliki sosok seniman besar seperti Wayan Paraupan, atau lebih dikenal dengan sapaan Pan Wandres, Gde Manik dan Ketut Merdana,—dimana mereka, sosok seniman besar itu, tentu tidak secara kebetulan menekuni musik kebyar.
Apa yang menjadi lebih penting untuk dipikirkan adalah berapa banyak sumbangan ide kreatif yang telah “ditelurkan” dalam substansi kekaryaan oleh pendahulu kita di Buleleng?
Dalam hubungannya dengan proses kreativitas, gong kebyar di awal kelahirannya telah menyediakan ruang perseptual yang tak terbatas pada satu substansi tertentu, dan secara semantik terus menerus membuka teba-horizon yang multi-tafsir.
Lebih dari objek fisik, kebyar adalah fenomena bunyi yang kehadiraanya tidak saja menimbulkan efek sensibilitas terhadap indra pendengaran, misalnya berupa keterkejutan atas respons terhadap bunyi, tapi lebih dari itu, kebyar telah dan sedang membawa spirit baru terhadap perkembangan musik kita, khususnya di Bali. Saat itu dan seharusnya hingga di masa mendatang, kebyar sebagai konsep musikal adalah avant-gardism nya Bali.
Terdapat hal yang lebih mendesak untuk didiskusikan ketimbang menenggelamkan diri pada cerita dan prestasi masa lalu pendahulu kita. Bukanya menjadi tidak penting dan diabaikan begitu saja, masa lampau adalah bahan refleksi sekaligus dasar pijakan kita untuk menapak masa depan.
Menyelami masa lampau tidak akan memberitahu kita tentang apa yang harus dipilih, tetapi paling tidak ia memberikan opsi-opsi yang lebih banyak dan tidak menyibukkan kita dengan meramal masa depan. Apa yang dapat kita selami dari pendahulu kita justru untuk membebaskan kita darinya dan segera membayangkan cita-cita alternatif.
Peringatan satu abad gong kebyar pada tahun 2015 menandai bahwa secara aklamatif gong kebyarsudah hadir dalam kurun waktu 100 tahun dan senantiasa menyertai pendengaran seniman kita. Dalam waktu yang tidak singkat itu, apa yang pendahulu kita telah wariskan kepada kita? Secara kongkrit mungkin karya-karya monumentalnya dapat kita dengarkan kenyataan bunyinya hingga saat ini, namun disadari atau tidak, ada yang terlepas dari pandangan kita. Selama ini kita hanya berhasrat pada pemenuhan terhadap hal-hal yang bersifat teknis sebagai puncak capaian, sehingga secara konseptual kita sesungguhnya telah kehilangan akses secara langsung untuk memperoleh informasi seputar proses kreatif penciptaannya.
Bagaimana dapat mengakses informasi seputar penciptaan musik untuk Tari Trunajaya misalnya? Tentu kita tidak harus bertemu dengan Gede Manik yang sudah berkalang tanah itu bukan?
Di Buleleng Tari Trunajaya seolah menjadi materi wajib dalam setiap even-even tertentu, semua teman-teman seniman begitu fasih memainkan secara praktikal, namun saya pastikan 100% gagap mengenalnya “lahir-batin”, karena enggan “bersetubuh” dengan konstruksi musikalnya.
Jadi, saya sesungguhnya ingin memberikan penekanan bahwa daya kreatif kita baru dapat diukur ketika abstraksi pikiran “dipertengkarkan”. Untuk mengetahui bagaimana geliat seniman muda di Buleleng saat ini, tolak ukurnya adalah sejauh mana kita mampu memahami dan lekas mengejawantahkan cara kerja pendahulu kita, tentunya dengan perspektif yang lebih segar dan kekinian.
Trunajaya Teralienasi di Rumahnya Sendiri
Ter-alienasi itu artinya tersingkir, terasingkan. Tentu pengertian itu terlalu diplomatis! Saya ingin mengatakan bahwa Trunajaya teralienasi (selanjutnya saya tulis tanpa italic) karena ia mulai kehilangan identitas di rumahnya sendiri; di Buleleng (mungkin juga di tempat lainnya). Sesuatu yang bisa diidentitaskan itu sudah paripurna, sudah bisa dikenali objeknya secara fisik. Musik memang “barang” abstrak, tetapi dengan kemampuan apresiatif yang kita miliki, kita selalu dapat mendengar[kan] kenyataan bunyinya.
Oleh sebab itu, musik sesungguhnya dapat diidentifikasi dengan mengurai unsur-unsur intra-musikalnya, karena itu kita hendak mencari identitasnya secara konstruksional. Tapi itu jarang dilakukan, kita tidak benar-benar mengenal musik yang menjadi tradisi kita. Tradisi kita dibuat seolah tidak mempunyai kemampuan memproteksi produk kebudayaannya sendiri. Kita semakin dibuat tersekat dengan budaya sendiri, begitu juga sebaliknya, kebudayaan semakin “teralienasi” dari kita.
Setiap musisi fasih memainkan musiknya, tapi tidak satupun dari mereka yang mampu mengenali bagaimana konstruksi musik Trunajaya terbangun. Trunajaya dibentuk oleh apa saja? Bagaimana setiap frase berhubungan secara sinkronik? Apa saja tekstur-tekstur yang membentuknya? Bagaimana setiap lapisan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya? Kita enggan untuk mau tahu, dan mungkin tidak ingin mengetahuinya, “musisi itu kan tugasnya pada ranah praktikal!”, pikir kita.
Trunajaya itu karya yang sangat terukur. Setiap segmennya dirancang secara organik, dan memiliki penekanan tonalitas yang konsisten. Kalau kita sadari dan mau sadar, Trunajaya itu dilahirkan dari satu gen tunggal pola melodi. Secara genetik, semua melodi yang terukur di dalam Trunajaya berasal dari melodi musik untuk bapang Goak Macok. Siapapun yang membuat Trunajaya, entah itu Wandres atau Manik, saya akui mereka betul-betul pandai “mencuri” budaya pendahulunya.
Sependek pengetahuan saya (tolong diluruskan jika keliru), bapang Goak Macok itu adalah produk musik gamelan Palegongan. Tetapi kreator musik Trunajaya membuat bapang itu tidak berbunyi musik palegongan lagi, ia dibuat terlepas dari budaya-nya. Pada Trunajaya itu banyak piranti garapnya, seperti; tonalitas, pola augmentasi, cross metter, transposisi, substitusi pola melodi, silent, dan sebagainya.
Apakah sang kreator menyadarinya? Saya yakinkan pasti sadar, mereka mengerjakan ini dengan cukup serius, semua serba terproyeksi dan terarah, hanya saja alat untuk membahasakan kerja mereka tidak secanggih dan serumit kita sekarang. Mereka pasti punya cara kerja, mereka mendeskripsikan musiknya dengan jujur dan apa adanya, tidak seperti kita saat ini yang mulai “menyeramkan” diri dengan istilah asing yang sayangnya tidak dipahami secara definitif, demi hanya mengejar legitimasi “akademis”.
Aspek tonalitas memperlihatkan nada-nada yang paling sering muncul dan terkompresi menempati ketukan yang paling kuat, not yang bernilai panjang, nada yang muncul pada akhir komposisi yang dianggap memberikan tekanan tonika pada sebuah nada.[2] Itu tadi pendekatan teknisnya. Trunajaya dibangun dengan sistem tonika yang konsisten, dimana nada dung (G#) dan ding (C#) selalu menempati tekanan berat dari seluruh konstruksi musik Trunajaya.[3]
Dalam tekstur kebyar murni, dimana tidak ada meter siklis dan tempo yang konstan, kemunculan nada-nada yang mendominir bisa ditangkap dari aktivitas ritmis nada yang secara simultan bersamaan dengan jatuhnya gong. Kebyar memang diawali oleh nada dang (A), tetapi nada dung (G#) yang secara simultan bersamaan dengan gong menghiasi hampir sebagaian besar aktivitas ritmis instrumen metalofoon sebelum kemudian kebyar berakhir pada nada dung (G#).
Pada bapang transisi, penyacah memainkan lapisan tercepat dengan not seperempat ketukan sebagaimana dilakukan oleh instrumen petuk. Nada pilihan pada melodi ini adalah ding (C#) dan dung (G#). Dung (G#) menempati posisi istimewa karena pada bagian ini jatuh berbarengan dengan gong pada hitungan ke-8, sedangkan ding (C#) sebagai aksis (poros tengah) terletak pada ketukan ke-4. Pada pengadeng longoran pertama, dung (G#) masih tetap bertahan di gong, sementara ding (C#) tetap bertahan pada posisi aksis. Ukuran melodi pada bagian ini adalah 16 ketukan not seperempat untuk satu siklus gongan.
Instrumen petuk memainkan pola ketukan not setengah dan terkadang meningkatkan densitasnya menjadi seperempat ketukan ketika mengalami akselerasi pada aksen ocak-ocakan. Pusat tonal dung (G#) dan ding (C#) sebagai aksis masih tetap dipertahankan hingga bagian bapang transisi, bapang ngocak, dan pengadeng lelongoran kedua.
Augmentasi dapat diamati pada pengadeng pertama, kedua dan ketiga. Pengadeng pertama masih mempertahankan identitas tonal secara utuh pada nada dung (G#) sebagaimana juga pengadeng kedua. Hubungan terbalik diawali pada segmen kebyar transisi setelah pengipuk pertama dengan mengembalikan pusat tonal pada nada ding (C#). Pengadeng ketiga berdurasi 32 ketukan dengan nada dung (G#) menempati posisi aksis pada hitungan ke-16 dan ding (C#) sebagai akhir dari identitas komposisi ini.
Aspek-aspek lainnya, seperti transposisi sudah secara terintegrasi menjadi bagaian dalam komposisi ini, hal ini bisa diamati pada bapang malpal dalam komposisi ini. Selanjutnya silent adalah dihasilkan dari beberapa siklus bapang ngocak setelah akhirnya berakhir secara revolusioner satu ketukan sebelum gong (ketukan ke-7 di nada ding). Substitusi pola melodi bisa dilihat dari pemilihan nada-nada ostinato dan skema augmentasi nya pada bagian dengan durasi 16 atau 32 ketukan.
Paragrap di atas adalah uraian secara garis besar, tentu memerlukan ruang analisis yang lebih detail di tempat lain. Namun demikian, setidaknya kita mulai sadar bahwa konstruksi musik untuk Trunajaya memiliki cara kerja, sistem kerja, yang seharusnya bisa dijadikan sebagai tolak ukur proses kreatif kita saat ini. Kita lebih mementingkan kemasan daripada isi.
Saya meyakini pendahulu kita tidak benar-benar secara konseptual mengidentitaskan komposisi musiknya sebagaimana yang kita sekarang. Saya ingin memberikan batasan bahwa intepretasi intra dan ekstra musikal adalah dua hal yang berbeda. Deskripsi intra musikal yang menjadi “barang” langka saat ini membuat orang-orang lebih nyaman mendeskripsikan musik diluar konteksnya sebagai kompilasi bunyi, sebagaimana tari dengan substansi geraknya.
Bagian ekstra-musikal dalam konteks musik pada tradisi kita adalah bagian integral yang senyatanya tidak dapat dipisahkan dari budaya kolektif. Tapi untuk mengetahui proses kreatif, diskursus yang serius tentang objek materiil musik menjadi lebih penting untuk dilakukan. Musik adalah bunyi itu sendiri, bunyi abstrak karena tidak berwujud secara kasat mata, namun kehadirannya selalu dapat dirasakan.
Oleh karena itu untuk membuatnya menjadi kongkrit Ia harus diuraikan di atas kertas. Ketika ditranskripsi pada notasi, Ia menjadi nyata, diatasnya tergores geliat kreatif senimannya, itupun jika kita mampu mengitepretasinya secara lebih serius.
Apa Yang Hilang Dari Proses Kreatif Kita; Menapak Harapan Baru
Buleleng itu kaya akan karya seni musik kebyar nya, senimannya kritis-kritis, tapi sayang, mereka krisis berpikir (walaupun tidak semua demikian). Selama ini kita disibukan dengan urusan “cocokologi”, kalau dulu itu, Saya dengar cerita tetua, ketika Gde Manik mencipta Trunajaya, Ketut Merdana juga ikut mencipta Wiranjaya, di Barat mencipta Palawakya, di Timur juga membuat yang sama, begitu seterusnya.
Betapa kreatifnya pendahulu kita! Kita juga selalu bangga karena dikatakan Buleleng sebagai tempat kelahiran Gong Kebyar, Saya juga merasa seperti itu! Musik-musiknya “eksotik”, seperti lelongoran dan sekatian. Kita disediakan begitu banyak pilihan, tetapi kita mengesampingkan pilihan-pilihan itu, dan lebih bersemangat meributkan urusan sentimentil.
Apa ukuran kreativitas? Apakah produktivitas berkarya setiap bulan? Presentase aspek kekinian dalam karya seni? Atau yang lainnya? Kalau yang dijadikan tolak ukur adalah intensitas berkarya, maka teman-teman seniman Buleleng tidak jauh kalah produktif dalam berkarya dengan teman-teman seniman lainnya di daerah Bali. Kalau yang dijadikan indikator selanjutnya adalah intensitas aspek kekinian, parameternya apa?
Kreativitas hanya terlihat kongkrit jika Ia tidak berhenti pada tahap karya saja. Kreativitas bagi saya sulit untuk ditemukan paramaternya, Ia tidak akan bisa terumuskan sejauh tidak ada niat untuk membicarakannya dalam tahap diskursus. Ini yang hilang dari kita, keengganan untuk membicarakan karya, berdiskusi seputar proses kreatif yang luarannya diharapkan mampu membawa inspirasi penciptaan terhadap generasi muda.
Saat ini generasi muda kita seolah alergi untuk diajak membicarakan yang serius-serius, padahal membicarakan musik tidak perlu seserius membicarakan teman! Ia hanya cukup deskripsi secara jujur dan apa adanya.
Suatu saat, saya diajak berdiskusi kecil-kecilan dengan salah seorang teman. Dia adik kelas saya di ISI Denpasar, Saya menyukai diskusi seperti ini, santai tidak terlalu serius, tapi terarah! Tiba-tiba dia nyeletuk bertanya tentang komposisi musik tabuh kutus milik saya.
Saya berikan dia untuk memberikan apresiasi dan pendapatnya tentang komposisi yang saya rampungkan dua tahun lalu, tepatnya tahun 2021. Komposisi ini adalah komposisi musik untuk lelambatan (salah satu genre musik dalam karawitan Bali), tapi teman saya tidak sedikitpun mendengarnya sebagai lelambatan; tidak ada keteraturan—terkesan bebas,
“Saya mendengarnya seperti tabuh kreasi pepanggulan” imbuhnya lagi.
Saya tanya balik, kamu tahu apa itu lelambatan? Apa bedanya dengan tabuh kreasi pepanggulan? Apa yang dimaksud tabuh kreasi pepanggulan? Sebelum menjawab, saya pastikan dia gagap untuk menjelaskan pertanyaan saya, yang saya ingat dia mengatakan bahwa komposisi saya itu bebas dan liar, tidak ada formulasi yang mengikat, sebagaimana dia temukan pada komposisi tabuh pepanggulan kreasi.
Terus tersang saja, saya juga dibuat bingung dengan istilah-istilah labeling ini. Saya jawab pertanyaannya dengan santai, “Apa yang kamu tahu dari komposisi saya?”
Tentu teman saya ini gagap untuk yang kedua kalinya! Saya jelaskan padanya, bahwa setiap jengkal komposisi musik saya sangat diperhitungkan sebelumnya di atas kertas, sebelum kemudian dituangkan menjadi wujudnya yang lebih kongkrit sebagai musik yang didengarkan. Saya patuhi semua formulasi lelambatan.
Lelambatan itu komposisi yang mengikat, seram, angker, karena formulasi serba konvensional. Pendapat itu benar. Tapi keliru. Bagi saya yang terpenting dalam komposisi lelambatan adalah adanya konsistensi formulasi garap yang di dalamnya mengandung tekstur-tekstur komposisional khas, aksen khas, pembagian struktur kolotomik yang konsisten dan disiplin, dan menjelaskan ketertautan aspek temporal. Sudah, itu saja, tidak kurang tidak lebih.
Komposisi saya itu konsisten, semua diperhitungkan dengan baik, lantas di mana letak ketidakteraturannya? Saya tidak mungkin mereintepretasi tabuh Kutus Dandang Gendis dan membuatnya menjadi sama dengan wujud aslinya (mudah dikenali), tentu tidak sesederhana itu. Saya sengaja membuatnya menjadi berbeda; agar komposisi ini tidak dikenali sebagai Dandang Gendis! Teman saya diam, Saya tidak tau apakah dia mengerti maksud saya.
Jujur saja, saya menginginkan iklim diskusi seperti ini di Buleleng, ini yang hilang dari proses kreatif kita. Bukan hilang, tapi nihil tidak ada. Bagi saya inilah spirit kebyar yang sesungguhnya. Eksistensi bunyinya hadir secara mengejutkan (mengejutkan dalam artian tak terduga). Apakah musik saya ini baru? Saat itu iya. Karena tidak ada yang merumuskan komposisi lelambatan seperti itu sebelumnya. Musik baru menolak dan berbeda dari segala bentuk dan solusi sebelumnya.
Musik bagi saya adalah bagian dari proses sejarah, dan musik yang hebat bukan hanya mempertanyakan, mempermasalahkan dan memicu persoalan mengenai material seninya, tetapi berfungsi secara kritis membawa kebenaran. Untuk memajukan manusia dan masyarakat, harus ada bentuk musik yang serius yang melawan bahasa musik konvensional dan industrial, harus ada musik yang mampu menyentak kesadaran palsu, melawan kemudahan dan kedangkalan musik-musik industri yang menina-bobokan dan membius bagai candu. Lihatlah pendahulu kita. Salam! [T]
[1] Sebuah pertanyaan dari Wayan Gde Yudane, “seperti apa bahasa kebyar di awal kelahirannya?”. Saya kira Yudane tidak sedang menguji Saya dengan pertanyaan ini saat itu. Definisi kelahiran mesti jelas, asumsi dasarnya adalah kebyar sebagai fenomena bunyi jelas lebih dahulu dilahirkan ketimbang gamelan Gong Kebyar.
[2] Baca Bruno Nettl (2012)
[3] Yudane (wawancara, 28 Juni 2023) berpendapat bahwa Trunajaya itu memiliki pusat tonal pada nada C#, karena G# dan C# dalam konsepsi harmoni Bali adalah sama dan dipertemukan oleh sistem ngempyung. Namun Saya ingin membedakan keduanya, tujuannya untuk merunut konsistensi penempatan tonika pada karya ini.
[][][]