SEBUAH AWAL adalah hal yang ditunggu, dipersiapkan, didoakan, diusahakan dengan penuh rasa harap. Dalam berbagai bidang, sebuah awal mempunyai trigger masing-masing, baik yang sifatnya ringan sampai berat. Maupun masalah yang kiranya bisa diatasi atau yang rumit bahkan sifatnya darurat.
Ketakutan menjadi dasar utama keengganan untuk melangkah keluar. Kecemasan gagal menyuguhkan terbaik, capaian tidak sesuai dengan harapan orang tua, perjalanan menyimpang dari rencana, terus membayang-bayangi benak yang hendak mendobrak pintu rapuh kehidupan.
Keengganan lambat laun dihiasi dengan kemalasan yang kian beradu dan menyatu. Akhirnya, muncullah berbagai banyak alasan dan argumen dalam menyokong penghentian langkah untuk mencari suara aliran-aliran pikiran jernih yang menjadi cita-cita. Belenggu dalam rasa takut, lengkap dengan rasa enggan dan dibumbui kemalasan yang nyaman menjadi penghadang terkuat.
Namun, ada hal lainnya? Kemungkinan iya, yakni kekecewaan. Kecewa menawarkan berbagai jalan untuk mandeg menelusuri jati diri dalam rangka membentuk identitas baru. Kekuatannya luar biasa, tidak hanya fisik namun menular pada sendi psikis-psikis jiwa yang telah tergores.
Masa lalu menjadi acuan, sebagai pengingat. Kegelapan pada sisi ini kembali merajai jiwa kelam yang hanyut dalam rasa kecewa kejamnya dunia. Keterpurukan dan rasa nyaman untuk diam, dua hal yang masih sulit untuk diperdebatkan. Terlebih jalan tersebut sudah menjadi keputusan akhir.
Namun anehnya, kenapa masih saja ada jiwa yang bebas dan merdeka? Dengan gemilang meraih apa yang dicitakan?
Jika begitu kokohnya tempaan hidup, meskipun dengan kadar yang bervariasi tentu contoh-contoh nyata dan ‘bebas’ dari jiwa-jiwa itu menjadi suatu bukti. Bukti ada jalan rahasia yang telah ditempuh. Yang tidak semua orang tahu, atau tidak semua orang bisa jalani?
Setelah direnungkan, penawaran merujuk kepada taktik yang bernama ‘penerimaan’. Menerima segala bentuk cacian, cercaan, hinaan, ketidakadilan dengan sebaik-baiknya. Tentu ini mustahil.
Dengan kondisi rapuh dan telah tercabik-cabik menerima luka yang digoreskan, bagaimana penerimaan bisa menjadi tawaran valid. Kesulitan yang luar biasa. Ego dan upaya untuk membentengi harga diri menjadi taruhan. Penerimaan tidak merupakan keniscayaan, bagi jiwa yang masih dalam keadaan rapuh.
Rapuh dalam menimbang dan kuat dalam ucapan tentu adalah hal yang timpang. Di sana belum ada keseimbangan dan pengendalian. Penerimaan membawa pesan ketulusan, welas asih dan perjuangan. Penerimaan bukan kata lain dari menyerah. Tidak sama sekali. Penerimaan adalah keseimbangan, antara pikiran dan diri sendiri. Antara pikiran dan pikiran jiwa lain serta pergulatan pikiran dengan keheningan.
Penerimaan itu sulit, namun niscaya menjadi jembatan melintasi jurang curam. Penerimaan juga mengampuni kesalahan, yang diberkahi dengan pengetahuan untuk saling berbagi. Teknologi canggih dari konsep penerimaan ini adalah hela nafas panjang dan dalam.
Diberi sedikit pelumas dalam bentuk senyuman. Memiliki menara pemancar untuk kokoh bertahan dan berjuang. Langkah mulanya paling mudah adalah memaksa untuk berpikir.
Berpikir adalah merdeka, itu hal mutlak. Namun nyatanya, apakah sejatinya semua baik-baik saja? [T]