“Bagaimana saya bisa mempercayai tentang apa yang kamu katakan jika saya dan kamu saja tidak pernah membacanya dari sumber manapun dan tidak pernah melihatnya secara langsung?”
Pertanyaan seperti ini sering sekali membuat kita ikut bingung dan tidak percaya diri terhadap tradisi yang kita miliki. Apalagi, sebagai generasi yang memiliki keterbatasan pengetahuan, keterbatasan sumber data yang akurat, atau keterbatasan kemampuan dalam menjelaskan secara ilmiah, tentu juga akan sulit memberi jawaban, misalnya jika ada yang meminta penjelasan dengan sumber data atau meminta penjelasan secara ilmiah.
Saya adalah anak muda dari generasi di Desa Pedawa. Saya akan berangkat dengan pembahasan bahwa kita tahu sendiri, banyak sekali cerita dan tradisi unik yang ada di Bali, termasuk di desa saya, di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng.
Di Desa Pedawa terdapat banyak sekali tradisi-tradisi unik, yang secara arti dan makna, tidak tertulis, baik itu di lontar atau di sumber-sumber lain.
Saya sebutkan saja beberapa dari banyaknya tradisi yang ada di Desa Pedawa, salah satunya tradisi nyerimpen yang dilakukan kepada setiap anak di Desa Pedawa. Secara singkat nyerimpen adalah upacara manusa yadnya yang dilakukan pada Hari Raya Galungan.
Upacara nyerimpen ini dilakukan sebanyak tiga kali oleh setiap anak, bersamaan dengan upacara haturan banten Galungan. Upacara yang pertama dan kedua disebut nyerimpen sibakan dan upacara ketiga disebut nyerimpen nampah ukudan. Untuk orang yang tidak mampu, upacara ini boleh dilaksanakan yang pertama saja, yaitu nyerimpen sibakan.
Selain nyerimpen, tradisi upacara ngangkid yang ada di Pedawa juga terbilang cukup unik. Secara singkat ngangkid merupakan semacam upacara ngaben yang dilakukan dengan tradisi khas Desa Pedawa.
Meskipun ngaben dan ngangkid memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama upacara pitra yadnya atau untuk orang yang sudah meninggal, tetapi ngangkid di Desa Pedawa merupakan upacara suci kepada arwah, disimbolkan dengan mengangkat roh dari sungai pengangkidan dan kemudian selanjutnya, diwujudkan (keadegang) di kunduh atau orang Bali pada umumnya menyebutnya semacam sekah, lalu di puput di bale pengangkid (bale banten di tempat dilangsungkannya upacara). Upacara dipimpin oleh Balian Desa.
Selain cerita tentang keunikan upacara ngangkid, saya adalah salah satu saksi yang melihat dan merasakan langsung keunikan dari upacara ngangkid yang dipuput atau dilaksanakan oleh Balian Desa yang dimana gelar Balian Desa tersebut diperolehnya dari terun temurun.
Keunikannya saya lihat pada saat Balian Desa nedunang atma atau memanggil atma orang yang sudah meninggal yang seakan seperti masuk ke raga Balian Desa dan berbicara memanggil nama-nama keluarga seperti anaknya, ibunya atau menitipkan pesan kepada mereka.
Selain banyaknya keunikan yang pernah saya lihat di Desa Pedawa seperti tradisi nedunang atma pada saat upacara ngangkid itu, ada juga beberapa hal tentang keunikan tradisi lain yang ada di Desa Pedawa.
Misalnya masyarakat Pedawa masih mempertahankan kepercayaan, bahwa pada saat upacara ngusaba dan upacara sakral penting lainnya tidak dipuput oleh seorang Sulinggih atau Ida Pedanda, melainkan sampai sekarang masyarakat Desa Pedawa masih percaya dan sepakat mempertahankan tradisi bahwa upacara ngusaba dan ritual penting lain itu dipuput atau dipimpin oleh seorang Balian Desa .
Foto: Anak-anak dalam upacara nyerimpen di Desa Pedawa, Buleleng | Foto: Teddy Setiadi
Itulah sedikit cerita-cerita singkat tentang keunikan upacara yang ada di Desa Pedawa. Terlepas dari bagaimana saya dan masyarakat Desa Pedawa harus mempertahankan tradisi itu sendiri, saya lebih tertarik membahas tentang bagaimana masyarakat Desa Pedawa harus menyakini tradisi yang ada di desa itu.
Dengan kemajuan era seperti sekarang ini, maka ke depan tetua-tetua kami tentu tidak lagi mudah menjelaskan kepada generasi-generasi berikutnya tentang hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan akal sehat, seperti prosesi nedunang atma, dimana orang sudah meninggal lama, bisa masuk ke raga Balian Desa atau yang muput upacara, dan dapat berbicara persis dengan gerak gerik seperti pada saat orang itu masih hidup.
Karena banyak sekali keunikan yang ada di Desa Pedawa, dimana tradisinya tidak banyak yang tertulis, baik penjelasan tentang makna atau arti dari tradisi itu, maka banyak generasi sekarang seakan tidak mudah percaya dengan penjelasan-penjelasan yang mungkin tidak bisa digambarkan dengan cara ilmiah..
Jangankan tradisi yang pelaksanaannya sering dianggap rumit, bahkan sesederhana jika ada yang menanyakan tentang sejarah Desa Pedawa sendiripun sangat sulit mencari sumber yang bisa menjelaskan dengan jelas. Jika ada, paling-paling penjelasan itu hanya sekadar menceritakan kembali apa yang sempat didengar dari pendahulu-pendahulu kami yang ada di Pedawa. Itupun versinya sudah beragam dan berbeda-beda.
Kita harus menyadari bahwa di era sekarang banyak dari kita tidak dapat mengontrol kemajuan yang begitu luar biasa pesatnya. Sebut saja yang paling gampang adalah era kemajuan internet. Kita dengan mudahnya bisa mengakses apa saja yang mau kita cari, layaknya dunia sudah ada di genggaman kita.
Dengan kemajuan ini banyak sekali dari kita yang tidak pandai mencerna tentang kebenaran dari sumber tersebut, bahkan kita sering menjadi korban berita palsu. Hal inilah yang menjadikan generasi sekarang menjadi dua kali lebih berhati-hati dalam menerima informasi apapun itu bentuknya.
Oleh karena alasan-alasan itu, generasi sekarang seperti terjebak pada pikiran kalau segala sesuatu itu harus ada sumber yang jelas. Setidaknya jika tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri di jaman sekarang, pasti akan menuntut penjelasan dengan harus menyertakan sumber yang jelas. Apalagi ditambah dengan gempuran budaya asing yang seakan mendoktrin generasi-generasi sekarang, mereka harus berpikir rasional serta mudah tidak percaya tentang sesuatu yang rumit, yang tidak bisa atau sulit dijelaskan secara ilmiah.
Lalu bagaimana dengan upacara-upacara unik yang ada di Bali, dengan peristiwa di luar nalar kita sebagai manusia, dan tidak ada yang bisa menjelaskannya dengan ilmiah? Apakah kita harus tidak mempercayainya? Lalu di sisi lain kita masih sering melihat langsung peristiwa tersebut. Menjadi bingung bukan?
Jadi menurut pandangan saya, satu-satunya cara untuk mempertahankan atau mempertebal tradisi-tradisi unik di tengah gempuran budaya luar dan budaya meboya, adalah dengan meyakininya saja. Ya, sesimpel itu .
Meyakini tradisi yang turun temurun itu, memang bisa saja tanpa harus memperdebatkannya lagi. Karena menurut saya tradisi tidak semua harus dijelaskan dengan logika dan tidak semua harus ada penjelasan ilmiahya.
Jika kita sebagai generasi pewaris terus terjebak pada pemikiran kalau segala sesuatu itu harus ada sumber dan penjelasan secara ilmiah, bagaimana dengan tradisi-tradisi kita yang ada di Bali yang begitu sangat unik dan begitu banyaknya? Apakah semua harus dijelaskan dengan logika satu per satu?
Jadi menurut saya, sekali lagi, untuk mempercayai sesuatu yang tidak terlihat dan tidak tertulis adalah dengan menyakini tanpa harus memperdebatkannya .
Tetapi jika dengan keyakinan saja masih belum cukup. Misalnya kita merasa terlihat seolah-olah tunduk begitu saja tanpa harus menganalisa terlebih dahulu tentang apa yang masuk kedalam pikiran kita, alangkah baiknya kita cari tahu lagi arti dari keyakinan itu sendiri. Supaya tidak mengkerdilkan bahkan menyalahartikan arti luas dari keyakinan itu sendiri.
Dan bacalah tulisan ini dari atas sekali lagi, lalu yakini. Begitulah kira-kira. [T]