I Wayan Dibia dengan buku kumpulan puisi Kali Sengara (Masa Anomali) ditetapkan meraih Hadiah Sastra Rancagé tahun 2023 dari Yayasan Kebudayaan Rancagé. I Wayan Dibia adalah seorang guru besar éméritus Institut Seni Indonésia (ISI) Dénpasar dan terkenal sebagai penari dan pencipta tari.
Kenapa “Kali Sengara” bisa menang?
Dikutip dari keterangan Keputusan Hadiah Sastra Rancagé tahun 2023 di rancage.id, jumlah buku sastera Bali yang terbit pada tahun 2022 adalah 10 judul, turun dua judul dibandingkan jumlah terbitan tahun sebelumnya, 2021, yang berjumlah 12 judul. Sebagain besar buku ini diterbitkan oléh penerbit Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali.
Selain léwat buku, karya sastera Bali juga muncul pada média massa (cetak dan daring), seperti rubrik Media Swari (koran Pos Bali), Ajeg Bali (koran Média Bali), dan Suara Saking Bali, majalah daring berbahasa Bali. Ini menunjukkan bahwa kehidupan sastera Bali modérn didukung penerbitan buku dan media massa.
Dari 10 buku yang terbit sepanjang tahun 2022, empat adalah kumpulan cerpén dan enam adalah buku kumpulan puisi. Kali ini bentuk karya drama dan novél tidak ada. Jenis drama mémang tergolong paling jarang hadir dalam sejarah sastera Bali modérn dalam 50 tahun terakhir.
Keempat buku kumpulan cerpén tersebut adalah: Macan Gading (Macan Kuning) karya I Made Suarsa, Luh Dulang Ngiring Désak Made Ngalih Bulan (Luh Dulang Mengiringi Désak Made Mencari Bulan) karya IBW Widiasa Keniten, Ngutgut Jeriji di Umah Padidi (Menggigit Jari di Rumah Sendiri), dan Gelang Tridatu (Gelang Tridatu [tiga warna merah putih hitam]) karya Ketut Sugiartha. Tiap-tiap buku memuat rata-rata 10 judul cerpén.
Dari enam buku antologi puisi, tiga di antaranya karya I Wayan Dibia. Ketiga karyanya itu adalah: Guna Gina Pragina (Guna Seniman Pertunjukan), Kali Sengara (Masa Anomali), dan Geguritan Dharmaning Pragnina (Puisi Kebajikan Seniman Pertunjukan).
Tiga antologi puisi lainnya masing-masing Nguber Lawat ring Kalangan Wayah (Memburu Bayangan di Panggung Tua) karya Ngakan Made Kasub Sidan dan Madhurya Rasa Kama Rupini (Rasa Manis Ilmu Pengetahuan) karya Ida Idewa Nyoman Merta Semara Bawa, dan Ngiring Sayang-Manyayangin (Marilah Sayang-menyayangi) karya I Made Suarsa. Tiap-tiap antologi puisi memuat rata-rata 50 judul puisi.
Dilihat dari pengarang yang menerbitkan karyanya tahun 2022, tampak seimbang antara penulis lama dan baru. Penulis lama yang sudah lama dan terus berkarya adalah I Made Suarsa, IBW Widiasa Keniten, Ngakan Made Kasub Sidan, dan Ketut Sugiartha.
Penulis baru adalah I Wayan Dibia, usianya sudah di atas 70 tahun, banyak berkarya di bidang seni pertunjukan, namun baru hadir dalam dunia sastera, ditunjukkan dengan menulis puisi berbahasa Bali, bahasa Indonésia, dan novél berbahasa Indonésia.
Seperti bisa ditebak, karya-karya Wayan Dibia banyak berlatar belakang atau tentang seni pertunjukan, tari, seniman seni pertunjukan (pragina), dan tentu saja fénoména kebudayaan Bali. Penulis pendatang baru dalam penerbitan buku adalah Ida Idewa Nyoman Merta Semara Bawa yang sebelumnya sudah mempublikasikan ciptaan di média massa lokal seperti Suara Saking Bali dan Pos Bali.
Téma-téma bencana Covid-19 muncul hampir di semua buku yang terbit 2022, tentu saja dengan beragam pérspéktif dari tiap-tiap pengarang. Ada penulis yang menggambarkan covid sebagai wabah yang ganas yang menghilang tetapi muncul lagi seperti dalam buku puisi “I Covid Buin Ia Ngenah, Buin Ia Lakar Ngendah” (Covid muncul lagi, lagi akan Bikin Masalah) karya Semara Bawa.
Ada juga yang menulis bagaimana wabah covid yang membuat mata pencaharian masyarakat lenyap namun muncul usaha baru jualan online bagi meréka yang kréatif, seperti dalam cerpén “Rikala Gering Agung” (Ketika Wabah Besar) karya Sugiharta. Ada penulis yang menggarap téma dari segi pesimistik, ada juga yang dari sisi optimistik.
Topik-topik isu sosial di Bali atau di daérah lain di Indonésia juga menjadi perhatian sasterawan Bali. Meréka mengangkat isu sebagai sasterawan untuk mengingatkan persoalan yang terjadi yang barangkali bisa memberikan inspirasi bagi pembaca untuk menyadari dan kalau mungkin melakukan perubahan. Selain itu, tentu juga banyak karya sastera yang diungkapkan penulisnya sebagai éksprési personal untuk melukiskan masalah demi keindahan bahasa. Dalam jenis ini, keindahan menjadi hal utama sedangkan amanat cerita ditutupi keindahan bahasa.
Apa pun, kesemua karya yang terbit tahun ini memperkaya khasanah karya sastera Bali modérn. Kehadirannya juga menyambung kehidupan sastera Bali modérn dengan karya dan penulis yang bertambah jumlah dan kréasinya.
Keunggulan “Kali Sangara”
Puisi “Kali Sengara” yang menjadi judul antologi melukiskan suasana zaman yang paradoks atau anomali dan meresahkan, ditandai dengan perilaku manusia yang anéh-anéh tetapi seolah itu dianggap baik (solah sane nungkalik/ puniki sane kabaos becik) seperti konsumsi narkoba, mabuk, dan berjudi.
Kelebihan antologi ini secara keseluruhan setidaknya terlihat pada tiga hal berikut.
Pertama, téma yang disajikan beragam mulai dari réaktualisasi nilai mitos (puisi “Mayadenawa“), tentang daya tarik wisata yang hening dan unik (Wengi ring Lembongan dan Meong-meong Lembongan), tentang tradisi yang kian populér di zaman modérn, kearifan lokal, cerita wayang, dan tentu saja juga kritik sosial dalam kontéks Bali. Téma beragam membuat antologi ini bébas dari kesan monoton.
Kedua, bahasa yang digunakan dalam puisi ini terasa oténtik dari seorang penyair yang mencoba menemukan gaya ucap sendiri tanpa meniru gaya penyair lain. Rima dan répétisi dimanfaatkan secara memadai sehingga bébas dari kesan bermain kata-kata.
Puisi berhasil mengungkapkan amanat atau kritik sosial secara terbungkus, seperti puisi “Lingsir Kenjir” (Dituakan tapi Perilaku Muda) dan “Surya Siu” (Sorak Seribu), keduanya menyampaikan kritik tentang kebiasaan yang tak perlu diteruskan.
Ketiga, secara keseluruhan puisi ringan dibaca namun untuk memahami maknanya tetap diperlukan kemampuan untuk mengupas arti yang ditampilkan ungkapan makulit (berkulit atau terbungkus) atau mencerna perumpamaan yang menyembunyikan makna.
Tidak perlu mengerutkan kening untuk membacanya namun pembaca tetap akan dapat menikmati amanat, nasehat, asosiasi, sisnisme, dan kritik melalui penghayatan dan pengalaman puitik.
Hadiah Sastra Rancage dari Daerah Lain
Selain hadiah Sastra Rancage untuk karya sastra bahasa Bali, juga diumumkan keputusan juri untuk peraih hadiah sastra untuk bahasa daerah lainnya.
Peraih Hadiah Sastera Rancagé 2023 untuk sastera Sunda adalah buku kumpulan cerita pendek berjudul Surat ti Palmira karya Hadi AKS yang diterbitkan Dunia Pustaka Jaya, Bandung, 2022.
Peraih Hadiah Sastera Rancagé 2023 untuk sastera Jawa adalah buku kumpulan cerita pendek Suro Agul-Agul karya Narko Sodrun Budiman yang diterbitkan Sanggar Sastera Triwida, 2022.
Sementara itu, karya yang berhak mendapatkan Hadiah Sastera Rancagé 2023 untuk sastera Batak adalah Boan Ahu Mulak (Bawalah Aku Pulang) karya Saut Poltak Tambunan yang diterbitkan CV Selasar Pena Talenta, 2022.
Karya yang berhak mendapatkan Hadiah Rancagé 2023 untuk sastera Lampung adalah Singkapan karya Zabidi Yakub, Penerbit Pustaka Labrak, 2022.
Juri-juri yang menentukan Hadiah Sastra Rancage adalah Dr. Hawe Setiawan (Sastera Sunda), Dr. Tedi Muhtadin (Sastera Sunda), Sri Widati Pradopo (Sastera Jawa), Dhanu Priyo Prabowo (Sastera Jawa), Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra (Sastera Bali), Dr. Farida Aryani, M.Pd (Sastera Lampung), Rita Sihite (Sastera Batak), Hairus Salim (Sastera Banjar) dan D. Zawawi Imron (Sastera Madura).
Hadiah Sastera “Rancagé” tahun 2023 dari Yayasan Kebudayaan Rancagé adalah hadiah yang ke-35 kalinya untuk sastera Sunda, ke-29 kalinya untuk sastera Jawa, ke-25 kalinya untuk sastera Bali, ketujuh kalinya untuk sastera Lampung, dan ketujuh kalinya untuk sastera Batak.
Tahun ini panitia tidak memberikan hadiah untuk sastera Banjar dan Madura karena jumlah buku yang terbit dalam bahasa tersebut tidak memenuhi persyaratan Hadiah Sastera “Rancagé”. Tahun ini ada lima daérah yang memenuhi kritéria untuk dinilai dalam Hadiah Sastera Rancagé 2023, yaitu sastera Sunda, Jawa, Bali, Batak, dan Lampung.
Pada tahun 2022, hanya ada dua buku yang terbit dalam bahasa Madura, sehingga belum bisa kami nilai. Sementara itu, tidak ada satu pun buku yang terbit dalam bahasa Banjar, sama halnya dengan buku cerita anak-anak berbahasa Sunda untuk Hadiah Samsudi.
Hadiah Sastera “Rancagé” diberikan setiap tahun kepada penulis yang menerbitkan buku sastera dalam bahasa daérah dan terbit pada tahun sebelumnya. Buku tersebut mencakup prosa dan puisi seperti cerita péndék, novél, sajak, geguritan, dan sebagainya.
Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancagé menyerahkan sepenuhnya kepada para juri untuk menilai dan memutuskan pemenang sesuai dengan pertimbangan dan kriteria kesasteraan serta kebahasaan. Berikut kami sampaikan kembali ketentuan Hadiah Sastera Rancagé. [T][*/Ole]