Artikel ini adalah pemenang I Lomba Penulisan Artikel Tingkat Nasional dalam rangka memperingati Hari Guru dengan tema Guru Transformatif di Era Merdeka Belajar. Lomba ini diselenggarakan oleh UKM Jurnalistik, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Denpasar
[][][]
KESAN PERTAMA peserta didik terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah soal-soal dengan kalimat panjang. Belum lagi selesai membaca kalimat panjang, permasalahan berikutnya adalah pemahaman akan teks yang relatif rendah. Sebetulnya ini masalah yang pelik bagi guru-guru Bahasa Indonesia.
Sebelum mencari upaya-upaya untuk penyelesaian, hendaknya kita berpijak pada pertanyaan sederhana, bagaimana peserta didik memenuhi kebutuhan literasi? Akan ada banyak kemungkinan jawaban. Seperti misalnya, mereka memang tidak membutuhkannya atau mereka butuh (literasi) namun sebatas untuk hal-hal yang mereka gemari. Bisa jadi mata pelajaran di sekolah tidak termasuk di dalamnya.
Literasi kemudian menjadi kata yang amat populer dalam beberapa tahun belakangan. Bisa jadi literasi dipandang penting sebab keterampilan ini akan membantu seseorang berlatih berpikir kritis, sehingga tidak mudah cepat bereaksi ketika belum menemukan fakta-fakta yang dirangkum dalam simpulan. Selain bahwa membaca menjadi salah satu gerbang menambah pengetahuan. Mungkin saja, lagi-lagi, belum populer di ranah peserta didik.
Perlu diingat kembali, literasi bisa disajikan dengan berbagai pendekatan. Seperti berbasis kesenian, berbasis sastra, berbasis kepenulisan, berbasis mendongeng, berbasis sains, berbasis kelashitung, dan berbasis sadar lingkungan. Jadi literasi bukan hanya tugas guru mapel Bahasa Indonesia. Kembali lagi, mungkin saja belum populer.
Saking belum populernya, perpustakaan di sekolah-sekolah jadi penuh debu. Buku-buku dimakan rayap. Bahkan di sudut-sudut ruangannya ada jejak sekeluarga laba-laba. Di sebagian sekolah di Bali, perpustakaan adalah gudang buku pemerintah. Tentu saja dikelola dengan seadanya, biasanya dikepalai oleh guru-guru dengan kekurangan jam mengajar. Dengan pegawai yang bahkan tidak paham cara mengurus buku.
Sangat jarang perpustakaan sekolah ditangani seorang pustakawan. Jika pun misalnya pustakawan amat langka, sehingga diambil alih oleh orang yang bukan memiliki latar belakang di luar perpustakaan, hendaknya memiliki semangat literasi tinggi. Mengingat informasi hari ini, ilmu pengetahuan melalui webinar misalnya begitu terjangkau.
Jika mengelola sebuah perpustakaan dirasa begitu sulit dan belum terbayangkan, ada opsi lain yaitu melalui pojok baca. Pojok baca begitu sederhana namun memiliki manfaat luar biasa. Pojok baca bisa disediakan untuk setiap kelas atau secara umum pada sudut-sudut sekolah. Pojok baca pun telah memungkinkan disajikan dalam bentuk digital. Nah, versi yang paling memungkinkan untuk Anda realisasikan yang mana?
Dalam rangka pengembangan minat baca peserta didik, pojok baca di sekolah memiliki manfaat. Pertama, dapat merangsang peserta didik untuk lebih gemar membaca dan memiliki daya pikir yang baik. Kedua, mendekatkan buku pada peserta didik sehingga lebih tertarik membaca. Keempat, membantu perpustakaan sekolah dalam membudayakan rutinitas membaca.
Kematian Guru
Guru adalah makhluk adaptif. Sebab yang dihadapi adalah manusia dengan segala keunikan dan keterbatasannya. Pun ketika guru hadir di kelas dengan metode dan kurikulum yang selalu diperbaharui sejalan perkembangan zaman. Transformasi menjadi indikator kehidupan dan kematian guru.
Oleh karena pembuat kebijakan yaitu pemerintah berupaya meningkatkan kualitas pendidikan melalui kurikulum. Ketika peserta didik harus diposisikan sebagai subjek pembelajaran bukan objek. Begitu pula (jika memungkinkan) peserta didik yang menjadi penentu arah metode pembelajaran yang diambil sekolah. Eksekutor di lapangan tetaplah guru. Maka benar bahwa mutu pendidikan salah satunya ada di tangan guru (dan kepala sekolah).
Guru, di mana pun berada akan menghadapi berbagai masalah kompleks. Tiap tempat memiliki karakteristik dan cara penyelesaian yang berbeda. Guru ada di garda depan, bukan hanya sebagai pengajar. Ia juga harus menyelami hati peserta didik dengan bekal pedagogik. Bukan sebatas tuntas belajar tetapi juga mampu membuat peserta didiknya paham terhadap konsep dan makna pembelajaran. Guru demikian sangat dibutuhkan dalam menemukan cara belajar yang efektif di tengah berbagai keterbatasannya.
Pemerintah menyiapkan program Guru Penggerak, sebuah program yang baik jika tujuannya adalah untuk pengembangan diri. Sama baiknya seperti program PPG (Pendidikan Profesi Guru). Ada juga yang terbaru yaitu flatform Merdeka Belajar sebagai media belajar mandiri dan kolaborasi bagi guru. Sekali lagi, program-program dan juga fasilitas tersebut jika murni dilaksanakan atas dasar kepentingan peningkatan kualitas diri tentu akan sangat baik untuk ekosistem pendidikan.
Guru transformatif adalah guru yang membawa perubahan dalam pola pembelajaran, metode, dan hasil karya, dengan cara-cara yang inovatif untuk melakukan terobosan. Hal ini ditujukan agar siswa dapat menikmati proses pembelajaran yang bermakna dan relevan dengan realitas kehidupan saat ini maupun jangka panjang.
Di tangan guru, pendidikan tidak boleh hanya bertumpu pada teori, namun harus memberikan kegunaan praktis bagi peserta didik. Guru bukan operator dari kurikulum. Sejalan dengan pendapat Giorux (2017) yaitu sudah seharusnya seorang guru adalah intelektual transformatif dan aktivitas guru adalah praktik intelektual. Guru mesti diberikan ruang gerak yang luas untuk kepentingan peserta didik. Inilah kemudian peserta didik menjadi pusat dalam pembelajaran.
Ketika teknologi hampir memenuhi segala aktivitas manusia, guru hendaknya tak sekadar latah memanfaatkannya di kelas. Apalagi sampai membiarkan guru “mati” tergantikan teknologi. Sebab desain pembelajaran tidak hanya bagus ketika menggunakan teknologi, namun guru juga bisa menempatkan pengalaman sebagai sumber belajar. Sehingga, di hadapan peserta didik, guru tetap “hidup”.
Guru tidak serta merta bergerak, penting pula ia harus mau kritis, analitis, dan evaluatif. Berubah mulai dari diri melalui cara pikir dan cara pandang. Sebab ia adalah teladan. Bagi guru transformatif, persoalan teoretis telah selesai melalui buku-buku dan tayangan pada YouTube di rumah peserta didik masing-masing. Di ruang-ruang kelas adalah tempat mengalami dan memaknai pengetahuan-pengetahuan tersebut. Oleh karena, pembelajaran tidak hanya berguna untuk hari ini, untuk mahir menjawab soal-soal pilihan ganda. Akan tetapi untuk hari-hari depan. Maka, Ia hendak membekali peserta didik dengan keterampilan adaptif.
Menjadi guru transformatif menyadari penuh pendidikan transformatif. Sebuah model pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk menuju proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif, model pendidikan ini menghargai potensi yang ada pada setiap individu, artinya potensi-potensi individual itu tidak diartikan dengan berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi-sanksi, tapi dibiarkan tumbuh dan berkembang secara wajar dan manusiawi (Rozikan, 2013).
Menjadi guru tranformatif tentu tidak mudah. Ada batu sandungan berupa administratif. Selama ini, guru lebih banyak disibukkan dengan administrasi hingga tak ada lagi energi untuk berkarya. Guru menjadi lupa membaca buku, belajar untuk mengimbangi kebutuhan peserta didik. Guru hanya menulis makalah, best practis hanya untuk keperluan naik pangkat. Bukan sebagai prinsip merubah mental.
Menjadi guru transformatif, guru harus memulai diri dengan belajar baru kemudian mengajar. Di dalam kelas, guru tidak boleh hanya sebagai penyampai materi. Sikap ini akan membentuk peserta didik yang terlalu pasif. Peserta didik demikian tidak tahu pasti bagaimana cara belajar (Artika, 2018). Ketika mereka benci bacaan. Guru harus mulai mengajak mereka membaca, learning based reading.
Kehidupan Guru
Guru sebagai sosok intelektual saat ini adalah apa yang disebutkan sebagai guru pembelajar. Tatangan sebagai guru pembelajar kini adalah masih rendahnya budaya literasi (Tingkat, 2022). Persoalan literasi jika dianggap serius sebetulnya sudah coba dilakukan oleh aktivis literasi melalui taman bacaan. Kegiatan literasi berbasis taman bacaan dalam enam tahun terakhir cukup muncul kembali. Di Bali ada Bali Baca Buku, Jejak Literasi Bali, Bali Baca Buku, Narmada Bali, Perpustakaan Jalanan Denpasar dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jika menelisik sejarah pasca kemerdekaan, sepanjang tahun 1950-an pemerintah mulai giat mendirikan perpustakaan rakyat yang diberi nama Taman Pustaka Rakyat (TPR), sebagai salah satu media untuk memberantas angka buta aksara yang tinggi di masyarakat (Nurmasari, 2017). Awal tahun 2000-an menjadi masa di mana taman bacaan independen mulai bergeliat kembali. Tampaknya inilah gerakan yang berkembang hingga di Bali.
Literasi berbasis taman baca seperti ini sebetulnya bisa diadaptasi oleh guru di sekolah. Apalagi Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan pembelajaran lebih dinamis dan kontekstual. Guru membawa bahan bacaan lalu mengajak peserta didik membaca bersama-sama di taman sekolah. Peserta didik memilih sendiri buku yang mereka minati. Jika ada peserta didik yang memiliki buku juga boleh dibawa dan dibaca tukar di sekolah saat kegiatan. Tentu menjadi pengalaman membaca yang menarik bagi peserta didik.
Diperlukan guru yang gila baca untuk opsi ini. Membaca adalah kehidupan guru. Berkarya adalah cara bagi guru untuk tetap hidup. Dari membaca dan berkarya, peserta didik hendak disadarkan bahwa begitulah cara merespons permasalahan sosial di sekitar mereka. Problem-problem sosial tersebut kian mendesak untuk diatasi dengan melibatkan terutama generasi muda (Healy, 2017). Pada konteks ini gerakan literasi memberikan kontribusinya yang penting. Melalui literasi, mesti mulai menggugat kenyataan akan semesta pendidikan yang melumpuhkan nalar kritis dan mencetak manusia yang sesuai dengan selera pasar. Peserta didik diingatkan kembali bahwa ada banyak problem sosial di masyarakat.
Guru transformatif tentu tidak hanya berada di ruang kelas. Duduk manis di meja guru menunggu peserta didik menyelesaikan soal-soal. Tugas guru lebih dari itu. Mereka harus hadir di tengah-tengah persoalan peserta didik. Merekalah kemudian mengenalkan kembali nilai-nilai tentang solidaritas, kolaborasi, mempertahankan ruang hidup bersama. Inilah secara sederhana, apa yang menjadi tujuan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Dalam implementasi Kurikulum Merdeka, guru adalah fasilitator dalam komite pembelajaran. P5 ini merupakan pembelajaran lintas disiplin ilmu dalam mengamati dan memikirkan solusi terhadap permasalahan di lingkungan sekitar untuk menguatkan berbagai kompetensi dalam profil pelajar Pancasila. Saat para peserta didik mulai menjadi subjek pembelajaran, saatnya guru berkarya menuliskan proses tersebebut. Sebab, guru dikatakan sebagai panutan jika mampu memberikan contoh-contoh yang bisa mencerahkan hati nurani peserta didik (Keniten, 2017).
Untuk menutup tulisan ini saya akan mengutip Pram, “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”. Guru transformatif adalah guru yang menulis. Membaca adalah kunci utama menulis. Seseorang dapat menyampaikan ide dan gagasan dengan baik sebab ia banyak membaca. Mulanya berikan contoh agar guru tetap digugu dan ditiru oleh peserta didik. Selanjutnya, peserta didik akan memilih “menghidupkan atau mematikan guru” di lubuk hati masing-masing. [T]