PADA HARI GURU, 25 November 2022, dan hari-hari setelah itu, dunia media sosial dipenuhi dengan postingan ucapan selamat Hari Guru Nasional. Postingan itu lengkap dengan foto dan video yang memperlihatkan begitu meriahnya perayaan hari istimewa itu.
Foto dan video memperlihatkan baju kebanggan yang penuh dengan motif sarat makna dan berbagai kue, tumpeng dan bingkisan lainnya. Euforia itu memang datang setiap tahun sekali, sebagai ajang memperlihatkan eksistensi seorang guru di masyarakat media sosial.
Saya cukup perhatian pada hadiah dan bingkisan. Hadiah dan bingkisan beramai-ramai diposting dengan caption dan emotikon yang juga ikut mengekspresikan orang-orang yang memposting foto dan video itu.
Guru yang mendapat hadiah itu aadalah guru favorit yang dipilih oleh siswa. Entah dengan kriteria apa para guru itu dijadikan guru favorit? Apa karena mahir mengajar, atau karena lucu saja. Atau karena cantik atau tampan? Ah.
Di satu sisi, ketika beberapa guru dijadikan favorit dan mendapat senyum dan hadiah, bagaimana perasaan guru yang tidak mendapat hadiah dari siswanya?
Apakah guru yang mendapat hadiah itu kurang disukai oleh siswa? Apakah guru itu kurang pantas menjadi guru?
Mereka, guru yang tak mendapat hadiah itu, di foto tampaknya ikut tersenyum, ya itu yang terlihat di wajah mereka, namun dalam hati mereka barangkali merasa terhimpit oleh euforia itu.
Pemilihan guru favorit dan pemberian hadiah bisa jadi memotivasi mereka untuk memperbaiki cara mengajar, cara bergaul dengan siswa.
Atau, mungkin maksudnya, gurtu lain bisa meniru cara guru favorit dalam mengajar, sehingga mendapat hadiah, sehingga tahun selanjutnya bisa dengan bangga juga memposting hadiah yang banyak di media sosial.
Pemberian hadiah terhadap guru yang dianggap favorit oleh siswa, bukan dari satu jenis penilaian saja, siswa memilih dari berbagai aspek. Kedisiplinan, cara mengajar, cara bergaul, bahkan karena guru itu tidak pernah marah walau menemui siswa yang sudah keterlaluan pun menjadi salah satu aspek penilaian mereka.
Kini pilihan ada di tangan guru yang akan memilih. Apakah tetap mempertahankan cara mengajar yang tentu sudah bertahun-tahun dilakukan, meski tidak akan dipilih jadi pavorit, tapi cara mengajar itu terbukti berhasil menjadikan siswa paham akan ilmu yang dipelajari.
Atau, seorang guru bisa memilih untuk mengubah cara mengajar, misalnya dengan menuruti selera siswa, agar bisa menjadi guru favorit di mata siswa dan bisa menebarkan postingan hadiah di Hari Guru tahun depan.
Mari kita renungkan. Pemilihan guru favorit memang mendapat pro dan kontra bahkan muncul dari beberapa guru di satu sekolah. Menelisik ke arah pendidikan belakangan ini, memang guru dituntut untuk berkolaborasi, menjadi satu kesatuan untuk mewujudkan lulusan yang berkompeten.
Di satu sisi, siswa digabung menjadi satu, tidak ada lagi kelas unggulan. Rapor siswa tidak lagi berisi peringkat siswa, yang tentu bertujuan untuk menyetarakan semua siswa, agar tidak terdapat sekat-sekat pembatas yang pintar dan yang bodoh.
Namun, alangkah paradoks, kini justru kita temui adanya euforia guru favorit seakan memunculkan sekat-sekat itu lagi, membuat jarak mana guru yang disukai siswa, dan mana guru yang terkesan tidak dianggap keberadaannya oleh siswa. Dan bahkan menjadikan guru itu minder dengan guru lain yang mendapat reward yang banyak.
Di satu sisi, pemilihan itu bertujuan untuk memberikan reward dan menjadi pematik untuk memperbaiki diri, dan memahami keinginan siswa. Tentu keinginan untuk maju dan menjadi lulusan yang mampu bersaing, bukan keinginan untuk leha-leha dan banyak jam kosong di kelas.
Semoga tujuan yang baik dapat terealisasi walau banyak dampak yang ditimbulkan, tentu semua itu adalah bentuk semangat merayakan dan memperlihatkan eksistensi guru di balik kesejahteraan yang selalu dipertanyakan dalam menyambut HUT PGRI ke-77 dan HGN tahun 2022.
Karena semua orang adalah Guru, dan Guru adalah semua orang, Guru Hebat Masa Depan Sehat. [T]