Asura yang cerdas memiliki kekuatan fisik luar biasa, untuk melakukan tapa keras agar memperoleh anugrah. Walaupun kekerasan tapanya bermotif terselubung mencapai keabadian agar tidak terbunuh oleh musuh-musuhnya. Rahwana bertapa ratusan tahun memuja Dewa Brahma.
Akibat kekuatan tapanya Dewa Brahma memberkati anugrah: tidak terbunuh oleh manusia, raksasa, Dewa hingga mengukuhkan dirinya menjadi penguasa tiga dunia. Lalu menjadi pemuja Dewa Shiva yang sangat kuat dan taat. Akibat dari semua itu Dewa Shiwa memberkati Linggam Suci-Nya diboyong ke Alengka, dengan syarat Lingga Yoni tidak boleh menyentuh tanah selama perjalanan.
Melihat kejadian itu para dewa disurga kebingungan. Saat itu Dewa Shiva melirik Dewa Ganesha, lirikan itu dimsknai oleh Dewa Gabesha untuk melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah itu. Diikutilah perjalanan Rahwana saat mengusung Lingga Yoni dan menyamar menjadi seorang petani. Suatu saat Rahwana kebelet ingin kecing.
Kesempatan inilah dimanfaatkan oleh Dewa Ganesha, dengan sedikit tipu daya yang cerdas, bahwa saat mengusung Lingga Yoni yang amat suci tidak boleh membuang kotoran termasuk kencing. Dengan berbagai argumen akhirnya Lingga Yoni ditaruh dan disetahkan penjagaannya kepada Dews Ganesha yang menyamar jadi petani. Sesaat kemudian kembalilah Rahwana ketempat Lingga Yoni, ternyata sudah lenyap kembali alamnya.
Dalam kontek ini anugrah yang diminta Rahwana melampaui batas, menginginkan Dewa Shiva hanya dimiliki dan untuk kesejahteraan rakyat Alengka saja. Itu artinya ingin menguasai yang Maha Kuasa.
Rahwana tidak menyadari bagwa Tuhan Adalah Maha Pencipta bisa menciptakan apa saja untuk menyelamatkan dunia dari kewenang-wenangan. Diturunkanlah Sri Rama sebagai perwujudan manusia setengah Dewa untuk menghancurkannya
Demikian pula Prajapati Dhaksa, seorang raja putra Dewa Brahma, pemuja Dewa Wisnu yang amat benci kepada Dewa Shiva. Kebencian dan membenci tanpa pengetahuan suci adalah watak Asura. Putri tersayangnya Dewi Sathi sangat mencitai Dewa Shiva, dengan berbagai perjuangan atas kebencian ayahnya mampu dilewati, akhirnya bisa menikah, walaupun tanpa ijin sepenuhnya dan Prajapati Dhaksa tidak menggapnya sebagai putrinya lagi.
Tibalah saatnya di istana Raja Prajapati Dhaksa mengadakan ritual yadnya besar kerajaan, mengundang para dewa, para suci, para raja dan jajaran lainnya. Mendengar berita itu Dewi Sati sangat senang dan sedih. Sangat senang ada kesempatan bagi Dewi Sathi mempererat hubungan antara anak menantu dan ayah. Sedih karena tidak diundang.
Saat itu Dewi Sathi mengajak Dewa Shiva untuk hadir walaupun tidak diundang. Dewa Shiva tersenyum mendengar ajakan Dewi Sathi dan menolak untuk hadir, karena sudah menyaksikan apa yang akan terjadi, lalu meminta kepada Dewi Sathi untuk berhati-hati.
Dengan perasaan kesal Dewi Sathi berangkat ke tempat upacara. Saat tiba upacara akan segera dimulai, sesuai adat apabila seluruh keluarga kerajaan belum semua hadir upacara belum bisa dimulai. Prajapati Dhaksa menolak kehadiran Dewi Sathi dan upacara dilangsungkan karena sudah menganggap Dewi Sathi bukan putrinya lagi. Lalu terus menerus menghina Dewa Shiwa dengan penuh kekejian.
Saat itu Dewi Sathi dengan berbagai argumen cerdas, logis nan suci mencoba membongkar keterbelengguan bhatin ayahnya. Tetapi sedikitpun ayahnya tak bergeming. Merasa kemampuan membela kebenaran suami sudah ambang batas, dan mohon ampun pada suaminya.
Saat itulah Dewi Sathi membakar diri, sebagai pengorbanan atas cinta dan bhakti kepada Dewa Shiva, sekaligus sebagai upaya membuka rahasia kegelapan yang menggerogoti jiwa Sang Penguasa yaitu Prajapati Dhaksa.
Saat itu Dewa Shiva datang merangkul mayat Dewi Sathi yang sedang terbakar membawa keluar istana.
Dalam narasi purana ini dapat disimak bahwa dari kelahiran yang sucipun memasuki hukum duniawi bisa terjebak keangkuhan bahkan membenci Dewata. Tidak mau menerima kritik untuk kebenaran sesungguhnya yang lebih memuliakan. Bukan membanggakan diri atas kebanggaan sempit, yang pada akhirnya menjerumuskan pada penderitaan.
Sebagai hukuman Prajapati Dhaksa dibunuh oleh Rudra adalah kekuatan Shiva sendiri dipotong lehernya diganti dengan kepala kambing.
Dengan demikian anugrah berubah menjadi kutukan.
Semoga menjadi renungan dan refleksi.[T]