Tahu poh bikul? Poh bikul adalah salah satu jenis mangga lokal Bali. Di Buleleng mangga ini terkenal, tapi sudah nyaris punah. Hanya masih ada beberapa batang di Desa Menyali, Kecamatan Sawan.
Tahun 2016, tercatat di Desa Menyali tinggal hanya 13 pohon poh bikul. Pohon itu masih berbuah dan tumbuh di halaman rumah warga.
Poh dalam bahasa Bali artinya mangga. Bikul artinya tikus. Poh bikul adalah mangga yang bentuknya relative kecil dan ujung buahnya mirip moncong tikus.
Meski rasanya manis, poh bikul tenyata kini nyaris punah. Jika tak cepat-cepat dilindungai sekaligus dikembangkan dengan baik, mangga itu bisa dipastikan beberapa tahun lagi bisa punah.
Atas keperihatinan terhadap mangga yang langka itulah Putu Suwardike melakukan penelitian terhadap mangga-mangga langka di Bali, termasuk meneliti poh bikul. Putu Suwardike adalah dosen pengajar pertanian di Universitas Panji Sakti (Unipas) Singaraja) yang memang sejak lama melakukan penelitian terhadap mangga dan bidang-bidang pertanian lainnya.
Penelitian terhadap mangga itu dilakukan dalam rangka penyusunan disertasi berkaitan dengan pendidkannya pada program studi doktor (S3} ) Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Denpasar.
Dan, pada Jumat (26/8/2022) disertasinya yang berjudul “Studi Morfologi, Agronomi, dan Molekuler Mangga (Mangifera sp.) Lokal Bali Sebagai Dasar Pengembangannya” itu diuji dalam ujian terbuka di Unud, dan ia dinyatakan lulus dan ia pun meraih gelar doktor.
Namanya yang lama, Ir. Putu Suwardike, M.P., kini ditambah menjadi Dr. Ir. Putu Suwardike, M.P. Dan dosen kelahiran Kampung Bali Singaraja, 25 Oktober 1969, ini menyatakan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus. Tentu saja, karena selain menuntaskan penelitian yang disukainya, ia pun bisa mendapatkan tambahan gelar.
Yang diteliti Putu Suwardike dalam disertasinya itu sebenarnya bukan hanya poh bikul, melainkan juga semua jenis mangga langka di Bali. Penelitian dilakukan di empat kabupaten, yakni Buleleng, Badung, Klungkung dan Karangasem.
Tentang poh bikul, Suwardike mengatakan poh bikul memang berpotensi menjadi varietas unggul baru (VUB) manga lokal Bali. Mangga lokal Bali ini memiliki ruang diisi biji pada pelok tergolong rendah karena pada umumnya buah mangga ini memiliki biji sangat pipih, bahkan tidak berbiji, dalam Bahasa Bali disebut ngumpen.
“Ditemukan potensi perubahan sifat genetik Mangga Bikul hanya 30% jika diperbanyak secara generatif, dan sekitar19,05% jika diperbanyak secara vegetative,” kata Putu Suwardike.
Suwardike menyebut poh bikul memiliki lebar buah 4,19 cm dan tebal buah 3,87 cm, terkecil dibanding aksesi lainnya, namun menunjukkan edible fruit 83,44%, total gula 63,94%, dan TSS 23,35 oBrix tertinggi.
“Hal ini menunjukkan poh bikul merupakan aksesi paling unggul dilihat dari kandungan total gula pada buahnya,” kata Suwardike.
Kandungan total gula, kata Suwardike, ditentukan oleh banyak faktor. Selain faktor genetik, tingkat kemasakan buah saat panen dan lama penyimpanan setelah panen juga sangat menentukan kadar gula dalam daging buah.
Berdasarkan hasil penelitian selama 48 bulan, sejak Nopember 2016 hingga Nopember 2020, Suwardike mencatat terdapat 44 aksesi (populasi tanaman dengan karakteristik morfologis spesifik dari wilayah tertentu) mangga lokal Bali, terdiri dari 34 aksesi tergolong landraces dan 10 aksesi non landraces. Berdasarkan spesiesnya, aksesi mangga lokal Bali yang ditemukan berasal dari 4 spesies, yaitu M. indica L.; M. odorata Griff.; M. foetida Lour. dan M. lalijiwa Kosterms.
“Ditambah dengan M. caesia Jack yang telah diteliti sebelumnya oleh Rai et al. (2008), maka secara keseluruhan terdapat 5 spesies mangga di Bali,” ungkap Suwardike.
Ujian terbuka Putu Suwardike
Suwardike menjelaskan secara morfologi, aksesi mangga lokal Bali memiliki variasi pada bentuk kanopi, karekter batang, daun, bunga, buah dan biji. Hal ini menunjukkan bahwa variasi karakter morfologi aksesi mangga lokal Bali memiliki rentang yang sangat luas sehingga mengenal aksesi mangga lokal Bali tidak cukup hanya menggunakan satu penciri morfologi. Diduga hal ini terjadi karena kemiripan satu aksesi dengan aksesi lainnya justru cukup menyulitkan identifikasi sampai tingkat jenis.
Ia mengungkapkan secara umum mangga lokal Bali memiliki berat per buah berkisar antara 86,1-672,4 g. Poh Sakti merupakan aksesi dengan buah berukuran paling kecil. Sedangkan Brazil menunjukkan berat buah tertinggi. Brazil memiliki berat per buah tertinggi karena memiliki lebar buah (10,25 cm) dan tebal daging buah (3 cm) tertinggi.
Panjang buah bervariasi antara 6,56-18,28 cm. Poh Golek memiliki Panjang buah terpanjang. Sedangkan Poh Pelem memiliki buah terpendek. Poh Brazil menunjukkan lebar buah dan tebal buah tertinggi, yaitu sebesar 10,25 cm dan 9,18 cm.
Suwardike menambahkan berdasarkan peniaian keunggulan karakter agronomi 44 aksesi mangga lokal Bali menunjukkan besaran standar deviasi berkisar antara 0,88-1,31 dan ragam antara 0,77-1,71. Arumanis 143 dan Poh Depeha menunjukan total skor tertinggi diantara 44 aksesi mangga lokal Bali.
Ia merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk membangun kebun koleksi plasma nutfah mangga lokal Bali sebagai pusat konservasi ex-situ. Kebun koleksi tersebut juga berfungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan aksesi potensial secara berkelanjutan melalui penelitian dan pengembangan. Pembangunan kebun koleksi dapat memanfaatkan sebagian lahan pada kebun-kebun percobaan milik Dinas Pertanian Kabupaten/Kota
Putu Suwardike (kanan)
Sementara Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, M.S.selaku promotor berharap Putu Suwardike dapat mengembangkan hasil penelitian dan melanjutkan sehingga bermanfaat bagi masyarakat. “Dilakukan riset-riset yang nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat” ujar Prof. Rai.
Suwardike juga diharapkan dapat berperan dalam membangun dan mengembangkan pertanian, khususnya di Singaraja. Terutama dalam upaya pelestarian mangga lokal Bali. [T][Ole}